OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 25 Maret 2018

KH Abbas Buntet Pembelajar yang Cemerlang

KH Abbas Buntet Pembelajar yang Cemerlang

Ia menggunakan momenutm berhaji untuk bermukim di Tanah Suci demi menimba ilmu.

10Berita , Pondok Pesantren Buntet di Cirebon, Jawa Barat, merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Kompleks ini didirikan KH Mukoyim pada abad ke-17. Selanjutnya, kiprah pesantren tersebut melahirkan banyak ulama besar. Di antara mereka adalah KH Abbas (1879-1946).

Menurut buku Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, KH Abbas Buntet merupakan generasi keempat yang mengasuh Pondok Pesantren Buntet. Dia merupakan putra sulung KH Abdul Jamil dan Nyai Qariah.

Semasa anak-anak, dia belajar mengaji pertama-tama dari sang ayah dan KH Kriyan Buntet. Masa remajanya tercurah untuk menimba ilmu dari pesantren ke pesantren. Di antara guru-gurunya saat itu adalah KH Nasuha Sukansari (Plered), KH Hasan Jatisari (Weru), dan KH Ubaidah (Tegal). Dia juga pernah belajar di Pesantren Tebuireng (Jombang) di bawah bimbingan KH Hasyim Asyari. Sembari menjadi santri, dia menikah dengan seorang perempuan.

Sebagaimana generasi ulama besar nusantara abad ke-19, dia menggunakan kesempatan beribadah haji sebagai momentum bermukim di Tanah Suci demi menimba ilmu. Teman-teman seangkatannya dari Indonesia adalah KH Baqir (Yogyakarta), KH Abdillah, dan KH Wahab Hasbullah (Surabaya). Di Masjid al-Haram, dia berguru pada antara lain Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Zubaidi, dan Syekh Mahfudh at-Termasi.

Dia termasuk pembelajar yang cemerlang. Hal itu ditunjang pula dengan fakta, ketika masih di Tanah Air, dia telah menjadi santri senior. Di Makkah, kala waktu senggang, dia membimbing beberapa kawan sesama pelajar Jawi. Di antara mereka yang pernah dibimbing KH Abbas adalah KH Kholil (Balerante) dan KH Sulaeman Babakan (Ciwaringin).

Pulang dari Tanah Suci, KH Abbas semakin dihormati masyarakat. Dia pun tidak putus melanjutkan menuntut ilmu, seperti di Pesantren Tebuireng yang diasuh KH Hasyim Asyari. Pada saat itu, dia ikut mendirikan Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri bersama dengan KH Wahab Hasbullah dan KH Manaf.

Selanjutnya, KH Abbas mulai memegang tampuk pimpinan Pondok Pesantren Buntet di kampung halamannya. Dia mengajak seluruh anggota keluarga besarnya untuk ikut membangun lembaga ini, terutama sebagai pengajar. Santri-santrinya berasal dari berbagai penjuru daerah.

Ciri khas Pesantren Buntet adalah menjadi acuan bagi pengembangan ilmu-ilmu agama Islam, khususnya tasawuf. Di sini, demikian menurut Saifullah (2008), ada dua tarekat yang berkembang, yakni Tijaniyah yang disebarkan KH Anas Buntet dan Syatariyah yang diajarkan KH Abbas. Sosok yang pertama itu merupakan adik kandung KH Abbas.

Bagaimanapun, kedua cabang tasawuf itu sama-sama diakui sebagai bagian dari tradisi pesantren tersebut. Bahkan, kedudukan KH Abbas tergolong istimewa. Sebab, dia merupakan mursyid tarekat Syatariyah dan sekaligus muqaddamtarekat Tijaniyah.

Hal ini menandakan luasnya pengetahuan dan corak pemikiran sang kiai yang terbuka sekaligus kritis. Demikian hasil riset Yuli Yulianti dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2014). Mengutip NU Online, beberapa tokoh hasil didikan KH Abbas untuk bidang tasawuf adalah KH Badruzzaman (Garut), KH Usman Dlomiri Cimahi (Bandung), KH Saleh, dan Kiai Hawi (Buntet).

Selain itu, KH Abbas juga diketahui menjadikan Pesantren Buntet lebih maju pada zamannya. Dia menerapkan dua metode pengajaran, yaitu cara formal berupa madrasah dan pola-pola tradisional.

Dualisme sistem ini mulai efektif menjelang 1930. Di luar pendidikan, KH Abbas juga menjadikan pondok pesantren ini sebagai peningkatan kesejahteraan masyarakat. Para santri diajarkan keterampilan berwirausaha, semisal membatik atau teknik pertanian. Seperti ditunjukkan M Rizki Tadarus dalam risetnya untuk UIN Sunan Kalijaga (2016), sang kiai juga membuat dapur umum untuk keperluan warga sekitar yang kurang mampu.

Selain ilmu agama

Di luar ilmu-ilmu agama, KH Abbas juga mengajarkan seni bela diri kepada mereka. Hal ini kelak menjadi modal penting bagi para santri untuk ikut mempertahankan kemerdekaan negeri dari penjajah. Pondok Pesantren Buntet pun menjadi basis penting laskar-laskar jihad, seperti barisan Hizbullah, Sabilillah, atau PETA (Pembela Tanah Air), terutama ketika era setelah Proklamasi 1945. Di luar itu, dia juga membentuk dua regu laskar santri, yakni Asybal dan Athfal. Demikian keterangan Munawir Aziz, seperti dilansir NU Online.

Dan memang, KH Abbas dikenal luas sebagai pejuang yang berani. Pada zaman revolusi, Belanda (NICA) yang membonceng Sekutu ingin menjajah kembali Indonesia. Sementara itu, laskar-laskar Indonesia sibuk melucuti persenjataan Jepang sebagai persiapan tempur. Di Surabaya, Sekutu semakin arogan dengan memaksa penduduk untuk menyerahkan senjata dan menyerah di tempat. Ultimatum ini ditolak mentah-mentah rakyat seluruhnya. Mereka lebih memilih mati berjuang daripada ditindas kembali.

Menjelang pertempuran 10 November 1945 itu, di Cirebon KH Abbas juga sudah mulai memobilisasi massa, terutama dari kalangan santri. Dia memberikan komando untuk ikut dalam barisan perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya. Dia sendiri ikut terjun dalam kancah perang besar ini.

Orator ulung, Bung Tomo, bisa dikatakan anak didiknya dalam semangat perjuangan. Ditilik ke belakang, peristiwa historis tersebut merupakan efek dari Resolusi Jihad yang digagas para kiai sebelumnya dalam pertemuan Nahdlatul Ulama di Surabaya, pada Oktober 1945. KH Abbas juga turut menghadiri acara yang merumuskan fatwa jihad tersebut. Demikianlah, Kiai Abbas selalu mengajarkan dan memberikan contoh kepada para santrinya agar mencintai Tanah Air.

Sumber : Republika.co.id