OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 25 Mei 2018

Catatan Kritis Revisi UU Terorisme: Pasal Karet hingga Otoriter

Catatan Kritis Revisi UU Terorisme: Pasal Karet hingga Otoriter


Harits Abu Ulya, Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA)

Oleh : Harits Abu Ulya*

Belum lama ini, Presiden berharap revisi UU Terorisme segera selesai, namun fakta aktualnya ada substansi UU yang masih belum final disepakati.

Bahkan pada pasal-pasal yang termufakati juga hakikatnya masih mengandung potensi lahirnya tirani kesewenang-wenangan atas nama perang melawan terorisme.

Berikut beberapa pasal-pasal krusial yang harus dikritisi (berdasarkan draft per Maret 2018):

[Pertama]:

Definisi terorisme;

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.

Kemudian diterangkan lebih lanjut pada;

Pasal 6

Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman.

Kekerasan yang:

menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas;menimbulkan korban yang bersifat massal, merampas kemerdekaan, atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; dan/ataumengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Obyek Vital yang strategis, lingkungan hidup, Fasilitas Publik, dan/atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Catatan kritis;

Definisi yang ambigu dan multitafsir. Sangat berpotensi terjadinya abusse of power. Subyektifitas pihak aparat akan menjadi sumber bencana baru dalam penegakkan hukum.

Para preman juga aksinya bisa dikenakan hukum ini. Bahkan para perusuh dalam skala masal karena sebab apapaun juga bisa di jangkaukan UU ini. Perusuh Pilkada/Pemilu juga perbuatannya bisa dikenakan pasal terorisme.

Demo anarkis siapapun mereka dan apapun motifnya bisa juga dikenakan label terorisme, tidak harus melakukan pengeboman untuk disebut teroris. Pelempar bom molotof atau petasan dalam perkelahian jalnanan yang membuat cemas publik juga teroris. Dan masih banyak lagi lainnya.

Parameter yang absurd soal terorisme akan melahirkan preseden buruk dalam criminal justice system. Oleh karenanya sangat penting, soal adanya definisi yang terukur, terbatasi, dan jelas motif serta tujuan politik atau ideologinya dari sebuah aksi teror yang dilakukan seseorang atau kelompok.

[Kedua]:

Pasal 13A draft RUU Anti Terorisme menyebutkan :

Setiap Orang yang memiliki hubungan dengan jaringan terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Catatan Kritis:

Kata hubungan bermakna sangat luas, bisa hubungan sekedar kenal, hubungan teman sekolah, tetangga dll, sangat subyektif dan dapat ditafsirkan secara luas (pasal karet).kata sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan memiliki makna yang luas mencakup apa saja yang disebar termasuk berceramah tentang hukum Islam tentang hukuman mati bagi penghina Rasulullah, bagi homoseksual, bagi orang murtad, misalnya, dapat dijerat dengan pasal ini.

[Ketiga]:

Pasal 25

(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari.

(3) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penyidik kepada penuntut umum untuk jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.

(4) Dalam hal jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak mencukupi, maka dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penyidik kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.

(5) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan terhadap terdakwa dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.

(6) Dalam hal jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mencukupi, maka dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penuntut umum kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Catatan Kritis:

Masa penahanan dari tahap penyidikan sampai perpanjangan penahanan oleh hakim adalah 290 hari terlalu lama, melebihi total masa penahanan dalam KUHAP adalah 170 hari atau sekitar kurang dari 6 bulan.Sangat merugikan tersangka atas haknya untuk disidang dalam suatu peradilan yg cepat dan sederhana, serta memberikan potensi menyalahgunakan wewenang kekuasaan dan potensi tinggi penyiksaan serta pengabaian hak tahanan selama proses penahanan

[Keempat]:

Pasal 28 draft RUU Anti Terorisme menyebutkan :

(1) Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari.

(2) Dalam hal waktu penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan kepada Kejaksaan Agung paling lama 7 (tujuh) hari.

Catatan Kritis:

Masa penangkapan itu amat berlebihan dan terlalu lama jika hanya untuk mencari alat bukti. Jauh lebih lama daripada KUHP (maks 1×24 jam)Perpanjangan masa penangkapan ini jelas indikasi penyalahgunaan kekuasaan, karena nantinya aparat bisa saja main tangkap dan main siksa bahkan main bunuh seenaknya seperti jaman Kopkamtib.

[Kelima]:

Pasal 43 C ayat 1 berbunyi :

Kontra Radikalisasi merupakan suatu proses terencana, terpadu, sistimatis dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan penyebaran paham radikal terorisme.

Catatan kritis;

Bunyi pasal ini sangat subyektif karena :

Siapa orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme ?Bagaimana menentukan bahwa sesorang itu rentan papar atau atau Apa tolok ukur menyatakan bahwa sesorang “Rentan terpapar”? Apakah Janggut panjang, sorban, Celana cingkrang, berjilbab, bercadar, rajin ke masjid, hafal al-Qur’an dapat dikatakan rentan terpapar paham radikal terorisme ??Apa yang disebut paham radikal terorisme? Belum jelas definisinya, bisa jadi adalah ajaran Islam misal kewajiban penerapan hukum-hukum Islam, jihad, khilafah dll, karena sampai hari ini, stigma paham radikal terorisme adalah Radikal IslamOrang yang telah ditentukan secara sepihak itu “wajib” mengikuti Proses Radikalisasi. Bila orang itu menolak, maka orang itu telah melanggar pasal 43 C Undang-undang Terorisme, sehingga Penyidik dapat Melakukan Penangkapan selama 21 hari sebagaimana yang diatur pada pasal 28 Undang-undang Terorisme.

[Keenam]:

Pasal 43 D ayat 2 berbunyi :

Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada:

tersangka;terdakwa;terpidana;narapidana;mantan narapidana terorisme; atauOrang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme.

Catatan kritis:

(1) Kalau pada pasal 43 C Proses Kontra radikal untuk orang-orang yang rentan terpapar, maka pada pasal 43 D ini ditujukan kepada orang- orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme.

Sementara definisi paham radikal terorisme belum jelas, sehingga memberikan peluang bagi penyidik untuk menyalahgunaan wewenang kekuasaannya sesuai keinginannya.

(2) Jelas sekali bahwa gabungan dari pasal 28, 43 C dan 43 D huruf f telah membuat penyidik menjadi superman. Penyidik dapat seenak sendiri menentukan orang-orang yang WAJIB mengikuti program : Kontra radikalisasi dan deradikalisai, bila mereka MEMBANGKANG, maka Penyidik DAPAT MENANGKAP mereka berdasarkan pasal 28

Jadi paling tidak ada enam elemen problematik di substansi RUU Terorisme revisi.

Kita semua sepakat Terorisme adalah kejahatan dan musuh kita semua. Namun perang menghadapinya jangan sampai menjerumuskan negara berubah menjadi STATE TERRORISM yang diaminkan oleh semua pihak karena sebab kemarahan dan ketergesa-gesaan kita.

Dada kita boleh panas tapi nalar kita harus tetap sehat.[]

*Penulis adalah pengamat keamanan nasional, Direktur  CIIA (The Community of Ideological islamic Analyst).

Sumber : Jurnal Islam