OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 12 Maret 2018

Refleksi 53 Tahun, Kilas Balik Teror Kekejaman PKI Kanigoro 1965

Refleksi 53 Tahun, Kilas Balik Teror Kekejaman PKI Kanigoro 1965

10Berita, Kediri – Penggelaran kembali Refleksi 53 Tahun Kanigoro, Ahad (11 Maret 2018) malam di lingkungan sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri, Kanigoro, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tak ubahnya sebagai kilas balik peristiwa terror kekejaman sayap-sayap PKI di tahun 1965 yang membentuk gerombolan yang diperkuat personel Pemuda Rakyat (PR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) terhadap ratusan anggota Pelajar Islam Indonesia (PII) se-Jawa Timur yang sedang mengikuti Mental Training di sebuah Pondok Pesantren di Desa Kanigoro.

Kanigoro di Kemacatan Kras Kabupaten Kabupaten Kediri, di tahun 1960-an merupakan salah satu desa yang menjadi basis kekuatan PKI di wilayah itu. Teror kekejaman yang dilancarkan sayap-sayap PKI Kanigoro terhadap kader-kader  PII, terjadi subuh 13 Januari 1965. Peristiwa tersebut tidak dapat dipungkiri, merupakan prolog (proses awal) pemberontakan G30 S/PKI, kudeta, sebagai upaya pengambil alihan kekuasaan terhadap negeri ini.

Sementara yang terjadi saat ini, sejumlah pihak beranggapan PKI tidak mungkin bangkit kembali.Namun, menurut  H. Moh. Ibrahim Rais, Koordinator Wilayah Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (Korwil KB PII) Kediri, yang juga Ketua Yayasan Kanigoro, tetap kukuh beranggapan PKI sangat mungkin dapat bangkit kembali.

Saat berbicara dalam kesempatan Refleksi 53 tahun ini, secara khusus  H. Moh. Ibrahim Rais mengingatkan; “Kita mesti waspada. Kalau masyarakat Indonesia lengah sedikit saja bahkan kemudian  memberikan ruang, tentu sangat mungkin PKI akan bangkit kembali. Namun sebaliknya,jika masyarakat tidak lengah dan penuh semangat membendung kemungkinan bangkitnya PKI, dapat diyakini  baik dengan ‘perangkat lunak dan perangkat kasar’ PKI tidak akan mampu bangkit kembali."

OTB, Nabok Nyilih Tangan  

Sekarang ini, lanjutnya, PKI tengah berjuang untuk bangkit, diantaranya dilakukan dengan tidak lagi menggunakan nama organisasi PKI, namun dengan segenap cara yang sangat licik. Mereka berada dalam Organisasi Tanpa Bentuk (OTB)  tidak tampak namun mampu berbuat. Mereka kini, orang jawa menyebut “Nabok Nyilih Tangan.” Mereka dapat memukul dengan meminjam tangan orang lain.

Cermati, siapa yang waktu itu menyetujui pencabutan pasal 60 Undang-undang No 12 Tahun 2003, sehingga orang yang terlibat PKI kini dapat mengikuti pemilihan umum, dapat memilih dan dipilih. Kemudian di tahun 2004 lahir Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Ini, apa ya mungkin undang-undang itu bisa tiba-tiba ada. Ini, merupakan bukti mereka sekarang ini ada, dan terus berupaya walaupun dengan OTB.  

Sebagai salah seorang saksi mengalami langsung terjadinya kengerian teror Kanigoro, Muh Ibrahim Rais menyebut  peristiwa teror kekejaman dilakukan PKI di awal tahun 1965 sama sekali tidak dapat dilupakan oleh setiap kader PII peserta Mental Training yang datang dari seluruh wilayah Jawa Timur.  Pada kesempatan penyelenggaraan Reflesi 53 tahun kali ini, hadir sejumlah kader-kader sepuh PII yang lain dari sejumlah daerah di Jawa Timur,  mantan peserta Mental Training Kanigoro yang pernah mengalami persitiwa mengerikan tersebut secara langsung.   

Drs. H. Muh. Zain Nasruddin Ansharullah, salah seorang saksi yang kini berdomisili di Semarang Jawa Tengah, dalam kontak telepon melalui sejumlah Short Message System (SMS/pesan pendek),  mengungkap ketika itu ia sebagai Ketua Pengurus Daerah (PD) PII Kotapraja Madiun menjadi salah satu peserta Mental Training di Kanigoro. Bertindak sebagai  Ketua Panitia Mental Training adalah Masyduki Sulaiman, dari PD PII Kediri dan bertindak selaku Koordinator Instruktu adalah Anis Abiyoso----yang kemudian diadili dan di penjara di Kota Keidri dengan tuduhan kontra revolusi----sebuah tuduhan yang tak ubahnya dengan tuduhan  subversive--- dapat memberikan akibat pidana yang berat.

Teror Subuh 

“Mental Training di Kanigoro, Kecamatan Kras Kabupaten Kediri itu, dengan peserta  kader-kader PII yang di kirim dari seluruh Pengurus Daerah se-Jawa Timur. Penyelenggara Mental Training adalah Pengurus Wilayah (PW) PII Jawa Timur; saat itu Ketua Umum PW PII Jawa Timur adalah Yahya Mansyur----yaitu putra menantu Pak Dipo, Ketua Partai Masyumi  Kabupaten Kediri,” ungkap Muh. Zain, sambil mengungkap sebenarnya inginan untuk hadir pada acara refleksi, namun kondisi kesehatannya tidak mendukung untuk sebuah perjalanan jauh antara Semarang hingga Kediri.

Beberapa kali sebelum ini, Suara Islam Onlinemengungkap Teror Kekejaman PKI 1965 terhadap sejumlah kader PII peserta Mental Training  di Kanigoro, disebut juga sebagai teror subuh. Terjadi Rabu, 13 Januari  1965, saat semua peserta Mental Training sedang mengikuti Shalat Subuh berjamaan di Masjid,  yang terletak di dekat  gerbang Pondok Pesantren di desa Kanigoro.

Jamaah Shalat Subuh sedang berlangsung, dibubarkan paksa oleh segerombolan orang terdiri dari anggota Pemuda Rakyat (PR) dan Barisan Tani Indoensia (BTI) ----sayap-sayap PKI yang beringas dan membabi buta.  Mereka memasuki masjid dengan tanpa membuka alas kaki yang kotor oleh tanah becek akibat hujan semalam.  Semua jamaah shalat---putra dan putri, mereka seret keluar ke halaman masjid. Sejumlah kitab Alquran dan kita-kitab lain, mereka bawa keluar dan dirobek-robek kemudian dihinakan dengan diinjak-injak sembil mengatakan sebagai penyebab sakit gatal dan kudisan.

Iki sing nggarahi lara gatel njur dadi gudig-----Ini yang menyebabkan sakit gatal kemudian menjadi kudisan,” kata anggota gerombolan itu sambil merobek-robek kitab Alquran dan membanting berhamburan kitab Al Alquran yang kemudian juga diinjak-injak menghinakan.

Setelah itu, segenap peserta Mental Training di jadikan ikatan pada tangan dan leher berentengan, kemudian diarak melalui jalan-jalan kampung  basis PKI ----dengan keseluruhan warganya adalah anggota PKI atau setidaknya simpatisan PKI. Mereka mengancam hendak membantai, memotong kemaluan sambil terus mengacung-acungkan segala bentuk senjata tajam. Iringan “rentengan pesakitan” ini kemudian diserahkan ke Kantor Polisi Sektor Kras dengan tuduhan sebagai subversi, menghasut untuk kontra revolusi.  

Anis Abiyoso, sebagai Koordinator Instruktur, dituding sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Hingga kemudian menjalani peradilan kilatdi Kota Kediri jauh dari rasa keadilan. Divonis bersalah sebagai telah menghasut yang kontra revolusi, dan dipenjarakan di penjara Kota Kediri. 

Situasi 1965

Dalam kesempatan Refleksi 53 Tahun Teror PKI Kanigoro kali ini diselenggarakan bersama kehadiran Mayjend TNI (Purn) Kivlan Zen dan Prof Dr. H. Zainuddin Maliki, Ketua Pengurus Wilayah Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PW KB-PII)  Jawa Timur.

May Jend TNI (Purn) Kivlan Zen pada saat tampil berbicara, diantaranya  membeberkan situasi saat ini sudah mengarah seperti kondisi saat-saat menjelang terjadinya peristiwa G 30 S/PKI 1965. Umat Islam perlu waspada dan senantiasa siap-siaga dalam menghadapi apapun.

“Jangan sampai kejadian di tahun 1965 terulang. Komunis itu telah melakukan pemberontakan di negeri ini tahun 1926, 1948 dan 1965. Semua gagal, dan jangan ada kesempatan lagi untuk kali yang ke empat,” tegasnya.

Lebih lanjut diungkap, para penerus ideologi komunisme, seperti tiada henti mencari celah kelengahan Umat Islam dengan melakukan aksi dan membangun opini dengan segala cara. Diantaranya berbagi kaos bergambar logo Palu Arit. Merupakan indikasi mereka masih ada. Mereka juga sibuk menebar berita hoax yang seolah dibuat oleh umat Islam.

Di lain sisi, kader-kader PKI ini ini juga aktif mengadu domba Umat Islam dengan Pemerintah, antara Umat Islam dengan Polisi dan antara Umat Islam dengan TNI. Antara lain dengan menggunakan berita-berita hoax itu. Sangat disayangkan ada pihak yang memercayai.  Mereka ingin melumpuhkan lembaga-lembaga Negara. Dengan demikian para penerus ideologi  tersebut akan sangat mudah menerobos ke semua lembaga Negara.

Dipelopori Bedjo Untung,  para penerus Komunis juga tampil, dengan  berani terbuka. Bahkan menekan agar  penguasa sekarang ini meminta maaf dan sekaligus memberikan kompensasi  kepada mereka, dari kalangan yang disebut sebagai keluarga korban 1965.

Sementara itu, Prof Dr. Zainuddin Maliki, yang tampil berbicara selanjutnya mengingatkan bahwa Komunismen dimana saja dan kapan saja menganggap agama itu sebagai candu (opium) bagi masyarakat. Itu merupakan doktrin asli dari Karl Marx yang kemudian dikenal sebagai Marksisme. Ideologi ini sudah dapat dipastikan sangat membenci semua yang berbau agama. Mereka juga sangat membenci Ulama, agamawan dan siapa saja aktivis Islam.

Mereka, para penganut Komunisme terutama PKI, sangat mudah memutar balikkan fakta.

“Dalam tahun 1965, sudah sangat jelas-jelas mereka yang menjadi pelaku kekerasan dan pembunuhan, tapi kemudian diciptakan opini dan fakta yang seolah benar, yang menyebutkan mereka adalah korban. Mereka disebut sebagai korban kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Karenanya kemudian Negara harus meminta maaf dan memberikan kompensasi,“ paparnya.

Karenanya, lanjut Zainuddin Maliki, sangat diharapkan generasi muda bersedia belajar dari sejarah masa lalu. Sejarah  yang benar.  Sehingga dapat mengambil hikmah dari peristiwa  tersebut.

“Jangan sampai sejarah berulang hanya karena kebodohan kita. Negara-negara berhaluan komunis memang sudah banyak yang runtuh. Namun tidak berarti  komunis sebagai idiologi itu  sudah mati. Sebab, idiologi, dapat berubah bentuk dalam penampilannya, dengan kemasan baru yang lebih sesuai dengan karakter zamannya. Apalagi mereka mendapat support dari kekuatan jaringan global dengan pendanaan yang luar biasa besar, tanpa batas,” katanya mengingatkan.

Sumber : SI Online