OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 07 Februari 2018

Profesor Hukum UNDIP: Khilafah Bukan Sumber Radikalisme dan Terorisme

Profesor Hukum UNDIP: Khilafah Bukan Sumber Radikalisme dan Terorisme

10Berita, Saya heran, kenapa khilafah yang notabenenya bagian dari ajaran Islam TERCYDUK sebagai BIANG RADIKALISME DAN TERORISME! Ini fitnah bukan?

Mengajarkan khilafah bukanlah perbuatan yg melanggar hukum karena khilafah itu sebagian ajaran Islam. Mana buktinya radikalisme dan terorisme bersumber dari khilafah?

Indonesia telah memprolamirkan sebagai NEGARA HUKUM (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI) yang berdasarkan KETUHANAN YANG MAHA ESA. Artinya negara hukum kita bukan NEGARA SEKULER tapi NEGARA HUKUM TRANSENDENTAL.

Maka sebagai konsekuensinya mengajarkan ajaran agama termasuk khilafah bukanlah bertentangan dengan hukum. Persoalan sistem pemerintahan itu belum bisa dijalankan di NKRI itu perkara lain.

Berdasarkan konsep berhukum dan negara hukum Indonesia haruslah dipahami bahwa:

KITAB SUCI BERADA DI ATAS KONSTITUSI

Indonesia sebagai negara bangsa oriental, tidak lepas dari pengaruh baik maupun buruk atas perkembangan global. Namun sangat disadari Indonesia memiliki dasar pengembangan negara bangsa untuk mencapai cita-cita atau tujuan nasionalnya. Dasar itu tidak lain adalah Pancasila.

Bila kita simak secara saksama, maka ketiga nilai hukum itu sebenarnya telah terkandung dalam Pancasila, yaitu nilai ketuhanan–dikatakan sebagai dasar dan meliputi dari segala sila, nilai hukum kebiasaan (persatuan, demokrasi, kesejahteraan) serta nilai hukum internasional (kemanusiaan, HAM). Ketiga nilai hukum tersebut kemudian mengejawantah menjadi kesepakatan membentuk NEGARA BERDASAR HUKUM (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945).

Macam apa negara hukum yang hendak kita bangun itu? Negara hukum yang hendak dibangun itu adalah negara hukum yang berdasarkan atas KETUHANAN YANG MAHA ESA (Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945).

Lebih konkret lagi negara hukum itu adalah NEGARA HUKUM TRANSENDENTAL. Dari sini dulu kita harus memahami dan mengingat betul konsep dasar dari suatu negara, baru setelah itu membicarakan hal-hal teknis yang lainnya.

Sebagai negara hukum transendental, menurut Thomas Aquinas maka hukum yang direproduksi melalui lembaga-lembaga supra dan infra struktur negara (HUMAN LAW) seharusnya dijiwai oleh nilai ketuhanan baik nilai hukum ketuhanan yang tertulis di KITAB SUCI / DEVINE LAW (eternal law that revealed in scripture), maupun nilai hukum ketuhanan yang melekat pada alam (HUKUM ALAM/NATURAL LAW (eternal law that discovered through human reason)).

Sampai disinilah secara logika sederhana pun kita bisa memahami dan menerima secara nalar bahwa KITAB SUCI itu berada di atas KONSTITUSI sebagaimana telah disebutkan di muka.

Bila penalaran ini kemudian kita tarik garis lurus, maka secara logis seharusnya disadari bahwa KONSTITUSI tidak boleh bertentangan dengan KITAB SUCI. Juga dapat kita nalar bahwa membaca, mengkaji, memahami, menjalankan bahkan menyebarkan (mendakwahkan) perintah Tuhan dalam KITAB SUCI yang kebenarannya tidak perlu diragukan adalah sebuah kebolehan bahkan sebuah kewajiban bagi para pemeluknya.

Itulah yang kita sebut dalam Islam DAKWAH dengan melakukan AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR. Hal ini justru juga dilindungi oleh negara melalui Konstitusi, yakni Pasal 28D (1) dan 29 ayat 2 UUD 1945 yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orang bebas untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, juga berhak atas kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Belum percaya bahwa kitab suci seharusnya di atas konstitusi? Apa argumen Anda? (Swa)

Semarang, Oleh: John Suteki*

Sumber : Tribun Islam