Eksistensi Kutai Kertanegara Usai Kemerdekaan
Upaya menjaga identitas kultural terus dijaga hingga kini.
10Berita , JAKARTA — Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Pada 1947, Kesultanan Kutai Kertanegara menjadi bagian dari Federasi Kalimantan Timur dengan status daerah swapraja.
Bersama dengan kerajaan-kerajaan sekitar, Kutai Kertanegara membentuk dewan kesultanan. Status ini berubah menjadi daerah istimewa setingkat kabupaten pada 1953 atau setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil perundingan dengan Belanda.
Enam tahun kemudian, Kutai dibagi menjadi tiga daerah, yakni Kutai yang beribu kota di Tenggarong, Balikpapan, dan Samarinda.
Pada 21 Januari 1960, diadakan sidang khusus antara pihak kesultanan Kutai Kertanegara dan DPRD Daerah Istimewa Kutai. Hasilnya antara lain penyerahan pemerintahan dari pihak kesultanan, yakni Sultan Aji Muhammad Parikesit, kepada bupati setempat. Sejak saat itu, kekuasaan politik Kesultanan Kutai Kertanegara secara resmi berakhir.
Barulah pada 1999, ada inisiatif untuk memulihkan eksistensi Kesultanan Kutai Kertanegara, yakni sebatas identitas kultural. Usulan ini datang dari bupati Kutai Kertanegara kala itu, Syaukani Hasan Rais. Tujuannya bukan untuk membangkitkan feodalisme, tetapi lebih sebagai upaya pelestarian warisan budaya dan sejarah.
Pada 7 November 2000, Bupati Kutai Kartanegara dan keturunan sultan Kutai Kertanegara, H Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat, menghadiri undangan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Jakarta. Mereka menyampaikan maksud untuk memulihkan eksistensi Kesultanan Kutai Kertanegara sebagai entitas budaya. Presiden pun menyetujuinya.
Sejak saat itu, Kesultanan Kutai Kartanegara bangkit kembali.
Kepemimpinannya diserahkan kepada Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat sebagai keturunan ningrat Kutai secara efektif mulai 22 September 2001. Dia menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Salihuddin II.
Sumber : Republika.co.id