OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 11 Mei 2018

Akibat Krisis Ekonomi: Jokowi Tak Mungkin Menang Pilpres 2019 Kecuali Curang?

Akibat Krisis Ekonomi: Jokowi Tak Mungkin Menang Pilpres 2019 Kecuali Curang?

10Berita, KONFRONTASI- Dampak kemenangan Pakatan Harapan pimpinan Mahathir Muhamad- Wan Azizah Wan Ismail (istri mantan Deputi PM Anwar Ibrahim) di pemilu Malaysia ke Indonesia sudah jelas dan tandas: Jokowi-Jk hampir pasti kalah karena gagal ekonomi dan ambruknya rupiah yang membuat rakyat sengsara dan kelas menengah gelisah, gundah-resah dan begah. Jokowi-Jk menghitung hari dan kehilangan cahaya kalau rupiah terus melemah dan ekonomi tetap terpuruk. Jokowi tidak mungkin menang Pilpres 2019 kecuali curang selama ekonomi terpuruk dan rupiah ambruk dari 2015 sampai 2018 ini, dimana rakyat kecewa sekali dan nyaris frustasi. Ganjil, dusta, tidak logis, tidak rasional dan tak masuk akal kalau Jokowi menangdi pilpres 2019 - kecuali curang- sebab ekonomi krisis dengan memburuknya rupiah dan makin lesunya daya beli.Tepat dan rasional-lah pendapat anggota DPR Fraksi PDIP Efendi Simbolon agar Jokowi mundur dan turun dari kursi presiden, ketimbang kekuasaannya bikin rakyat makin sengsara..

Menkeu Sri Mulyani adalah sosok yang membuat ekonomi makin suram setelah rentan dan ruwet oleh ulahnya sendiri. Siapa yang dulu zaman SBY terbitkan hutang $ 43 miliar dgn bunga dua persen lebih mahal dari Thailand, Filipina, Vietnam. Padahal ketiga negara tersebut ratingnya lebih rendah dari Indonesia harusnya bunganya lebih murah. Mbok Sri Mulyani harus tanggung jawab dalam kasus financial ini !!

Ekonom senior Rizal Ramil menyebut utang luar negeri Indonesia yang mencapai lebih Rp 4 700 triliun pada 2018 ini sangat mengkhawatirkan. ”Indikatornya, keseimbangan primer (primary balance) negatif. Artinya, sebagian bunga utang dibayar tidak dari pendapatan, melainkan dari utang baru,” ujar Rizal.

Lembaga rating Standard and Poor’s (S&P) memprediksi rupiah berpotensi melemah ke level Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Pengamat ekonomi Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menanggapi, dalam dua bulan terakhir nilai tukar rupiah memang mengalami guncangan yang cukup hebat.

Dari awalnya, rupiah berada di level Rp 13.300 per dollar pada awal Januari, kemudian terus terdepresiasi hingga Rp 13.800 per dollar pada awal Maret 2018. “Berbagai analis ikut dalam permainan gonjang-ganjing nilai tukar rupiah. Yang terbaru, lembaga rating internasional Standard and Poors (S&P) mengeluarkan rilis bahwa rupiah sangat berpotensi melemah hingga 15.000 per dolar,” ujar Bhima.

Menurutnya, ramalan S&P biasanya sangat moderat, namun kini tampak tegas-tandas. Artinya, rupiah bisa terperosok lebih dalam dari Rp 15.000, mungkin di kisaran Rp 16.000 hingga Rp 16.500 per dollar pada 2018-2019.

Penurunan nilai tukar ini sering kali dihubungkan dengan tekanan global, yakni kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS alias Fed rate.

Sementara di sisi yang lain ada tekanan dari harga komoditas khususnya minyak mentah, CPO, dan batubara. Ketiga komoditas terpenting dunia ini trennya cenderung naik.

“Bahkan, harga minyak mentah diprediksi menembus 80 dollar AS per barel di semester II mendatang, dari harga saat ini di kisaran 63-65 dollar AS per barel,” tambahnya.

Sebagai negara utama eksportir komoditas seperti batubara dan CPO, harga komoditas global berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi nasional. Demikianlah krisis ekonomi adalah teror bagi rakyat kita sehari-hari dan naiknya harga-harga pangan, energi dan barang-jsa lainnya sudah membuat rakyat kecewa, geram dan frustasi kepada kegagalan Jokowi-Jk. Sehingga tak mungkin menang di pilpres 2019 akibat krisis ekonomi era Jokowi-JK, sebab rakyat masih punya hati nurani dan otak yang baik dan jiwa yang waras.

(catatan kecil dari diskusi Direktur Freedom Foundation Darmawan Sinayangsah, Edward Andrea, peneliti Lembaga Studi Strategi, aktivis LSM dan Reinhard MSc, peneliti The New Indonesia Foundation)

Sumber : konfrontasi