OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 09 Mei 2018

Saksi Ahli Sejarah: Kekhalifahan di Nusantara Tidak Melenyapkan Negara

Saksi Ahli Sejarah: Kekhalifahan di Nusantara Tidak Melenyapkan Negara



10Berita, Saksi Ahli lain yang dihadirkan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta Timur adalah Moefich Hasbullah (ahli sejarah Islam) dan Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, SH., M.H.

Menurut Saksi Ahli Moefich Hasbullah, fakta sejarah bahwa Kesultanan di Nusantara menjadi bagian di bawah kekhalifahan Turki Utsmani, namun hubungannya lebih kepada simbolis dan psikologi, bukan strutur. Karena faktanya kerajaan Islam Nusantara tidak menerapkan hukum yang berlaku di Utsmani.

Ahli memberikan contoh kerajaan Aceh yang menjadi bagian dari Utsmani, hubungan itu tetap berjalan tanpa melenyapkan bentuk kerajaan yang sudah ada. “Fakta hubungan kekhalifahan Utsmaniyah di Nusantara, hubungan itu tidak melenyapkan Negara , bangsa, keragaman, dan struktur kerajaan,” ujarnya.

Sedangkan Saksi ahli di bidang hukum, Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, SH, MH mengatakan bahwa, pengesahan badan hukum dari Menkumham bukanlah bermakna pemberian hak, sebab Menkumham tidak dapat bertindak aktif mengesahkan sebelum ada organisasi yang didirikan terlebih dahulu.

Ahli menegaskan, sebelum mendapatkan status badan hukum, HTI hanya berstatus sebagai organisasi kemasyarakatan. Dalam Negara hukum penjatuhan sanksi administratif harus dilakukan dengan mendengar pihak tertuduh. Jika sanksi dijatuhkan tanpa didengar lebih dulu, maka itu bukan Negara hukum, melainkan negara kekuasaan.

Prof. Zainal menerangkan, bahwa betul frasa “paham lain” pada pasal 59 ayat (4) huruf c bersifat multi tafsir, karena itu menurutnya, yang berkompeten untuk menafsirkan itu adalah Pengadilan.

“Jika pun suatu ideologi tergolong sebagaimana dimaksud sebagai paham lain dalam Perppu ormas, maka ketentuan itu berlaku sejak ditetapkan, karena tidak ada hukum yang ditetapkan berlaku ke belakang, selalu ke depan.”

Ahli berpendapat bahwa pendekatan UU 17/‘2013 adalah pendekatan hukum, sedangkan Perppu 2/2017 lebih kepada pendekatan politik. Sebuah ormas yang telah dibubarkan oleh Pemerintah punya legal standing untuk menggugat pembubaran itu.

“Ahli berpendapat bahwa sejak UU Administrasi Pemerintah berlaku, maka setiap keputusan pejabat TUN harus memuat dasar yuridis, sosiologi, dan filosofis. Mendirikan ormas adalah melaksanakan hak asasi sehingga tidak perlu izin dan Pengesahan badan hukum itu bukan izin. 

Sumber : panjimas