DPR DIBAWAH KENDALI JOKOWI ?
Oleh: Nasrudin Joha
10Berita, Setelah 30 (tiga puluh) hari sejak paripurna pengesahan revisi UU MD3, maka demi hukum UU MD3 hasil revisi mengikat secara konstitusi. Presiden tidak dapat menarik tangannya, untuk membubuhkan nomor pada UU yang demi hukum berlaku.
Sikap politik Presiden yang emoh menandatangani UU MD3 hasil revisi, meskipun barang ini awalnya berasal dari eksekutif, tidak menghalangi konstitusi untuk memberlakukannya secara otomatis.
Memang benar, Presiden menangguk benefit politik dari sikap penolakan tersebut. Sementara, DPR sah menggunakan Jubah Fir’aun pasca UU MD3 secara otomatis berlaku.
Sikap DPR yang ambigu, yang mencoba merayu nalar publik untuk memahami UU MD3 tidak mengkritisi kebebasan berpendapat, DPR tidak anti kritik, DPR tidak menjadi lembaga antibody, terbantahkan dengan disahkannya secara hukum UU MD3.
Ketentuan Pasal 73 ayat 3 dan 4, yang mengatur tentang pemanggilan paksa pada orang, kelompok, maupun badan hukum yang menghina atau merendahkan kehormatan DPR melalui kepolisian. Ketentuan Pasal 122 huruf k yang memberi kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk menempuh langkah hukum jika ada pihak yang menghina atau merendahkan kehormatan DPR dan ketentuan Pasal 245 yang mengatur tentang hak imunitas bagi anggota DPR, DEMI HUKUM TELAH SAH, BERLAKU DAN MENGIKAT.
DPR tidak bisa mengelak, bahwa dirinya telah resmi mengenakan jubah fir’aun. Subjektifitas DPR saja, yang dapat mengkriminalisasi atau mengesampingkan setiap ujaran kritisme terhadap Dewan.
Ibarat pisau, pisau politik itu telah terhunus tajam. Semua terserah pada subjektivitas dewan, mau menikam nalar publik atau tetap menyarungkan pisau dibalik jubah Fir’aun.
Dewan tidak sadar, saat ini lembaganya dibawah kendali eksekutif. Jika sebelumnya, dewan tidak kuasa dan secara ridlo ikut mengaminkan Perppu Ormas menjadi UU, melalui revisi UU MD3 ini dewan kembali dipecundangi oleh eksekutif.
Bagaimana mungkin RUU yang berasal dari Eksekutif, ketika disahkan oleh Dewan kemudian ditolak Presiden ? Dalam konteks ini, Kemenkumham telah Pasang badan untuk Presiden. Secara politik, Dewan dianggap musuh rakyat. Sementara Jokowi, bisa dianggap pahlawan karena telah menolak mengesahkan UU MD3 yang penuh kontroversi.
DPR telah masuk perangkap Jokowi, karena gegabah membuat UU yang melabrak nalar publik, menghinakan nurani rakyat. Sebuah produk hukum yang menjadikan dewan teralienasi dari rakyat, pihak yang diwakilinya.
Padahal, 2018 dan 2019 adalah tahun politik. DPR semestinya berwajah manis dihadapan rakyat, bukan sebaliknya. Di masa tenggang pada tahun politik ini, justru dewan mengenakan jubah Firaun yang membuat rakyat justru emoh mengadukan urusannya kepada Dewan.
Pada soal yang lain, Jokowi memahami Dewan bukanlah malaikat. Terlalu banyak cela dan aib Dewan, sehingga Jokowi memahami dewan membutuhkan bunker politik. Jubah Fir’aun yang dikenakan Dewan bukan tanpa persetujuan Jokowi. Jubah itu sengaja dikenakan, agar arah perhatian umat bisa berfokus kepada Jokowi yang bersikap membela rakyat, dengan menolak Teken UU MD3.
Jika sudah demikian, kemana rakyat dan umat mengadukan nasib ? Kepada Jokowi yang telah tegas dan terbuka terus menciptakan kebijakan dzalim kepada umat ? Atau kepada Dewan yang justru mengambil jarak dari umat, dengan mengenakan jubah Fira’unnya?
Wahai umat, sesungguhnya kemuliaan kalian hanya ada pada Islam. Sesungguhnya urusan kalian, hanya bisa selesai manakala negeri ini diatur dengan syariat Islam. Karena itu, berikan dukungan kalian hanya untuk para pengemban dakwah Islam. [].
Sumber : Dakwah media