OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 07 Mei 2018

Politik Istana Membusuk: Hawa Nafsu (Syahwat) Kekuasaan Jusuf Kalla jadi Cawapres Jokowi lagi Sungguh contoh Buruk

Politik Istana Membusuk: Hawa Nafsu (Syahwat) Kekuasaan Jusuf Kalla jadi Cawapres Jokowi lagi Sungguh contoh Buruk

10Berita -- Hawa nafsu M Jusuf Kalla untuk maju jadi calon wapres Jokowi kedua kali 2019 menunjukkan syahwat kekuasaan yang tak kenal batas usia dan waktu, sungguh contoh buruk politik libidinal. Itulah sebabnya Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli mengatakan, pencalonan kembali Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden justru akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. JK mustinya tahu diri dan introspeksi bahwa dia suadah jadi gaek politik, uzur dan dinasti bisnisnya luas biasa.

Mengapa masih begitu berhawa nafsu politik untuk maju ke Pilres 2019 dengan menajdi cawapres Jokowi? Meski Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar masih mempertimbangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla- untuk kembali mendampingi Presiden Joko Widodo pada Pemilihan Presiden 2019- namun peringatan Buya Ahmad Syafii Maarif dan para ientelektual lain mustinya didengar.

. "Tidak bagus untuk demokrasi. Karena tujuan pemilu adalah, salah satunya memberikan pendidikan politik, kedua sirkulasi," kata Lili di Menteng, Jakarta, Sabtu (5/5/2018). Menurut Lili, sebagai pendidikan politik, maka pemilu harus memberikan pencerdasan, rasionalitas, kemajuan bagi bangsa dan masyarakat. "Bahwa dalam rangka pemilu banyak pemimpin-pemimpin yang baik," ucap Lili.

Sedangkan, sebagai sirkulasi, tujuan pemilu adalah melakukan pergantian. Karena itu, dalam demokrasi perlu adanya pembatasan masa kepemimpinan. "Hukum alam dari kekuasaan kan ingin bertahan, dalam sistem demokrasi dibatasi kekuasaan itu. Harus ada pergantian, makanya pemilu," kata Lili. Menurut Lili, fenomena saat ini menunjukkan bahwa partai politik hanya berpikir pendek dan tidak mau mencari alternatif lain. Padahal, rakyat punya hak untuk memilih calon pemimpinnya. "Apakah tidak ada calon-calon yang lain, yang mungkin tidak sebagus Pak Jusuf Kalla atau (bahkan) lebih bagus dari Pak Jusuf Kalla," kata Lili. Lili menganalisis, ada beberapa alasan mengapa Jusuf Kalla masih didorong untuk mendampingi Jokowi. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 jelas melarang Jusuf Kalla kembali ikut sebagai cawapres.

Dorongan itu yakni ada kekhawatiran bahwa berdasarkan hitung-hitungan cawapres yang ada tidak memberikan kontribusi terhadap Jokowi. Kekhawatiran lain adalah resistensi masayarakat. Baca juga: Soal JK Jadi Cawapres Jokowi, PDI-P Tunggu Putusan MK Menurut Lili, ada kekhawatiran, jika cawapres Jokowi tidak diterima oleh masyarakat, maka hal tersebut adalah sinyal kekalahan terhadap Jokowi pada Pilpres 2019. "Sebenarnya, elektabilitas Jokowi tinggi. Tapi kemudian karena berkembang di masyarakat ada resistensi bahwa kalau Pak Jokowi harus menyandingkan dari kalangan Islam, dan itu ada di sosok pak Jusuf Kalla," ujar dia. Karena itu, Lili berharap Mahkamah Konstitusi bisa mengambil keputusan yang tepat atas gugatan pasal tentang syarat pencalonan diri presiden atau wapres di UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. "Saya berharap MK tidak membuat sejarah yang kelam," kata Lili. Lili pun juga berharap Jusuf Kalla secara tegas menolak niat PDI-P dan Partai Golkar untuk mendorong dirinya kembali mendampingi Jokowi dua periode. "Harus ada respons dari Pak Jusuf Kalla bahwa, 'saya tidak bersedia'. Karena ini legacy buat Pak Jusuf Kalla. Dia sebagai negarawan harus ditutup dengan kontribusi untuk memberikan kesempatan regenerasi buat yang lain," ucap Lili. Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Sementara, Jusuf Kalla sudah dua kali menjadi wakil presiden, yakni pada periode 2004-2009 dan 2014-2019. Aturan yang menghalangi JK untuk maju lagi sebagai cawapres juga terdapat dalam Pasal 16 huruf dan huruf 227 huruf I UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut memberikan syarat bagi Presiden dan Wakil Presiden untuk maju di Pilpres, yaitu: belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama. Namun saat ini, sekelompok warga yang mengaku sebagai penggemar Kalla telah malayangkan gugatan uji meteriil Pasal 16 huruf dan huruf 227 huruf I UU Pemilu ke MK. (KCM/Kompa/konfrontasi)

Sumber : konfrontasi