KH. Hasan Abdullah Sahal Dan Blue Shoe Can’t
10Berita, Sejak kemarin malam (Sabtu 17/3) di dunia medsos ramai dan mendadak viral video pendek pesan dan nasehat Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Gontor KH. Hasan Abdullah Sahal pada Milad ke-50 Pondok Pesantren Daar el-Qolam di Jayanti, Tangerang beberapa hari lalu.
Kiai Hasan menyoroti masalah penjajahan bangsa, dan itu biasa saja sebenarnya, dan yang membuat video itu viral adalah guyonannya tentang “sepatu biru tidak bisa apa-apa” atau “Blue Shoe Can’t”.
Sebagai salah satu keluarga besar Gontor saya merasa terpanggil untuk memberikan pandangan agar semuanya menjadi jelas.
Kalimat pada video nasihat Kiai Hasan Abdullah Sahal yang viral di media sosial itu sebagai berikut:
“Kalau ada kiai, tidak anti penjajah dan penjajahan… itu kiai palsu.”
“Kalau santri, ada santri tidak anti penjajahan… santri palsu.”
“Kalau pesantren tidak anti penjajahan, itu pesantren?”
(Dijawab oleh para santriwan dan santriwati beramai-ramai serempak dengan kalimat “palsu”.)
“Kita ini akan dijajah nak, sedang dijajah, dan akan dijajah kembali! Subhanallah.”
“…Dengan caranya masing-masing oleh kaum lan tardho (yang tidak ridho).”
“Saya datang disini, silaturahim, silatul ‘amal, silatul aro (tukar ide/gagasan), silatul informasi. Bukan silatul sepatu biru nggak bisa apa-apa, Blue Shoe Can’t.”
Ada enam penggalan kalimat pada video viral tersebut dengan dua makna kunci, yaitu “penjajahan” dan “blue shoe can’t” dan ini merupakan narrative text, yaitu teks yang menceritakan sesuatu yang imajinatif dan mengandung sisi guyonan/untuk menghibur pendengarnya namun punya makna peringatan serius didalamnya.
Kiai Hasan sebenarnya mengingatkan para santri di pondok pesantren Daar el-Qolam tersebut bahwa sesungguhnya pesantren itu adalah benteng NKRI. Kiai Hasan adalah seorang pendidik, dimanapun beliau tampil bicara pasti dalam konteks mendidik dan memotivasi santri agar berbuat yang terbaik buat bangsa, agama dan kemanusiaan. Begitulah budaya di Gontor ketika para kiai dan ustadz memberikan motivasi atau targhib kepada para santrinya.
Pesantren benteng terakhir Li Yatafaqqahu fid din
Pesantren adalah benteng terakhir Li Yatafaqqahu fid din, bukan di universitas, apalagi pesantren kilat yang hanya sekali dua minggu atau sekali sebulan. Musti ada yang diam tidak bergerak mobile, kiai dan santri-santrinya. Ada empat hal dalam pesantren: Ta’lim, Tadris, Ta’dib, Tarbiyah.
Dalam surah Al-Taubah ayat 122, yang artinya, “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (keluar rumah meninggalkan keluarganya/kaumnya). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Ayat diatas biasanya dijadikan landasan teologis bagi seorang santri dan pesantren dalam menjalankan fungsinya untuk tafaqquh fi al-din (memperdalam agama). Tetapi yang lebih penting dari itu, terdapat hal-hal filosofis yang terkandung dalam ayat itu sebagai penjabaran tentang tugas dan fungsi dari pesantren dan santri. Di antara nilai-nilai filosofis yang dapat dijadikan pijakan oleh pesantren adalah:
1. Pesantren sebagai bagian komponen masyarakat yang bertugas memperjuangkan Agama Allah.
2. Tujuannya adalah menjadi fasilitator bagi santri li yatafaqqahu fi al-dini (memperdalam pengetahuan agama). Yang perlu digaris bawahi di ayat ini adalah disebutkannya redaksi yatafaqqahu fi al-dini, memperdalam pengetahuan agama dalam bentuk fi’il mudhari’.
Dalam tata bahasa Arab fi’il mudhari’ adalah kata kerja yang menunjukkan masa kini dan masa yang akan datang. Jika dikembalikan kepada makna tafaqquh fid din di atas, maka dapat dipahami bahwa pesantren atau santri dalam melaksanakan pendalaman agama harus berorientasi kekinian dan visioner untuk masa-masa yang akan datang. Gontor melakukan hal itu!
Dari sinilah akan muncul bahwa pesantren itu harus dinamis, berubah, berkembang untuk tetap menjaga relevansinya dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Peranan KH. Hasan Abdullah Sahal sebagai Pemimpin/pengasuh pondok pesantren Darussalam Gontor yang visioner menjadi jelas sekarang.
Dalam kaitan nasihat atau tausiyah yang diberikan oleh kyai Hasan di pondok pesantren Daar el-Qolam beberapa hari yang lalu itu juga tidak terlepas dari orientasi kekinian dan visioner untuk masa yang akan datang.
Perlu saya sampaikan bahwa KH. Ahmad Riva’i Arief, pendiri Ponpes Daar El-Qolam itu adalah kawan sekelas Kiai Hasan Abdullah Sahal dulu ketika di KMI Gontor, jadi Ponpes Daar El-Qolam itu adalah pondok alumni Gontor, sehingga para santri disana dianggap sebagai santri-santri Kiai Hasan juga.
Penjajahan Baru, Neokolonialisme, Neokapitalisme, Neoimperialisme, Neoliberalisme (NEOLIB), Neo Feodalisme.
Semua yang terjadi didunia saat ini adalah bentuk pengulangan saja, tidak terkecuali dengan penjajahan.
Bung Karno, sebagai founding fathers pernah mengingatkan kita bahwa REVOLUSI BELUM SELESAI. Karena apa? Karena penjajahan itu nanti akan datang dalam bentuknya yang lain. Neo Imperialisme, Neo Kapitalisme, Neo Kolonialisme. Bung Karno dulu sudah mengingatkan bahwa penjajahan model baru itu bukan penjajahan secara fisik, tapi penjajahan secara ekonomi yang non fisik. Penjajahan secara sistem saat ini dikenal sebagai NEOLIB/Neo Liberalisme.
Nah, kalau Kiai Hasan Sahal kemarin bicara tentang “penjajahan dan dijajah”, maka sebenarnya apa yang disampaikan Kiai Hasan Sahal itu pada hakekatnya sama dengan apa yang sudah di wanti-wanti oleh Bung Karno sebagai seorang BAPAK MARHAEN. Bung Karno anti penjajahan, jelas itu! Itu sebabnya Bung Karno katakan, “Revolusi Belum Selesai!”.
Saya ingin tambahkan bahwa Eksklusifitas Elit adalah Feodalisme Gaya Baru. Ketika rakyat hanya dijadikan lapisan paling belakang dalam mengambil keputusan, dan ketika suara rakyat tak lebih dari pelengkap kebijakan maka saat itulah DEMOKRASI TELAH MATI!
Ketika para elit semakin sok elitis serta mempertontonkan lagaknya seperti kaum bangsawan yang harus dihormati, didengar bahkan harus dipatuhi semua omongannya, dan ketika mereka semakin eksklusif memisahkan dirinya dari kehidupan rakyat, terjebak dalam zona nyaman kenikmatan kekuasaan, maka saat itulah muncul Feodalisme Gaya Baru yang merongrong, merusak prinsip-prinsip demokrasi.
Jika nanti rakyat hidup melarat maka kaum NEO-Feodalis inilah yang bertanggung jawab. Apabila kondisi ini terus menerus terjadi dan kita tidak segera sadar untuk keluar dari cengkeraman itu, maka sudah pasti, masa depan Indonesia adalah penjajahan dalam bentuk baru.
Namun, kapitalisme bahkan ketika menjelma menjadi imperialisme, tidak dapat terlaksana dan berjalan mulus tanpa bekerjasama dengan kaum feodalis (komprador) dinegara tersebut. Itulah rumus sederhana bercokolnya neokapitalisme dimuka bumi ini. Perkawinan antara Neo Feodalisme dan Neo Kapitalisme adalah kehancuran bagi masa depan bangsa dan negara Indonesia.
Inilah sebenarnya yang sedang diingatkan oleh KH. Hasan Abdullah Sahal dalam nasihatnya kepada para santri Daar el-Qolam.
Blue Shoe Can’t
Blue Shoe Can’t, terjemahan bebasnya ialah ‘sepatu biru tidak bisa apa-apa’. Dan bila diucapkan dalam gaya Indonesia maka terucap BLUSUKAN. Mungkin ini merupakan sebuah narrative text guyonan penuh makna.
Istilah blusukan ini memang ngetren sebagai bentuk ungkapan yang bermakna umum dan bukan ditujukan kepada orang perorang.
Jika Kiai Hasan menggunakan istilah di atas (sepatu biru tidak bisa apa-apa), karena memang nyatanya banyak blusukan yang hanya sekedar pencitraan saja. Ketika sedang kampanye rajin kesana-kemari, namun begitu terpilih bukan hanya tidak bisa apa-apa, tapi bahkan ditangkap KPK. Ini yang saya tangkap dari nasihat Kiai Hasan Abdullah Sahal minggu lalu.
Oleh Muhammad E. Irmansyah
Penulis adalah pengamat sosial-budaya, dan Wakil Ketua Dewan Pusat Syarikat Islam.
Sumber : Dakwah Media