SAAT PENGUASA TERUSIK KRITIK, DEMOKRASI TAK BERKUTIK
Oleh: Hafshah Damayanti,SPd.
(Women Movement Institute)
Kontroversi pengesahan UU MD3 oleh DPR menuai keresahan di tengah-tengah masyarakat. Beberapa pengamat politik pun menyatakan kegundahannya bahwa hal ini mencerminkan DPR anti kritik. Bahkan dibeberapa pasalnya menujukkan mental feodal di kalangan DPR untuk mendapatkan keistimewaan. Diantaranya pasal 122 huruf(k). Pasal itu berbunyi, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. http://nasional.kompas.com/read/2018/02/17/11493051/pengamat-uu-md3-memang-seperti-zaman-feodal.
Seolah tak mau kalah, lembaga eksekutif di negara ini pun ingin menghidupkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana(RKUHP) saat ini sedang digodok oleh Panja RUU KUHP. Pemerintah beranggapan pasal ini harus ada karena praktik demokrasi sudah kebablasan dan terlalu liberal. Menurut mereka sudah seharusnya simbol negara harus dihormati. meski pasal penghinaan presiden ini pernah dibatalkan oleh MK.
Demokrasi Tak Berkutik
Kekhawatiran masyarakat ketika UU MD3 dan pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP berlaku, tidaklah berlebihan. Adalah hak dan kewajibannya rakyat untuk menilai dan mengoreksi kinerja pemerintah dan wakil rakyat sebagai pejabat publik. Apa jadinya jika hak dan kewajiban ini dihantui pasal karet yang multi tafsir sesuai dengan kepentingan rezim yang berkuasa. Tentu, rakyat pun berpikir seribu kali untuk mengoreksi penguasa, jika penguasa tak berkenan pidana pun jadi ancaman. Rakyat dipaksa memaklumi ketidakbecusan penguasa mengayomi. Cukuplah rakyat dipuaskan dengan kinerja sarat pencitraan yang tak berkorelasi pada kesejahteraan. Kondisi ini tentu bagai bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Inilah ironi di negara yang konon sebagai negara percontohan demokrasi bagi negeri-negeri muslim lainnya. Dalam ilusi demokrasi, fungsi kritik dari publik sangat dibutuhkan oleh pemerintah sebagai check and balance. Kekuasaan negara harus diimbangi dengan pengawasan dan kritik masyarakat sipil. Termasuk DPR yang tidak boleh imun dari kritik tersebut. Namun, sekali lagi itu adalah ilusi. Rakyat tak bebas berpendapat jika tak disenangi penguasa dan pejabat. Kebebasan berpendapat menjadi slogan kosong jika menyangkut Islam dan umatnya. Sungguh! Demokrasi lah yang menjadikan penguasa dan kroninya sebagai berhala yang tak boleh dicela.
Muhasabah Penguasa Wajib!
Islam sebagai agama yang paripurna telah menjadikan penguasa (khalifah) atau pemimpin negaranya tidak alergi terhadap kritik dan muhasabah dari seluruh rakyatnya. Bahkan mengawasi jalannya pemerintahan merupakan hak dan kewajiban seluruh warga negara, baik muslim maupun non muslim. Meski suara dan aspirasi rakyat terwakili di dalam Majelis al-Ummah, rakyat tetap dipersilahkan mengoreksi penguasa dan pejabat negara lainnya. Kerena kewajiban untuk menegakkan yang makruf dan mencegah yang munkar bukan hanya tugas partai politik namun juga tugas semua rakyat. Bahkan Islam menjadikan keutamaan orang yang berdiri tegak mengoreksi dihadapan penguasa zalim sebagai penghulu syuhada. Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin para syuhada ialah Hamzah bin Abdul Mutthalib dan seseorang yang berdiri menentang penguasa yang zalim dan ia terbunuh karenanya.”(HR.Abu Dawud). Umat Islam dalam kehidupannya tidak takut kepada apapun selain kepada Allah Swt. Keimanan saja yang menjadi motivasi mereka untuk meluruskan kesewenangan penguasa.
Cukuplah sepenggal kisah dibawah ini menjadi bukti keagungan Islam dan penerapannya. Dituliskan dalam kitab Tarikh al-Khulafa’ karangan Imam Jalaluddin as-Suyuti. Suatu hari, Jariyah bin Qudama as-Sa’adi mengunjungi dan menasehati sang Khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan ra. Ketika itu, tiga menteri Romawi juga sedang mengunjunginya.
“Wahai Mu”awiyah (dia tidak memanggil Mu’awiyah dengan sebutan Amirul Mukminin), ini pedangku menghadapimu. Aku pernah memberikan bai’at padamu, untuk mendengar dan mematuhimu, selama engkau memerintah kami dengan dasar firman Allah. Jadi, bila engkau penuhi janjimu, aku akan tetap setia padamu, dan bila engkau langgar janjimu, ingatlah bahwa di luar sana banyak ksatria bersenjata yang tidak akan tinggal diam melihat penyimpanganmu. Sesungguhnya tempat untuk penguasa yang buruk adalah di neraka.”
Sepeninggal Jariyah, salah satu menteri Romawi itu berkata: “Bagaimana bisa seorang Arab gurun yang kasar dengan perilakunya yang buruk bisa datang begitu saja dan memperlakukanmu seperti tadi, seakan-akan ia sejajar denganmu?” Mu’awiyah tersenyum dan menjawab: “Aku memerintah orang-orang yang tak kenal rasa takut dalam menegakkan kebenaran, dan semua rakyatku memiliki sifat seperti orang Arab gurun tadi. Tidak satu pun diantara mereka yang lemah dalam menegakkan kalimat Allah Swt, tidak ada di antara mereka yang diam melihat ketidakadilan, dan aku pun tidak berada diatas mereka, selain dalam masalah keimanan.”
Sungguh! Demokrasi tak akan mampu menorehkan kisah agung seperti di atas. Semua kebaikan yang dijanjikan Demokrasi adalah ilusi membawa kehancuran tak terperi bagi kehidupan. Sudah saatnya Islam menggantikan, memimpin peradaban yang agung nan gemilang.
Wallahualam bi ash shawwab.
Sumber : Dakwah media