OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 05 Maret 2018

Nasrudin Joha: Menyiapkan “Kekalahan Jokowi” Sejak Dini  

Nasrudin Joha: Menyiapkan “Kekalahan Jokowi” Sejak Dini

 



Oleh: Nasrudin Joha

10Berita Dalam teori perang, adakalanya pasukan menunjukan kekuatan jumlah dan kecanggihan peralatan kepada musuh, untuk menggentarkan hati musuh, sehingga secara psikologis dapat memenangkan pertempuran sejak awal sebelum penyerangan dilakukan.

Pada kondisi lain, pasukan justru menyembunyikan seluruh informasi kekuatan, bahkan menyembunyikan informasi kapan melakukan penyerangan. Pada saat yang tepat, pasukan secepat kilat menggempur musuh dengan kekuatan penuh. Musuh yang tak mampu membaca kekuatan lawan, akan kelimpungan menghadapi serbuan. Kekuatan musuh dapat ditaklukan dengan strategi serangan mendadak, sehingga dapat dikalahkan secara telak.

Dalam politik, strategi model ini juga terjadi. Hanya saja, jika para pemikir partai salah mengambil strategi, apakah mendadak melakukan penyerangan atau justru sesumbar kekuatan sejak dini, justru langkah ini bisa menjadi blunder politik.

Strategi terbuka, menunjukan kekuatan dan kemampuan penetrasi politik sejak dini, bisa juga menimbulkan blunder politik ditinjau dari beberapa aspek.

Pertama, strategi ini bisa dibaca lawan politik sejak dini, sehingga antisipasi perlawanan juga bisa dilakukan sejak dini.

Kedua, strategi ini jika tidak dilakukan oleh tim solid, maka berpotensi membuka banyak celah kekeliruan dan aib politik, sehingga justru bisa memicu serangan balik lawan.

Ketiga, strategi ini kadangkala bukan diarahkan untuk menundukan lawan secara psikologis (psiwar), tetapi bisa juga dimanfaatkan berbagai kepentingan internal untuk berebut pengaruh dan meminta komitmen kompensasi.

Keempat, penetrasi politik sejak dini juga dapat memicu serangan politik balik dari lawan yang dilakukan pula sejak dini.

Kelima, kulminasi serangan sejak dini dari lawan juga bisa memiliki efek “TAICHI MASTER”, sebab menyerang dengan kesalahan lawan jauh lebih dahsyat dampaknya ketimbang menyerang untuk mencari kesalahan lawan. Ini bisa dilakukan lawan ketika posisi politik telah dibuka secara vulgar sejak dini.

Keenam, pemetaan lawan juga akan berpengaruh pada efek balik serangan sejak dini. Dalam konteks politik, apalagi politik era Now (era sosmed), lawan politik bukan saja partai politik, tetapi juga kelompok kepentingan dan aktivis sosmed. Deklarasi sejak dini akan berpotensi memicu “Perlawanan Sejak Dini”.

Jokowi dan thinktank-nya nampaknya keliru mengambil strategi mengumbar kekuatan jumlah dan amunisi sejak dini, untuk menyongsong pertarungan politik di tahun 2019.

Realitas politik yang terindera, bukan mengarah pada kesimpulan kegentaran musuh pada kekuatan politik Jokowi yang didukung mayoritas partai, kekuatan sumber daya dan amunisi, serta seabrek jurus “pamer kekuatan” lainnya.

Publik lebih melihat berbagai manuver politik Jokowi sesungguhnya mengkonfirmasi dialektika internal partai mitra koalisi untuk mencari daya tawar agar mendapat kompensasi posisi jabatan dan kekuasaan.

Reaksi Jokowi yang banyak membentuk relawan (Projo, RENAS 212 JPRI, dan akan menyusul lainnya), justru menjadi semacam “duri politik” di internal mitra koalisi partai. Partai pendukung akan merasa “dikerdilkan perannya” dengan banyak bermunculan relawan-relawanan.

Padahal, hukum besi pencapresan menyebut tegas partailah yang memiliki suara atau kursi di DPR yang berhak mengusung Jokowi, bukan relawan-relawanan.

Posisi relawan ini akan dipahami partai sebaga way out bagi Jokowi, untuk tidak mengikuti kehendak partai dengan dalih kemenangan politik yang ditangguk bukan karena suara dan perjuangan partai, tetapi sebab kegigihan dan berkeringatnya para relawan.

Kondisi ini pernah dirasakan PDIP, dimana pada awal kepemimpinan Jokowi, PDIP merasa diabaikan. Padahal, PDIP memiliki saham politik mayoritas yang mengusung Jokowi hingga menjadi Presiden.

Perang kepentingan sejak dini internal relawan dan partai pendukung Jokowi, juga akan menyebabkan friksi politik sejak dini. Jika komitmen kompensasi kekuasaan dipandang tidak sebanding dengan saham yang ditanam partai, partai akan mudah mengubah haluan -karena proses Pilpres masih jauh- dan Karena banyak memiliki informasi politik koalisi, akan mampu menghukum Jokowi secara telak ketika menyebrang di barisan oposisi.

PKB, misalnya telah menghidupkan lampu ‘Early Warning’ dengan pernyataan akan mempertimbangkan pembentukan poros baru dan mengusung Cak Imin sebagai capresnya, jika komitmen cawapres bagi Jokowi tidak terpenuhi.

Pengumuman kekuatan politik sejak dini juga akan memperbesar potensi blunder politik, apalagi jika mitra politik Jokowi tidak memiliki pengalaman politik yang cukup dalam bermanuver. Kasus blunder politik PSI di istana Presiden adalah contoh kongkritnya.

Konsolidasi sejak dini -dengan model koalisi yang super gemuk- belum lagi potensi pertarungan kepentingan dari partai luar yang terus mencoba merapat, akan menyebabkan Jokowi disibukan dengan pertarungan internal, ketimbang berhadapan dengan lawan politik.

Merapatnya Demokrat yang mengajukan proposal AHY sebagai cawapres Jokowi, termasuk fakta politik yang semakin menyulitkan membagi konsesi kekuasaan.

Belum lagi, manuver kelompok kepentingan non partai juga pasti terus bergerilya. Group LBP, klan JK tentu tidak akan berdiam diri melihat situasi ini.

Kelompok politik non partai yang di motori oleh Nasrudin Joha juga akan terus memantau perkembangan politik, terus membongkar makar jahat penguasa, membongkar hakekat pengkhianatan penguasa, melakukan aktivitas “DARBUL ‘ALAKOT” yang tentu memiliki andil besar dalam menggembosi suara Jokowi.

Jika kondisi itu terus berlangsung, bisa dipastikan Jokowi akan layu sebelum berkembang. Ibarat pisang goreng, Jokowi terlalu dini digoreng. Seharusnya, menggoreng Jokowi dilakukan mendekati Pilpres, agar hangat dan nikmat dihidangkan.

Penggorengan isu pencapresan Jokowi sejak dini, bisa berpotensi mempersiapkan kekalahan Jokowi sejak dini. Sebab, pada saat Pilpres, Jokowi bisa dianggap barang basi yang tidak laku lagi untuk dijual. Bisa juga, Jokowi ditinggalkan mitra koalisi partai sejak dini, setelah partai merasa tidak dihargai setimbang melalui kompensasi kekuasaan yang dijanjikan.

Alhasil, sadar atau tidak sadar, tim pemikir, tim politik Jokowi, tengah mempersiapkan Jokowi untuk kalah sejak dini. Ini blunder politik kawan, Anda harus banyak belajar lagi tentang politik jika tidak ingin terus melakukan kesalahan. Ingat ! Kulminasi kesalahan politik berimbas pada kekalahan politik. Waspadalah ! Waspadalah ! [].

Sumber : Dakwah media