OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 09 April 2018

Menurut Riset, Facebook 'Berperan' dalam Pembantaian Etnis Rohingya

Menurut Riset, Facebook 'Berperan' dalam Pembantaian Etnis Rohingya

10Berita, Ujaran kebencian di Facebook adalah salah satu penyebab terjadinya krisis Rohingya. Menurut penelitian, oknum tak bertanggung jawab menggunakan Facebook untuk menciptakan kekacauan yang menyebabkan setidaknya 650 ribu etnis Rohingya terusir dari Myanmar.

Dikutip dari The Guardian, Selasa (3/4), Facebook telah terbukti 'membantu' menyebarkan ujaran kebencian. Peneliti dan analisis digital, Raymond Serrato, telah memeriksa sekitar 15 ribu unggahan di Facebook dari para pendukung kelompok nasionalis garis keras, MaBa Tha. "Facebook pasti membantu beberapa elemen masyarakat untuk menentukan narasi konflik di Myanmar. Meski Facebook digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian pada masa lalu, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan berdampak buruk di masadepan," ujarnya.

Hasilnya, terlihat unggahan pertama sejak Juni 2016 dan meningkat pada 24-25 Agustus 2017, ketika militan Assad Rohingya menyerang pasukan pemerintah, mendorong milisi Buddha untuk meluncurkan 'Operasi Pembersihan' yang memaksa ratusan ribu etnis Rohingya melarikan diri.

Setidaknya kelompok anti Rohingya memiliki 55 ribu anggota dan aktivitasnya meningkat hingga 200 persen. Fakta ini terungkap setelah terbongkarnya kasus kebocoran data para penggunanya dan karena adanya kekhawatiran tentang penyebaran berita palsu, termasuk ujaran kebencian.

Serrato meminta Facebook untuk lebih terbuka. Menurutnya, saatini timnya tidak mengerti cara untuk mengetahui siapa saja orang yang menyukai dan membagi sebuah unggahan, sehingga pihaknya tidak menemukan di mana letak disinformasi yang sering terjadi.

Sepakat dengan Serrato, seorang analis dari Institut untuk Perang dan Perdamaian yang memimpin penelitian soal ujaran kebencian di Myanmar, Alan Davis, mengungkapkan bahwa postingan di Facebook sebelum bulan Agustus 2017, menjadi lebih terorganisir.

Tim risetnya menemukan kisah-kisah palsu, seperti "Masjid di Yangon menyimpan senjata sebagai upaya untuk meledakkan berbagai pagoda Buddha dan pagoda Shwedagon". Menurut temuannya, dalam laman tersebut juga ditemukan postingan yang menyebut etnis Rohingya dengan istilah 'Kalar dan teroris Benggala', hal itu telah dibagi lebih dari 11 ribu kali.

Ketika itu, para pengawas yang bekerja dengan Davis menghubungi pejabat Myanmar tentang fenomena tersebut. Namun, saat itu para pejabat mengaku tidak tahu apa-apa tentang hal tersebut.

Merasa gagal menghubungi pejabat, Davis mencoba mendanai wartawan untuk menyelidiki tempat yang dicurigai, namun para jurnalis tersebut menolak membantu dengan alasan keamanan. Davis tidak bisa membayangkan bagaimana kerusakan ini bisa terjadi. Ia juga mengatakan, dirinya tidak mengerti bagaimana cara orang-orang di Facebook dapat hidup dengan tenang. "Saya pikir banyak hal yang sangat jauh di Myanmar sekarang, saya benar-benar tidak mengerti bagaimana Zuckerberg dan rekan-rekannya tidur di malam hari. Jika mereka memiliki hati nurani, mereka akan memberikan sebagian kekayaan mereka untuk membenahi kekacauan yang telah terjadi," Ujar Davis.

Facebook Sumber Informasi di Myanmar Yang menjadi masalah adalah ketika Facebook jadi satu-satunya sumber informasi di Myanmar.

Di antara 53 juta penduduk Myanmar, pada 2014, hanya kurang dari satu persen yang memiliki akses internet. Namun pada 2016, Myanmar menjadi salah satu negara dengan pengguna Facebook terbesar di Asia Selatan. Hari ini, di Myanmar ada sekitar 14 juta warganya yang telah menggunakan Facebook.

Sebuah laporan tahun 2016 oleh salah satu perusahaan yang mewakili operator komunikasi di seluruh dunia, Global System for Mobile Communications Association (GSMA), menemukan bahwa di Myanmar banyak yang menganggap Facebook sebagai satu-satunya sumber informasi dan masyarakat Myanmar menganggaop postingan adalah berita. "Facebook bisa dibilang satu-satunya sumber informasi online untuk mayoritas warga Myanmar," menurut salah satu analisis keamanan cyber di Yangon.


Senada dengan GSMA, Penyidik PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, mengatakan bahwa Facebook bisa berubah menjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan dijadikan alat oleh oknum tak bertanggung jawab. "Facebook telah berubah menjadi binatang buas. (Facebook) Bisa digunakan untuk menyampaikan pesan ke publik tetapi seperti yang kita tahu, umat Islam Ultra-nasionalis memiliki Facebook yang digunakan untuk menghasut terjadinya kekerasan dan menumbuhkan kebencian terhadap Rohingya atau etnis minoritas lainnya," Ujar penyidik PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee.

Diketahui, Myanmar memang mengizinkan kunjungan dewan keamanan PBB setelah beberapa bulan penolakan, tetapi belum jelas apakah perwakilan tersebut boleh mengunjungi wilayah Rakhine. Merespons tuduhan ini, seorang juru bicara Facebook mengatakan perusahaan itu masih berupaya menghapus konten kebencian, namun para penggunanya terus melanggar kebijakan tersebut. "Kami menganggap ini sangat serius dan (kami) telah bekerja dengan paraahli di Myanmar selama beberapa tahun untuk mengembangkan sumberdaya dan kampanye perlawanan (terhadap ujaran kebencian)," ujarnya.

Menurutnya saat ini, Facebook telah bekerja sama dengan banyak orang untuk mengatasi hal semacam ini. "Kami sekarang memiliki sekitar 14 ribu orang yangbekerja di berbagai komunitas online dan itu merupakan bentuk upaya integritas kami secara global. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan dari tahun lalu, rencananya akhir tahun ini akan lebih dari 20 ribu anggota.

"Selain kasus ini, Facebook juga dituduh menjadi dalang dari kerusuhan di tempat lain. Pada Bulan Maret di distrik Sri Lanka misalnya,ditempat itu telah terjadi kerusuhan massa dan pembakaran yang dilakukan oleh fanatik nasionalis Buddha. Saat itu, Menteri Telekomunikasi Sri Lanka,Harin Fernando, meminta facebook dan media sosial lainnya ditutup."Seluruh negeri ini bisa terbakar dalam hitungan jam," kata Fernando.

Sumber : kumparan