Inilah Kisah Dibalik Pelarangan Hak Milik Tanah Etnis Tionghoa di Yogyakarta
Oleh: Sunano*
10Berita, Untuk kesekian kali, Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta menolak gugatan Handoko yang menggugat Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dan pejabat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY lantaran menjalankan Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Nonpribumi. Katanya, ini bentuk kebijakan paling diskriminatif di Indonesia, melarang WNI memiliki tanah di Yogyakarta.
Majelis yang diketuai Hendro Cokro Mukti menggagalkan gugatan Handoko, warga Yogyakarta keturunan Tionghoa, dan seorang pengacara, dalam sidang Selasa (20/02/2018) lalu. Sebelum gugatan ini, Handoko sudah pernah melakukan perlawanan hukum atas kebijakan diskriminatif tersebut, yakni melalui uji materi ke Mahkamah Agung pada 2015 dan menggugat ke PTUN Yogyakarta pada 2016.
Sederet nama yang pernah bermasalah dengan BPN DIY beretnis Tionghoa seperti Ong Ko Eng yang ramaidi menjadi berita medio 2015. Nama lain Tan Susanto Tanuwijaya, R Wibisono, dan pada tahun 2001 H Budi Setyagraha dan Willie Sebastian. Gugatan Budi Setyagraha bahkan sampai ke Mahkamah Agung, juga tetap gagal. Mereka terus berusaha melakukan gugatan pelarangan kepemilikan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah, karena selama ini mereka hanya bisa memiliki surat Hak Guna Bangunan (HGB).
Kenapa pelarangan kepemilikan tanah di DIY oleh etnis Tionghoa terus berulang? Ada beberapa hal yang mungkin menjadi pertimbangan sebab keluarnya Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975. Soalnya sampai sekarang, tidak ada pernyataan resmi dari pihak Keraton Yogyakarta, kenapa muncul surat tersebut.
Kemungkinan pertama, sejarah wilayah Kesultanan Yogyakarta pernah mengalami perang hebat melawan Belanda pada 1825-1830. Penjelasan Peter Carey tentang salah satu alasan “Perang Jawa” yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro adalah penghisapan ekonomi penduduk Kesultanan Yogyakarta oleh etnis Tionghoa lewat pajak jalan dan tenaga kerja sewa tanah. Makanya, di awal peperangan, pemukiman-pemukiman Tionghoa yang pertama di hancurkan.
Kemungkinan kedua, selama kekuasaan Belanda pasca tahun 1870, ketika kebijakan Politik Liberal diberlakukan, seperti yang dijelaskan Selo Soemarjan dalam buku Perubahan Sosial di Yogyakarta, sampai pertengahan abad ke-20, berdiri 17 perkebunan tebu Eropa di Yogyakarta. Mereka menggunakan tanah seluas 34.000 hektare atau 10 persen dari seluruh luas DIY sekarang. Tetapi 10 persen luas tanah mengambil lebih dari 80 persen dari seluruh lahan sawah subur Yogyakarta. Penguasaan sawah juga meliputi para petani pemilik lahan dengan status pekerja paksa tanpa dibayar.
Sehingga sampai menjelang masuknya Jepang ke Indonesia, tanah subur tidak ada yang dimiliki keraton. Selama itu, rakyat dan Keraton DIY terus miskin, makanya terus muncul kerusuhan kecil di pinggiran desa di DIY.
Pemberontakan kecil dalam bentuk begal dan kecu banyak muncul di kawasan perkebunan tebu. Selain mereka merampok penduduk kaya, juga melakukan aksi bakar lahan tebu. Pembakaran tanaman tebu selama tahun 1918 bahkan terjadi sebanyak 151 kali. Gerakan protes buruh perkebunan tebu dilakukan oleh Tentara Buruh Adidarmo yang merupakan wadah organisasi buruh yang dipimpin oleh Raden Mas Suryopranoto
.Pada tahun 1918, ketika kebijakan land reform diberlakukan, keraton membagi tanah pada abdi dalem menjadi hak milik, bukan hak tinggal, ekonomi terus tumbuh. Lagi-lagi praktek bisnis Tionghoa tidak terbendung dengan modal besar, mereka perlahan bisa memiliki tanah.
Alasan ketiga yang sering menjadi dalih BPN DIY adalah adanya “Prasasti Ngejaman”, sebagai bentuk permohonan perlindungan etnis Tionghoa pada Sri Sultan HB IX pada masa revolusi kemerdekaan, saat etnis Tionghoa menginginkan mengungsi, Sri Sultan HB IX memberi pilihan “mau tetap tinggal di Yogyakarta atau mengungsi, dan selanjutnya tidak akan pernah ada lagi etnis Tionghoa yang akan diizinkan tinggal di Yogyakarta”.
Krisis hubungan etnis Tionghoa dengan Sri Sultan ini berakhir setelah etnis Tionghoa memilih tinggal di Yogyakarta. Atas jaminan Sri Sultan, selama masa revolusi tidak ada satu pun rumah etnis Tionghoa menjadi korban. Setelah selesai Agresi Belanda II, secara simbolik etnis Tionghoa menghadiahkan jam yang diletakkan di sebelah barat keraton sebagai simbol ucapan terimakasih.
Kemungkinan alasan keempat, Sri Sultan HB IX dalam kedudukannya sebagai kepala daerah dan raja, mengambil peranan sebagai wiraswasta. Semua asset bisnis milik Belanda di ambil alih dan dihidupkan lagi. Sektor ekonomi berbasis pertanian, seperti tebu, kopra dan tembakau dikelola menggunakan prinsip koperasi. Sederet perusahaan keraton, dari Pabrik Gula Madukismo, Pabrik Tembakau, Perhotelan, Mall, dan lain sebagainya.
Secara perlahan Sri Sultan juga mendirikan usaha di luar kota, seperti Jakarta, Surabaya dan mendirikan bank.
Asset tanah DIY harus dilindungi untuk menopang sektor ekonomi pertanian. Sebagai pengusaha, kebijakan politik diperlukan agar asset utama dalam bisnis tidak dimiliki orang lain, yaitu tanah. Kebijakan politiknya dengan mengeluarkan Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975.
*Sunano, penulis buku Muslim Tionghoa di Yogyakarta.
Sumber : Republika.co.id