OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 25 April 2018

Islam Disebarkan dengan Pedang, Benarkah?

Islam Disebarkan dengan Pedang, Benarkah?

10Berita, INI adalah tuduhan umum yang dibuat terhadap umat Muslim dan Islam secara umum: “Satu-satunya alasan Islam menjadi agama yang menyebar di dunia adalah karena agama ini disebarkan dengan pedang.”

Ini adalah pernyataan favorit kaum Islamofobia, para analis dan sejarawan yang takut akan ancaman Islam pada Dunia Barat. Ini sudah lama menjadi sebuah topik hangat yang diperdebatkan, dan adalah tepat untuk menganalisis dan mempelajari topik ini untuk lebih memahami apakah sah atau tidak.

Mesir, Suriah, Iraq, dan Persia – Penaklukan Pertama

Setelah periode pemerintahan Nabi Muhammad (SAW), ekspansi Islam sebenarnya dimulailah, atau pada awal tahun 630. Kampanye melawan Kerajaan Bizantium dan Sassanid (Persia) dimulai dengan prajurit Arab gurun melawan kerajaan kuno yang sudah mapan ratusan tahun dan berpusat di Konstantinopel dan Ctesiphon.

Abu Bakar, khalifah pertama Islam, mengeluarkan aturan kepada para tentara yang akan berperang:

“Berhentilah sejenak, hai pasukan, supaya aku bisa menerangkan dahulu kepada kalian aturan bagaimana kalian di medan perang. Jangan melakukan pengkhianatan atau menyimpang dari jalan yang benar. Kalian tidak boleh melakukan mutilasi mayat. Kalian tidak boleh membunuh seorang anak kecil, atau seorang wanita, atau seorang pria tua. Kalian tidak boleh merusak pohon, atau membakar pohon dengan api, khususnya yang tengah berbuah. Jangan sembelih ternak, simpanlah untuk persiapan makanan kalian. Kalian akan melewati orang-orang yang telah mengabdikan hidup mereka untuk layanan monastik, janganlah kalian ganggu mereka.” (Aboul-Enein, H. Yousuf and Zuhur, Sherifa, Islamic Rulings on Warfare, p. 22, Strategic Studies Institute, US Army War College, Diane Publishing Co., Darby PA)

Di semua sejarah perang, aturan-aturan ini sangat unik dan inovatif. Jauh sebelum penyebaran Islam, Persia dan Bizantium telah memulai perang selama puluhan tahun mulai dari Suriah sampai Iraq  dan menjadikannya reruntuhan. Abu Bakar menjelaskan bahwa tentara Muslim tidak beroperasi dengan prinsip yang sama dan membatasi peperangan hanya dilakukan kepada tentara dan pemerintah musuh, bukan masyarakat umum. Hukum Syariah Islam, berdasarkan contoh dari Abu Bakr, jelas melarang penggunaan kekuatan terhadap siapa pun kecuali dalam kasus perang yang sah melawan musuh yang jelas. (Kennedy, H. (2007). The Great Arab Conquests: How the Spread of Islam Changed the World We Live In. Philadelphia: Da Capo Press. pg.91)

Secara tegas, Islam sudah mengatur keyakinan setiap orang sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Islam tidak pernah memaksa siapapun untuk meyakini Islam artinya sama sekali tidak dipaksa atau terpaksa untuk masuk Islam. Ketika terjadi penaklukan Yerusalem, khalifah pada saat itu, Umar ibn al-Khattab, menulis dalam perjanjian penyerahan dengan para leluhur kota:

“Ia [Umar] telah memberi mereka jaminan keamanan bagi diri mereka sendiri, untuk properti mereka, gereja-gereja mereka, salib mereka, orang sakit dan sehat. Gereja mereka tidak akan dihuni oleh kaum Muslim dan tidak akan dihancurkan … Mereka tidak akan dipaksa untuk masuk Islam.” (Kennedy, H. (2007). The Great Arab Conquests: How the Spread of Islam Changed the World We Live In. Philadelphia: Da Capo Press. pg.91).

Tidak ada kerajaan lain atau negara pada saat itu yang memiliki ide-ide toleransi beragama seperti ini. Umar, menjadi sahabat Nabi, yang pertama menetapkan preseden dalam perjanjian ini tentang pengobatan masyarakat yang ditaklukkan dalam hukum Islam. Ketika Mesir, Suriah, Iraq, dan Persia ditaklukan warga yang beragama Kristen, Yahudi, Sabian, atau Zoroastrian, diizinkan untuk menjaga tradisi keagamaan mereka.

Bukti itu masih ada sampai sekarang. Bahwa komunitas-komunitas  Kristen banyak tersisa di negara-negara tersebut, misalnya Kristen Koptik di Mesir. Selama beberapa abad pertama setelah penaklukan Muslim, mayoritas penduduk daerah ini tetap Kristen. Perlahan, mereka mulai menyatakan Islam sebagai agama mereka dan bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Hari ini, persentase orang Kristen di Mesir adalah 9%, Suriah 10%, Lebanon 39%, dan Iraq 3%. Jika di awal penaklukan negeri-negeri ini orang dipaksa masuk Islam, maka tidak akan ada komunitas Kristen di negara-negara tesrebut. Keberadaan mereka adalah bukti Islam tidak menyebar dengan pedang.

Para prajurit dan pemimpin pasukan yang menaklukan di Mesir, Suriah, Iraq, dan Persia merupakan generasi pertama umat Islam. Banyak dari mereka bahkan sahabat Nabi. Apa yang akan terjadi ketika ekspansi Muslim berlanjut, saat tentara Muslim melawan Bizantium lanjut Barat, di Afrika Utara dan kemudian, di Spanyol?

Mayoritas penduduk pantai Afrika Utara di tahun 600 SM adalah Barbar. Sementara Kekaisaran Bizantium menguasai sebagian besar pantai dari Mesir ke Aljazair, orang-orang dari daerah-daerah yang umumnya tidak setia kepada Bizantium yang mengalami kesulitan besar mencoba untuk menaklukkan wilayah tersebut. Pergolakan politik dan sosial di abad sebelum Islam menyebabkan wilayah ini terkena bencana.

Ketika Khalifah Umayyah, Muawiyah, menunjuk seorang jenderal, Uqba bin Nafi, untuk menaklukkan pantai Afrika Utara dari Bizantium pada tahun 660 SM tersebut, sekali lagi, tanpa menyebutkan rincian strategi dan pertempuran, dalam beberapa dekade, kontrol Muslim di Afrika Utara diperketat.

Pola yang sama kita lihat di Asia Barat Daya berlanjut di Afrika Utara. Orang di wilayah ini sama sekali tidak dipaksa untuk masuk Islam. Tidak ada satu pun sumber, baik oleh Islam maupun non-Muslim, menyebutkan bangsa Barbar masuk Islam dengan paksaan. Kenyataannya memang banyak bangsa Barbar yang masuk Islam cukup cepat dan langsung memperkuat barisan tentara Muslim.

Seandainya para Barbar ini dipaksa masuk Islam, tentu mereka pun tidak akan bersemangat dan antusias untuk bergabung dengan militer Islam.

Setelah penaklukan Afrika Utara, datang sebuah proposal yang mengubah sejarah dunia selamanya. Pada tahun 700-an awal, Semenanjung Iberia (sekarang Spanyol dan Portugal) berada di bawah kendali Raja Visigoth Roderic. Seorang bangsawan dari Iberia yang dikirim pada gubernur Muslim Afrika Utara. Ia mengeluh tentang aturan yang menindas dan tiranical dari Roderic. Sang bangsawan berjanji untuk mendukung invasi Muslim melawan Roderic dengan pasukannya sendiri jika mereka melakukan intervensi.

Setelah serangan permulaan untuk mengukur dukungan penduduk lokal terhadap intervensi itu, Tariq bin Ziyad membawa tentara dari Maroko ke Iberia di tahun 711. Dalam beberapa bulan saja, pasukan Tariq berhasil mengalahkan Raja Roderic. Dalam waktu 3 tahun, seluruh Semenanjung Iberia berada di bawah kendali Muslim. Banyak kota yang kemudian menyuarakan tentang keadilan kekuasaan Islam, dan secara sukarela membuka pintu dan menyambut tentara Muslim, yang mengakhiri penindasan Visigoth.

Lebih banyak bukti dokumenter dari penaklukan ini yang membuktikan bahwa penaklukan Islam tidak berarti pemaksaan. Pada bulan April 713, seorang gubernur muslim di wilayah tersebut melakukan perjanjian dengan Visigoth, termasuk ketentuan bahwa masyarakat “tidak akan dibunuh atau ditawan. Tidak pula mereka dipisahkan dari perempuan dan anak-anak mereka. Mereka tidak akan dipaksa dalam hal agama, gereja-gereja mereka tidak akan dibakar.” (Kennedy, H. (2007). The Great Arab Conquests: How the Spread of Islam Changed the World We Live In.  Philadelphia: Da Capo Press. pg.315).

Kita lihat satu lagi contohnya pada Muslim Spanyol (yang kemudian akan disebut sebagai al-Andalus) bahwa penduduk setempat (kebanyakan Kristen, meskipun populasi Yahudi yang cukup besar juga ada) tidak dipaksa untuk masuk Islam. Bahkan, dalam beberapa abad kemudian, masyarakat bertoleransi terhadap semua agama yang ada di al-Andalus, di mana Muslim, Yahudi, dan Kristen mengalami zaman keemasan pengetahuan, budaya, dan filsafat.

Berbeda misalnya dengan masa Reconquista Kristen yang secara efektif, etnis Muslim dan Yahudi dibersihkan dari seluruh semenanjung itu. []

Sumber: Lost Islamic History, Islampos.