OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 01 April 2018

Dilema Indonesia di Tahun 2030

Dilema Indonesia di Tahun 2030

10Berita, Iklim perpolitikan Indonesia menjelang Pilkada serempak dan Pemilu raya sedang panas-panasnya. Bukan hanya karena kehadiran caleg-caleg yang mulai cari-cari perhatian warga di dunia nyata, juga karena ada satu pembicaraan yang tidak berhenti arusnya selama seminggu terakhir ini, yaitu tentang pidato Ketua Umum sebuah partai oposisi yang berusaha menggambarkan kondisi negeri kita pada tahun 2030 yang akan datang. Tidak tanggung-tanggung, kata ‘bubar’ menjadi viral hingga memantik berbagai komentar dari berbagai tokoh diseluruh penjuru negeri. Pro dan kontra pun berkembang. Ada yang menganggap lucu karna referensi yang dicatut hanya sebuah novel fiksi luar negeri, ada juga yang membenarkan kemungkinan tersebut dengan melihat fakta yang juga sempat dipaparkan dalam pidato tersebut.

Indonesia sebagai negara berkembang yang besar dengan segala potensinya, tidak dapat dipungkiri bahwa kita memiliki kesempatan untuk berdaya sebagaimana negara-negara maju saat ini. Usahanya saja yang mungkin perlu lebih ekstra, karna secara politik kita belum punya bargaining position layaknya negara tetangga. Baik secara geografis maupun demografis kita unggul dibanding negara ASEAN lainnya. Namun dari segi lainnya, Indonesia kesulitan menunjukkan taringnya. Sekedar untuk menolak impor saja Presiden kita masih sering berkilah, janji-janji kampanyenya 4 tahun lalu dibiarkan hilangditelan waktu, seakan-akan program kerja yang ia rancang dengan timnya dulu tak bisa berlaku, meski kekuasaan dalam genggamannya, meski kebijakan dapat disahkan berkat tandatangannya.

Lebih dari itu, ketimpangan yang terpampang secara nyata ini sangat mungkin untuk dijadikan penguat bagi pendapat akan bubarnya negara dalam waktu dekat. Kita rasakan sendiri bagaimana distribusi kekayaan hanya berputar dalam pusaran para kapital (pemilik modal) saja, kesenjangan semakin tinggi, harga bahan pokok meningkat tidak sejalan dengan pendapatan, aset negara diobral besar-besaran, hingga tenaga kerja asing semakin melenggang mudah dipasaran. Belum lagi masalah pergaulan yang makin kebablasan, pendidikan yang tak jelas arahan, keamanan warga yang tak ada jaminan, kesehatan yang semakin jauh dari jangkauan, juga keutuhan keluarga yang menjadi angan, hingga pada tataran individu generasi yang lelah mengarungi kehidupan. Entah mereka berakhir dalam kubangan lumpur peradaban atau mati dengan kesia-siaan.

Ketika mata sudah terbuka lebar, suka atau tidak suka, kondisi inilah yang sedang berjalan. Atas nama kebebasan, segala kebijakan menjadi halal seakan-akan. Kita harus sadar sejauh mana leher kedaulatan negara ini diberikan lewat konsesi hutang. Empat ribu dua ratus triliunan Rupiah bukanlah barang sedikit. Saking banyaknya, ada seorang profesor peneliti Badan Indo Geospasial yang menghitungkan luasan dimensi horizontal hutang sebanyak itu dengan mengkonversinya ke pecahan uang 1000 rupiah. Dengan ukuran uang 151 mm x 65 mm per lembar, uang ribuan triliun tersebut akan mampu mencapai 2 kali luas Pulau Jawa. Besaran hutang sefantastis itu bagaimana melunasinya?

Pepatah dalam bahasa Inggris mengatakan “there is no free lunch”, tidak ada makan siang gratis. Semua pemberian hutang itu tidak diberikan secara percuma. Bercokolnya sistem ekonomi kapitalis, meniscayakan setiap orang untuk berbuat atas dasar keuntungan semata. Apalagi dalam urusan negara. Tidak hanya wajib membayar bunga yang tidak sedikit, pemerintah Indonesia wajib menswastanisasi berbagai sektor yang disyaratkan oleh si pemberi hutang. Banyak juga dari kalangan pengamat yang melihat gelagat pemesanan undang-undang oleh para elit berduit. Indikasinya banyak, salah satunya adalah betapa mulus dan licinnya jalan mereka untuk menggemukkan bisnisnya. Juga terlihat dari banyaknya pemilik kursi terlibat kasus korupsi. Maka benar jika kondisi saat ini lebih tepat disebut korporatokrasi, dimana petinggi pemerintah dipimpin secara sistem afiliasi korporasi (perusahaan-perusahaan besar).

Parahnya lagi, hutang telah dipandang oleh negeri ini sebagai alat fiskal untuk menggerakkan roda perekonomian dansaat negara butuh dana untuk membangun pun, berhutang menjadi satu-satunya solusi instan yang diambil. Sistem keuangan seperti ini jelas tak akan kokoh. Selamanya kita akan didikte karna hutang kita yang semakin hari semakin mencekik. Gambaran Indonesia bubar menjadi semakin mudah dipahami, yang pasti adalah Indonesia ini bisa bubar kedaulatannya.

Berbeda dengan pengelolaan sistem keuangan dalam Islam. Dalam tatanan negara Islam (Khilafah), disyariatkan pos fai, kharaj, jizyah, pengelolaan aset kepemilikan umum (barang tambang, hasil hutan dan laut, dan lain-lain), zakat mal (zakat ternak, pertanian, perniagaan, emas dan perak) menjadi sumber penghasilan negarayang produktif dan selalu mengalir karna tidak terjerat hutang ribawi. Sistem pemungutan pajak dalam berbagai sektor akan ditidakan sehingga tidak akan membebani rakyat secara umum. Penerapannya pun sudah menorehkan tinta emas sejarah peradaban manusia, yakni di masa Khalifah Harun Al-Rasyid yang jumlah surplus pendapatan negaranya setara total penerimaan APBN Indonesia. Belum lagi pembangunan infrastruktur pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khatthab yang bebas hutang sepeser pun dari negara luar. Pembangunan kanal dari Fustat ke Laut Merah, pembangunan kota dagang Basrah (jalur dagang ke Romawi), pembangunan kota Kuffah (jalur dagang ke Persia) berhasil melancarkan aliran dana untuk memfasilitasi aktivitas negara dan rakyatnya.

Sistem keuangan inilah yang dibutuhkan Indonesia, bahkan negara lainnya untuk menghilangkan kebimbangan mengarungi masa depan. Revolusi sistem politik dan ekonomi kearah Islam secara Kaaffah akan menjadi acuan dalam menyetir dan menentukan nasib negara ke depannya. Jika konsep ini yang semakin digaungkan, wacana Indonesia bubar 12 tahun mendatang bisa dicegah, bahkan digantikan dengan keteraturan yang akan mendatangkan rahmat dan menjadikan negeri ini sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur. WaLlaahu a’lam bi ash-Shawwab. 

Penulis, Salma Banin

Sumber : panjimas