SIDANG PTUN JAKARTA: DIKTATORISME LEGAL STANDING
SIDANG PTUN JAKARTA: DIKTATORISME LEGAL STANDING
[Catatan Kritis Gugatan PTUN HTI vs PEMERNTAH]
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua Koalisi Advokat Pembela Islam
Koornas Koalisi 1000 Advokat Bela Islam
Ahli administratif Pemerintah yang dihadirkan Prof. Dr. Philipus Mandirin Hadjon, SH (15/03/2018), nampaknya telah koor (bersepakat) dengan ahli administratif sebelumnya untuk mengingkari nalar hukum yang mereka bangun sendiri.
Semua ahli sepakat bahwa ciri negara hukum (rechstaat) adalah adanya due proces of Law. Setiap orang terbebas dari segala tuduhan, tidak bisa diberi sanksi hukum, kecuali atas kekuatan dan perintah putusan pengadilan.
Logika ini berulang kali disampaikan Pemerintah, bahwa asas due proces of Lawdengan diterbitkannya Perppu Ormas tidak akan hilang. Sebab, Ormas yang dicabut status badan hukumnya dapat mengajukan Gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Bedanya, sebelum Perppu Ormas diberlakukan proses persidangan berada didepan. Ormas hanya bisa dicabut status badan hukumnya, setelah Pemerintah melalui jaksa pengacara negara, mengajukan permohonan pencabutan status badan hukum melalui peradilan umum dimana ormas berdomisili.
Artinya, sebelum rezim perppu proses peradilan adalah peradilan subtantif (materil) melalui pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri yang berkekuatan hukum tetap, menjadi dasar Pemerintah (Kemenkumham) menerbitkan keputusan administratif yang isinya mencabut status badan hukum perkumpulan Ormas.
Sejak rezim Perppu, proses peradilan menjadi peradilan administratif (PTUN). Dimana, secara sepihak Pemerintah dapat langsung mencabut status badan hukum Ormas, kemudian Ormas yang keberatan status badan hukumnya dicabut bisa mengajukan gugatan administratif ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Namun yang menjadi unik, bahkan bisa juga disebut nyeleneh, manakala ahli menerangkan status badan hukum Ormas yang telah dicabut tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan ke PTUN.
Ahli seolah ingin menguatkan Eksepsi Tergugat terhadap gugatan HTI, karena dalam salah satu poin argumen Pemerintah menyatakan HTI tidak memiliki legal standing sebagai Pengugat dalam Gugatan a Quo karena status badan hukumnya telah dicabut.
Pendapat konyol ini tentu saja mengusik nalar dan logika publik. Bagaimana mungkin Pemerintah menyatakan Ormas yang dicabut status badan hukumnya dapat menggugat ke pengadilan, namun setelah digugat di pengadilan Pemerintah menolak gugatan dengan dalih HTI tidak memiliki legal standing karena badan hukumnya telah dicabut ?
Lantas, jika yang menggugat individu HTI sebagai eks anggota HTI, dimana letak kepentingannya? Padahal menggugat PTUN haruslah pihak yang berkepentingan dan dirugikan atas dicabutnya status badan hukum HTI.
Bukankah PNS yang dicabut status PNS nya yang paling berkepentingan nengajukan gugatan PTUN atas SK pemecatan terhadapnya ? Apa ketika PNS sudah dicabut statusnya lantas dianggap tidak memiliki legal standing ? Apa kemudian yang mengajukan gugatan suami atau istri PNS tersebut ? Ini super konyol !
Kesaksian ahli yang diarahkan untuk menguatkan eksepsi Pemerintah atas legal standing HTI ini benar-benar melukai Nalar publik. HTI telan dicabut status badan hukumnya, sehingga demi hukum HTI tidak memiliki kapasitas (legal standing) sebagai Penggugat. Luar biasa !
Logika yang disampaikan ahli juga mengingkari pernyataan Pemerintah yang katanya akan taat due proses of Law, meminta pada ormas yang dicabut status badan hukumnya menggugat di PTUN. Sampai di PTUN di eksepsi karena telah dicabut status BHP nya. Ini seperti teka-teki lama, ayam atau telor duluan yang keluar? Di gugat dulu atau di cabut status dulu ?
Kenyataan ini menunjukan bahwa Pemerintah galau menghadapi gugatan HTI. Pemerintah tidak sanggup menunjukan satu pun bukti administratif, sejak rentan Perppu terbit hingga pencabutan status BHP HTI (10 Juli 2017 sampai 19 Juli 2017). Karenanya, Pemerintah berupaya berputar-putar pada argumen Legal standing.
Harapan Pemerintah, jika Eksepsi diterima dan gugatan dinyatakan NO, maka Pemerintah tidak perlu repot masuk pada diskursus pembuktian pokok perkara. Dzalim sekali pemerintahan model begini ? [].
Sumber :Dakwah media