OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 11 Maret 2018

War On Hoax: Kritis Tanpa Hoax

War On Hoax: Kritis Tanpa Hoax

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

10Berita, JAKARTA – Marco Di Lauro hampir terjatuh dari kursiya, ketika ia melihat foto jepretannya di internet. Foto karyanya menangkap deretan jenazah anak-anak di Irak tahun 2003. Namun BBC menayangkan foto tersebut sebagai korban konflik di Houla, Suriah tahu 2012.(David Turner: 2012)

BBC kemudian menyadari kesalahan mereka dalam berita tersebut. Kekeliruan BBCkarena tidak memverifikasi lebih detil foto, berpengaruh pada banyak hal. Selain kredibilitas mereka, tentu saja persepsi orang tentang konflik di Suriah. Gara-gara foto tersebut “hoax”, bukan tidak mungkin orang akan beranggapan pembunuhan terhadap anak-anak adalah hoax.

Jangankan orang biasa seperti kita, media dengan reputasi besar seperti BBC pun bisa
tersandung hoax. Persoalan berita bohong, atau hoax memang persoalan yang membelit
semakin kencang masyarakat saat ini. Nyatanya gelombang informasi akibat perkembangan
teknologi, terutama teknologi digital menyeret konsekuensi yang berat.

Jurnalis kini dituntut untuk melakukan tugas yang lebih berat. Jika di masa lalu ia menjadi
sumber informasi, kini informasi bisa datang dari mana saja. Tugas jurnalis adalah memilah
(termasuk memverifikasi) informasi. Kovach dan Rosenstiel mengungkapkan bahwa di era
gelombang informasi yang melimpah seperti saat ini, juralis harus membekali diri mereka
dega sikap skeptis.

“Pers yang manjur” dibangun kaum empiris yag tangguh dan disiplin, seperti Bigart (juralis
New York Times), tetapi banyak wartawan naif bermetal tukang ketik yang memiliki koneksi
orang penting lebih dihargai ketimbang wartawan skeptis yang mengejar bukti.”(Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel: 2012)

Tantangan yang harus dihadapi jurnalis memang tak mudah. Gelombang infromasi beserta
sampah informasi yang hanyut di dalamya, sulit utuk dipilah. Bukan hanya itu. Jurnalis
berhadapan dengan informasi palsu, berita bohog, hoax yang memang sengaja untuk
diproduksi dan disebarkan secara massal. Craig Silverman dalam Nieman Reports: Truth in
Age of Social media, memaparkan hal ini. menurutya, “The forces of untruth have more money, more people, and … much better expertise. They know how to birth and spread a lie better than we know how to debunk one. They are more creative about it, and, by the very nature of what they’re doing, they aren’t constrained by ethics or professional” (Craig Silverman : 2012)

Sebagai penjaga gerbang informasi, terkadang gelombang informasi tersebut sulit untuk
dibendung. Masyarakat era digital menuntut arus informasi yang serba cepat. Perusahaan pers
merespon dengan menuntut jurnalis menaikkan informasi sesegera mungkin, berlomba-lomba
dalam kecepatan. Orientasi pasar (komersial) pada perusahaan media (pers) menekan sisi-sisi
idealisme jurnalis. Pergeseran perlakuan pembaca dari warga (citizen) menjadi konsumen
(consumer), hingga pemberitaan yang menghibur membuat aspek ekonomi menjadi
pertimbangan penting. Dilema inilah yang dikupas Doug Underwood dalam Reporting and
the Push for Market-Oriented Journalism: Media Organizations as Businesses. (W. Lance
Bennet dan Robert M. Entman: 2005)

Di era digital keluhan yang sama dituangkan oleh jurnalis senior, Yoko Sari. Menurutnya,
“Di sini kecepatan merupakan nilai mutlak. Siapa yang paling cepat mengunggah, dia yang
akan mendapat traffic paling besar karena netizen melakukan share berita itu.

Traffic adalah hak mutlak dari media digital di Indonesia karena merupakan daya tarik
utama dalam mendapatkan iklan. Setidaknya itu yang terus-menerus didengungkan oleh tim
bisnis. Traffic jeblok, iklan jeblok, kesehatan perusahaan pun jeblok.

Jurnalis tidak memiliki, atau tidak diberi waktu, untuk membuat satu berita utuh seperti pada
media konvensional. Setiap detik adalah tenggat waktu. Bukan dalam hitungan jam atau
hari.” (Yoko Sari, Jurnalisme Daring Antara Traffic dan Etik: 2018)

Dampak pola kerja seperti itu tentu saja pada penurunan kualitas dan meredupnya prinsip
kerja jurnalis yang harus mengecek dan membandingkan informasi. Maka dalam hal ini pola
kerja seperti ini semakin sulit membendung limpahan informasi termasuk di dalamnya hoax
yang turut serta.

Situasi ini membuat para jurnalis semakin sulit. Pekerjaan melakukan verifikasi berita,
mengecek fakta dengan detil seperti yang diharapkan Kovach dan Rosenstiel ditekan oleh
perlombaan kecepatan menayangkan berita. Meski demikian bagi jurnalis, tak ada jalan lain.

Seperti yang diungkapkan oleh Alicia Shepard dalam artikelnya di situs Columbia Journalism Review,
“Credibility is the only currency journalists have. If news organizations fall for this stuff, it
hurts their and all other journalists’ credibility. It takes time to check something out, and we
all feel like we don’t have the time. Just easier to copy and paste. Make time.”

Jurnalis memang berdiri dalam garda terdepan perang terhadap hoax. Tetapi ia tidak
sendirian. Masyarakat sendiri memegang peranan penting. Terutama bagaimana memberi
pemahaman pada masyarakat tentang keberadaan media dan berita. Howard Schneider, dari
School of Journalism, Stony Brook University, mengingatkan pentingnya mendidik
masyarakat agar “melek berita.”

“The ultimate check against an inaccurate or irresponsible press never would be just better�trained journalists, or more press critics and ethical codes. It would be a generation of news
consumers who would learn how to distinguish for themselves between news and
propaganda, verification and mere assertion, evidence and inference, bias and fairness, and
between media bias and audience bias—consumers who could differentiate between raw,
unmediated information coursing through the Internet and independent, verified journalism.”

Masyarakat harus diedukasi untuk bukan saja agar melek media, tetapi juga melek berita
(news literacy). Tidak dapat dipungkiri, manusia lebih suka berita yang mereka ingin
percayai. Bukan apa yang sebenarnya terjadi.

“Humans resist correction and are disinclined to change closely held beliefs. We seek out
sources of information that confirm our existing views. When confronted by contrary
information, we find ways to avoid accepting it as true. We are governed by emotion, not by
reason. (Craig Silverman : 2012)

Masyarakat perlu mengetahui tentang pemilahan informasi, membandingkan, dan tidak kalah
penting memahami efek psikologis dari informasi dan interaksi di dunia maya.
Konten-konten di dunia maya yang cenderung menggugah emosi (negatif atau positif) dapat
berbuah petaka ketika ia menjadi menular secara cepat. konten yang menggugah emosi
membuat orang lebih mudah untuk menyebarkannya. Dan konten emosional ini dapat terus
menyebar secara viral karena efek emosi yang menular (emotional contagion). (E. Guadagno, et al: 2013)

Menariknya, Michael Rosenwald, reporter dari Washington Post, mengutip penelitian dari
University of California, menyebutkan bahwa literasi media tetap berpengaruh pada orang�orang yang memegang teguh nilai-nilai dan kepercayaan tertentu.

“those with media literacy training can still be fiercely committed to their world view, but
they can also successfully question flimsy claims. They can call bullshit. Maybe they can even
stop spreading it.”

Maka menjadi tak tepat ketika pemerintah saat ini hanya memakai pendekatan hukum dalam
perang terhadap hoax. Pendakatan legalistik seperti ini justru tak menyelesaikan masalah.
Mengedukasi masyarakat lewat literasi media tantangan yang harus dihadapi semua negara.
Justru ketika menghadapi persoalan hoax hanya menuding masyarakat sebagai biang keladi,
maka sebenarnya menutupi lubang hitam yang lebih besar. Hoax dapat dieksploitasi untuk
memukul pihak tertentu.

Lihatlah bagaimana pemerintah Myanmar menuding persekusi terhadap muslim Rohingya
sebagai berita bohong. Atau yang lebih jelas, ketika Donald Trump, Presiden AS saat ini
berusaha untuk membungkam kritik yang menimpanya dengan menuduh beberapa media
sebagai penyebar berita bohong (fake news).

Steve Coll, Dekan dari Graduate School of Journalism di Columbia Univesity menyebutkan
bahwa definisi “fake news” ala Trump berarti liputan kredibel yang ia tak sukai.
“But he complicates the matter by issuing demonstrably false statements of his own, which,
inevitably, make news. Trump has brought to the White House bully pulpit a disorienting
habit of telling lies, big and small, without evident shame. Since 2015, Politifact has counted
three hundred and twenty-nine public statements by Trump that it judges to be mostly or
entirely false.” (Steve Coll: 2017)

Artiya Trump menutupi kebohongan-kebohongannya dengan menuduh pihak yang ia tak
sukai sebagai pembuat kebohongan. Dalam hal ini media yang kritis kepadanya ia tuduh
pembuat berita bohong (fake news). Hal ini menadakan pada kita bahwa hoax dapat pula
dieksploitasi dan dijadikan komoditas politik oleh peguasa. Rezim seperti myamar atau
Trump memakai label hoax utuk informasi yang mereka tak sukai.

Di Amerika Serikat pula, Hoax yang dampaknya sangat massif dan dibuat oleh penguasa atau
pemerintah. Hal ini terjadi pada masa pemeritahan George W. Bush. Ketika pada pada tahun 2002 menuduh pemeritah Irak di bawah Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal.
“Imagine a September 11 with weapons of mass destruction. It’s not 3,000, it’s tens of
thousads of innocent men, women, and children,” kata Donald Rumsfeld, Menteri Pertahanan
AS saat itu.

Rezim Bush menjadikan ‘11 September’ sebagai komoditas dan meyebarka hoax bahwa
rezim Saddam memiliki senjata pemusnah massal. Dampak hoax ini kemudian massif. Rezim
Bush menyerang Irak atas nama pre-emptive strike. Nyawa rakyat Irak melayang.
Kehancuran masyarakat dan peradaban buah dari hoax rezim Bush.

Hoax tentang senjata pemusnah massal (WMD) yang disebar oleh pemerintahan Bush
seharusnya bisa disaring oleh pers di AS pada saat itu. Tetapi kenyataannya pers AS tak
bekerja sebagaimana mustinya. Informasi oleh pajabat pemeritah ditelan begitu saja. Alih�alih mejadi kritis terhadap kebijakan dan pernyataan pemerintah, pers arus utama di AS,
termasuk New York Times dan Washigton Post malah mejadi corong rezim Bush.
“The continuing dependence of mainstream journalism on the story lines fed them by
powerful officials was not due to some aberration, but to the routine rules of the news game.

The expertly sold prewar buildup and the planned Hollywood ending were not isolated
incidents of the press reporting the offi cial line. Long before Mr. Bush landed on the
Abraham Lincoln, the leading U.S. news organizations had effectively become government
communications channels.” (Lance W. Bennet, Regina Lawrence, dan Steven Livingstone:
2007)

Bahkan jejak mandulya pers AS semakin buram ketika jurnalis New York Times, Judith
Miller memuat berita yang salah mengenai senjata pemusnah massal. Miller percaya begitu
saja pada Mr. Chalabi, narasumberya tentang senjata pemusnah massal yang kemudian
diketahui berbohog. Miller kemudian membela diri dengan mengatakan,“My job isn’t to assess the government’s information and be an independent intelligence analyst myself. My job is to tell readers of The New York Times what the government thought about Iraq’s arsenal.”

Benarkah demikian? Pernyataan Miller dibantah oleh Maureen Dowd, kolumnis New York
Times. “Investigative reporting is not stenography,” bantah Dowd. (Lance W. Bennet,
Regina Lawrence, dan Steven Livingstone: 2007) Oleh sebab itu disinilah pentingnya peran pers. Pers bukalah corong pemerintah. Jurnalisme bukan pencatat pernyataan pemerintah (clerkism), Pers adalah watchdog yang berperan sebagai kontrol pemeritah.

Demikian pula, jurnalis senior Indonesia, Yoko Sari menyatakan ketika berbicara pers digital
di Indonesia,

“Sebagian besar jurnalis yang sudah berpengalaman dua-tiga tahun tidak mengerti atau
tidak memandang perlu untuk mencari data atau informasi sebagai penyeimbang dari
keterangan satu narasumber, swasta atau pemerintah.

Silahkan lihat berita-berita yang diunggah. Meski tidak semua, hampir sebagian memuat
informasi dan data satu sisi tanpa ada upaya membuat berita lanjutan yang berisi
pembenaran atau sanggahan.

John McBeth benar dalam hal ini. Semua pernyataan kini dianggap satu kebenaran. Jika
pejabat A mengatakan B, itulah kebenaran hakiki.”

Maka peran jurnalis yang kritis terhadap kebijakan, pernyataan dan tindak tanduk pemerintah
menjadi penting untuk membendug hoax. Hoax yang berasal dari pemerintah – seperti di AS�perlu dikritisi. Penyebar atau pembuat hoax bukan label bagi kelompok atau pihak tertentu.
Alih-alih ia penyakit yang bisa diidap siapa saja.

Perang terhadap hoax bukalah monopoli satu pihak saja, melainkan semua pihak, masyarakat,
pemeritah dan jurnalis. Di perjalanan enam tahun Jurnalis Islam Bersatu (JITU), kami
mengajak kembali untuk bersikap kritis tanpa hoax. War on Hoax: Kritis tanpa hoax.

Wallahualam.

Sumber : Jurnal Islam