Narasi Ertuğrul, Kebangkitan Turki-Erdogan, Dan Misteri Sejarah Umat Islam Yang Hilang
Oleh: Edgar Hamas*
Jujur, saya belum menonton serial Turki yang satu ini, yang penayangannya dirilis oleh Trans 7. Televisi Indonesia memang, belakangan ini seringkali mengimpor drama-drama dari luar negeri untuk mendongkrak ratingnya. Ada Mahabarata, Jodha Akbar, Mahadewa, dan banyak lagi. Emak-emak malah bisa jadi lebih tahu, hehe.
Namun serial Ertuğrul berbeda. Serial Turki yang judul aslinya ’Diriliş Ertuğrul’ atau ‘Kebangkitan Ertuğrul’ ini secara dramatis menjamur juga di dunia Arab bahkan Asia Muslim seperti India, Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Anak-anak muda sangat menyukai karakter kepahlawanan Ertuğrul, seorang perwira Klan Kayı, suatu kabilah kecil yang secara mengejutkan, kelak akan melahirkan pahlawan Islam yang legendaris; Osman, pendiri Kesultanan Utsmaniyah, pemimpin Umat Islam 600 tahun lamanya!
Akhirnya, para sejarawan Muslim tergugah juga untuk menelisik siapakah sebenarnya Ertuğrul ini. Sampai-sampai, Jihad Turbani, Dr Jasim Al Jazza’ hingga Dr Ali Muhammad Ash Shalaby pun turun tangan. Luarbiasa.
Saya sendiri merasakan ada derap langkah teratur dari Turki, yang kini mencoba mengumpulkan energinya untuk menjadi negara hebat di muka bumi. Salah satunya; dengan mengilaukan kembali lembar sejarah mereka yang agung, agar dunia mengerti siapakah Turki sesungguhnya. Presiden Erdogan, anda luar biasa.
Kebangkitan Ertuğrul
Dikisahkan dalam episode kehidupan Ertuğrul (1189-1281 M), semenjak kekuatan Mongol menyerang hampir seluruh daratan Asia, memporak-porandakan segalanya, membunuh penduduk kota, salah satunya Baghdad (1258 M) dan menjarah banyak peradaban, suku-suku Turki yang tadinya bermukim di Asia Tengah memutuskan untuk mencari tanah baru yang aman dari serangan Mongol. Salah satu suku itu adalah suku Kayı, yang dipimpin oleh Ertuğrul.
Ia memimpin 100 keluarga dan 400 tentara, membelah daratan sekitar daerah dekat Cina menuju wilayah beribu kilometer yang amat jauh dari tanah kelahirannya. Tanah yang ditujunya adalah Anatolia, yang sekarang menjadi wilayah inti dari negara Turki modern.
Suatu hari dalam perjalanannya mencari tanah baru, Ertuğrul mendengar deru suara yang riuh di kejauhan. Ia yakin, sedang ada pertempuran besar yang berkecamuk di suatu tempat yang dekat dengan tanah yang ia pijak. Dengan tekad bulat, ia bersama 400 tentaranya memutuskan untuk melihat siapakah dua pasukan yang sedang bertempur. Dan benar, ternyata pasukan Muslimin Kesultanan Seljuk sedang terhempas oleh kekuatan pasukan Romawi Timur. Kekalahan sudah nyaris di depan mata.
Dengan gagah berani, ia hanya dengan 400 tentaranya menyatu di medan laga, membantu pasukan Muslimin memukul mundur deru gelombang pasukan Romawi yang bengis. Keadaan seketika berbalik, pasukan Muslimin berhasil mendesak tentara Romawi lari tunggang-langgang. Kemenangan kembali diraih dengan heroik.
Pasukan Kesultanan Saljuq sangat kagum dengan Ertuğrul. Bahkan sang Sultan, Alauddin Kayqubad, mengundang Ertuğrul dan mengucapkan terimakasih karena telah menyelamatkan pasukan Saljuq.
“Apa yang membuatmu menolong kami sehingga kami bisa memenangkan pertempuran?” tanya Sultan.
“Sebab kami adalah muslim, dan agama kami menyerukan untuk membela kebenaran, menolong orang-orang yang terzalimi. Orang-orang Mongol juga adalah musuh kami dan juga musuh kalian”
Itulah jawab Ertuğrul sebagaimana ditulis Bilal Abul Khair dalam Kitab 101 Amaliqah Aali Utsman ‘101 Pahlawan Dinasti Utsmaniyah.’
Setelah keduanya berbincang, ternyata diketahui bahwa baik Kesultanan Saljuq dan Ertugrul sama-sama berasal dari bangsa yang sama; Turki. Sang Sultan amat bahagia bisa menemukan seorang kesatria gagah berani yang rela mengorbankan nyawanya demi menolong saudara semuslim.
“Maka, berangkatlah bersama kami, akan aku berikan satu tanah luas. Berjalanlah ke arah Konstantinopel, aku amanahkan padamu menjaga pegunungan Armenia di musim panas, dan kota Söğüt (150 km dari Istanbul) di musim dingin. Kalian memperoleh kebebasan mengelola daerah kalian, namun tetaplah bersama kami untuk berjuang melawan Romawi dan saling menguntungkan,” lanjut Sultan Alauddin.
Tidak ada yang pernah menyangka, bahwa kedatangan 100 keluarga dan 400 pasukan kecil yang dipimpin oleh Ertuğrul di kota Söğüt, adalah “batu pertama” tempat berdirinya Kekhalifahan Utsmaniyah. Kekhalifahan besar berumur 6 abad yang terbentang dari Persia di timurnya, sampai Samudera Atlantik di baratnya; 6.000.000 km², atau setara 3,5 kali lipatnya luas Indonesia!
Mengapa bisa begitu? Sebab Ertuğrul tidak mau berhenti dari jihadnya. Ia tak mau hanya hidup nyaman di kota Söğüt dan wafat di atas kasurnya. Visinya makin bening, mimpinya makin meninggi. Ia bertekad untuk; menaklukkan seluruh wilayah Kerajaan Romawi!
Dari sanalah ia meminta izin pada Sultan Alauddin untuk berjihad di batas-batas wilayah Umat Islam dan meluaskan daerahnya sampai menuju Konstantinopel.
Kepahlawanan Ertuğrul membuat kabilah-kabilah di sekitar Söğüt berkumpul dan menyatakan kesetiaan padanya. Ertuğrul akhirnya memiliki pasukan besar yang tangkas, gagah berani, dan shalih. Banyak sekali kota-kota Romawi yang dibebaskan olehnya, dan adzan berkumandang di atasnya untuk pertama kali.
Kita kemudian akan mengetahui, walaupun Ertuğrul belum bisa membebaskan Konstantinopel semasa hidupnya, namun kelak satu keturunannya yang akan menjadi panglima muda. Panglima hebat yang menjebol pertahanan kota nan megah itu, 172 tahun setelah wafatnya Ertuğrul. Siapa lagi kalau bukan; Muhammad Al Fatih.
Ertuğrul sadar, ia memang tak akan bisa menaklukkan seluruh wilayah Romawi semasa hidupnya*. Ia memahami, takkan bisa “merebut” kemenangan atas musuh-musuh Islam jika mengandalkan dirinya. Sejak itulah ia memutuskan untuk “menciptakan” kemenangan. Ia mulai mendidik pemuda-pemuda kabilahnya untuk mencintai Islam dan memiliki semangat jihad yang tinggi.*
Faktanya, di masa kepemimpinan Ertuğrul, tak ada satupun anak-anak usia 7 tahun kecuali pasti sudah menghafalkan Juz ‘Amma, Surat Al Mulk, dan Surat Yasin. Ia ingin menciptakan generasi kuat, yang kelak akan membebaskan negeri-negeri yang belum tersentuh oleh dakwah Islam. Dan semua mimpi besarnya, ia turunkan pada anaknya; Osman bin Ertuğrul.
Osman inilah, sebagaimana kita tahu, akan menjadi Sultan Pertama Dinasti Utsmaniyah. Luarbiasa, bukan?
Itulah mengapa, teman-teman akhirnya setidaknya tahu, Ertuğrul menjadi inspirasi yang meledak-ledak, menjadi simbol yang membuat anak-anak muda Islam sadar, “Wah, ternyata umat kita ini hero-nya keren-keren banget!”
“Tahukah anda, mengapa Ertuğrul yang dipilih menjadi karakter utama? Mengapa bukan Osman?” tanya Jihad Turbani pada Dr Jasim Al Jazza’ dalam serial Mi’ah Udzama.’
“Sebab, karakter Ertuğrul ini mengumpulkan unsur-unsur yang banyak; nasionalisme Turki, keagungan Islam, kehebatan sejarah muslimin, motivasi dan harapan, yang bisa diterima semua pihak” jawab beliau.
ERDOGAN~NewTurkey2023
Siapapun saat ini tahu, bahwa Turki di bawah kepemimpinan Erdogan menjelma kekuatan dahsyat yang berdiri kokoh di hadapan Asia dan Eropa. Industri pariwisata yang sangat baik, pendidikan yang mudah dan terjangkau, dan militer yang makin perkasa. Semua itu, dilakukan Erdogan dalam waktu 15 tahun pemerintahannya.
Lalu apa hubungannya dengan Ertuğrul?
Saya tidak mau menganalisa, namun saya ingin menggambarkan apa yang saya pelajari dari rangkaian peristiwa beruntun belakangan ini.
Bapak Erdogan sangat sering menggunakan sejarah agung Dinasti Utsmaniyah untuk membentuk karakter kesatria pada jiwa bangsa Turki. Dalam pidato-pidato kenegaraan misalnya, beliau pernah berbicara tentang kisah Sultan Turki yang shalih dan berani, Alp Arsalan, dengan hanya 20 ribu pasukan, berhasil memenangkan pertempuran melawan Romawi Timur yang jumlahnya 15 kali lipat pasukan Muslim; 300 ribu tentara! Logikanya, 1 tentara muslim akan melawan 15 tentara Romawi. MasyaAllah!
Maka, narasi tentang Ertuğrul nyatanya merupakan kelanjutan dari proyek besar pemimpin Turki untuk mengingatkan rakyatnya tentang kemegahan sejarah mereka. Dan di saat yang sama, mengumumkan pada dunia bahwa Turki bukanlah yang selama ini mereka kenal. Turki bukanlah negara baru. Turki, pada hakikatnya, adalah peradaban tinggi yang berjaya dengan Islam.
Ya, Turki tidak bisa dipisahkan dengan Islam. Sampai-sampai suatu masa, Sultan Muhammad Al Fatih bertutur dengan gagah berani, “menjadi Turki itu sulit, karena ia harus melawan seluruh dunia. Namun, menjadi selain Turki itu lebih sulit, karena ia harus berhadapan dengan Turki.”
Turki dalam kalimat di atas, maknanya adalah: umat Islam seluruhnya, yang kala itu dipimpin oleh bangsa Turki (Kekhalifan Utsmaniyah).
Saya mempelajari banyak hal dari seluruh keterkaitan ini. Semua peristiwa saling menguatkan satu sama lain, seakan menjadi sign, sebuah tanda-tanda yang menuntun kita perlahan menuju sebuah kesimpulan; jangan-jangan, sejarah bangsa Indonesia juga begitu hebat dan perkasa, namun, kamu tahu, ada pihak yang ingin kita lupa sejarah kita sendiri.
Sudah banyak ahli dan sejarawan berbicara, bahwa ada satu garis panjang episode sejarah Umat Islam, baik di Indonesia, maupun seluruh dunia, yang dihilangkan secara sengaja oleh orang-orang yang membenci Islam.
Episode yang hilang itu menyisakan misteri besar. Mengapa? Karena bisa jadi, di episode yang hilang itu, ternyata adalah jawaban atas keadaan kita saat ini, dan menjadi kunci bagi kita untuk merumuskan masa depan umat ini.
Begitu terpecahkan satu puzzle tentang sejarah Umat Islam di wilayah lain, cepat atau lambat, ia akan merembet pada sejarah Umat Islam di belahan dunia lainnya. Dan nyatanya, benar terjadi. Dengan mengetahui sejarah Dinasti Utsmaniyah, yang notabenenya saat itu adalah sentral kepemimpinan Muslimin sedunia, pasti ada hubungannya yang sangat erat dengan seluruh negeri-negeri Islam.
Cepat atau lambat, kita akan tahu, ternyata selama ini kita salah menakar diri kita. Sebagaimana Turki baru saja bangun dari amnesianya, kita, bangsa Indonesia, akan mengetahui jati diri bangsa ini. Dan, apa yang akan terjadi jika sebuah bangsa telah mengenal jatidiri aslinya?
"Santai saja, kita akan melakukan lompatan besar!!!"
___
*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir | Alumni SMPIT Ihsanul Fikri Mungkid Magelang | Alumni Ponpes Husnul Khotimah Kuningan.
Sumber: MJ