OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 12 April 2018

Kasus Warsito dan dr. Terawan, Contoh Peran Negara yang Abai

Kasus Warsito dan dr. Terawan, Contoh Peran Negara yang Abai


Oleh : Irah Wati Murni, S.Pd

10Berita, SEOLAH tak belajar dari pengalaman terdahulu, kini nasib dr. Terawan sama seperti nasib Warsito yang idenya dipandang sebelah mata. Bedanya, dr. Terawan menemukan metode “cuci otak” untuk menyembuhkan penyakit seperti stroke atau penyakit yang berkaitan dengan kepala, sementara Warsito menemukan metode penyembuhan kanker dengan helm listrik atau jaket listrik. Persamaannya, mereka sama-sama tak diakui Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Dilansir Kompas, (Rabu, 4/4/18), dr. Terawan Agus Putranto yang juga sebagai Kepala RSPAD Gatot Subroto diberhentikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Ia dijatuhi sanksi oleh Ikatan Dokter Indonesia(IDI) karena dianggap melanggar kode etik kedokteran, yaitu mengiklankan diri dan menganggap metode penyembuhannya sudah terbukti serta dianggap penemuannya tentang metode ‘cuci otak’ tidak ilmiah dan belum terbukti.

Berkaitan kasus ini, Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek belum merasa perlu untuk turun tangan mengatasi kasus Dokter Terawan yang diusulkan diberhentikan sementara oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), “Ini masalah organisasi profesi. Biarkan mereka lebih dulu mendapatkan solusi yang baik,” katanya, dilansir Tempo ( Kamis, 5/4/18).

Uniknya sanksi pemberhentian sementara praktik dr. Terawan oleh IDI malah dikecam banyak pihak. Bahkan dr. Terawan dibela oleh pasien-pasiennya yang kebanyakan dari mereka adalah pejabat tinggi negara seperti Mahfud MD, Hendropriyono, Marzuki Alie, Try Sutrisno, Sudi Silalahi, Aburizal Bakrie, Dahlan Iskan dan masih banyak lagi.

Temuan yang Diabaikan

Dari kasus ini kita bisa melihat bahwa peran Negara dalam melindungi karya dan temuan rakyatnya cenderung abai dan kurang memperhatikan. Padahal, temuan-temuan mereka adalah asset bagi kemajuan suatu negeri. Ilmu pengetahuan dan para ilmuwan harus diperhatikan bukan malah dimatikan.

Jika dulu penemuan metode penyembuhan kanker oleh Warsito dengan helm listrik atau jaket listrik dilarang oleh Kemenkes karena dianggap jauh dari keamanan dan ilmiah. Tapi setelah itu menjadi geger karena malah ‘laku’ di Negara lain. Maka jangan sampai penemuan terbaru dr. Terawan ini memiliki nasib yang sama dengan pendahulunya.

Seharusnya Negara merangkul para ilmuwan dan pembaharu apapun. Jika temuan mereka belum sempurna, maka Negara mengajak riset atau mendampingi penyempurnaan metodenya, bukan langsung dimatikan. Apa Negara baru ribut jika temuan anak bangsa ini sudah dicap Negara lain?

Islam Melindungi Ilmu dan Ilmuwan

Islam adalah agama rahmatan lil’alamin. Tidak ada yang tidak diatur oleh islam. Tak hanya manusia, hewan, tumbuhan bahkan ilmu pun dilindungi oleh islam. Jika ilmu saja dilindungi oleh islam, maka otomatis ilmuwan pun turut dalam lindungan islam. Tidak percaya? Yuk, kita lihat fakta sejarahnya.

Para sejarawan sepakat bahwa Khalifah Abbasiah II yaitu Abu Ja’far Al Manshur merupakan pelindung pertama ilmu. Hingga puncaknya perlindungan terhadap ilmu ini pada era Khalifah Al Makmun. Para sejarawan sepakat bahwa tidak ada seorang khalifah dari Bani Abbasiah yang lebih berilmu daripada Al Makmun.

Salah satu bukti Negara sangat memperhatikan ilmu dan ilmuwan ialah Khalifah Al-Makmun memperluas Baitul Hikmah (Darul Hikmah) yang didirikan ayahnya, Harun Ar-Rasyid, sebagai Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia. Baitul Hikmah diperluas menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan tempat penelitian. Lembaga ini memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan.

Mengutip history of islam, Baitul Hikmah dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari berbagai penjuru dunia, dari Bizantium hingga India. Di institiusi ini, al-Makmun mempekerjakan Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi yang terkenal sebagai ilmuwan muslim di bidang matematika dan astronomi.

Orang-orang Persia juga masih dipekerjakan di Baitul Hikmah. Direktur perpustakaan Baitul Hikmah sendiri adalah Sahl ibn Harun. Sehingga pada masa al-Makmun, Baitul Hikmah bukan hanya sebagai perpustakaan, tapi berkembang menjadi pusat kegiatan studi, dan penelitian. Sehingga tidak dapat dipungkiri, bahwa Baitul Hikmah memberikan kontribusi luar biasa bagi perkembangan keilmuwan muslim pada masanya. Masya allah, pantas saja karya-karya ilmuwan dulu masih ada sampai hari ini.

Maka, seharusnya Negara berperan aktif dalam melindungi ilmu dan para ilmuwannya, bukan tidak peduli bahkan mematikan karya atau temuan baru dari rakyatnya. Jika hal ini terus berlanjut, maka pantas saja sampai saat ini Negara ini menjadi Negara pengekor barat, yang hanya mengimpor barang atau ilmu dari luar. Hal ini jelas, karena Negara tidak memiliki kemandirian dan kepedulian pada ilmu dan para ilmuwannya.

Oleh karena itu, hanya sistem islamlah yang bisa melindungi ilmu dan para ilmuwan. Ide dan temuan mereka dihargai. Jikalau gagal atau tidak sempurna maka didukung Negara untuk mendanai. Toh, hasil temuan para ilmuwan itu bukan untuk diri mereka sendiri tapi untuk kemaslahatan umat seluruhnya. Waallahu’alam. []

Sumber :Dakwah media