OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 30 Juni 2018

Ilmuwan Muslim Memahami Gerhana

Ilmuwan Muslim Memahami Gerhana

10Berita – Peristiwa alam membangkitkan minat kaum intelektual Muslim untuk melakukan kajian, menuliskan, dan melahirkan teori baru tentang alam. Gerhana matahari dan bulan termasuk menjadi bagian dari objek penelitian para ilmuwan Muslim. Catatan mereka tentang gerhana banyak ditulis.

Abu Abdullah Muhammad ibnu Jabir al-Battani merupakan salah satu ilmuwan Muslim yang mengamati dan mengkaji gerhana. Ia dikenal sebagai seorang peneliti kawakan dan astronom terbesar pada masa Islam. Serangkaian observasinya dilakukan di Raqqah, kota kecil di tepian Sungai Eufrat, antara 877 hingga 918 Masehi.

Melalui bukunya, History of the Arabs,  Philip K Hitti menyatakan, dengan kerja kerasnya, al-Battani berhasil membuktikan kemungkinan terjadinya gerhana matahari cincin. Ia menggunakan metode trigonometri. Bukan perhitungan geometri seperti yang umum digunakan ilmuwan pada masa itu.

Langkah al-Battani dengan trigonometri mampu membuat perhitungan gerhana lebih cermat dan akurat. Tak heran jika ia mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar gerhana. Kemudian, ia mengoreksi sejumlah penemuan Ptolemeus, filsuf Yunani kuno.

Misalnya, jarak antara matahari dan bumi serta perkiraan munculnya bulan baru. Tujuh abad berikutnya, tepatnya tahun 1749, astronom Barat bernama Dunthorne mengadopsi metode pengamatan al-Battani mengenai gerhana bulan dan matahari. Al-Battani juga menulis banyak buku dalam bidang astronomi dan trigonometri.

Karyanya yang terkenal adalah Kitab al Zij. Buku ini berisi katalog, tabel, dan penjelasan mengenai 470 bintang dan benda-benda di langit. Sejak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada 1116 dengan judul De Motu Stellarum (Pergerakan Bintang-bintang), karya ini menginspirasi banyak ilmuwan, seperti  Kepler, Galileo, dan Copernicus.

Abu al-Rayhan al-Biruni, yang wafat pada 1048, tercatat sebagai astronom Muslim terkemuka yang juga mengamati peristiwa gerhana. Ia menuangkan hasil penelitiannya dalam sebuah karya, Kitab Tahdid Nihayat al-Amakin li Tashih Masafat al-Masakin(Penentuan Koordinat dari Posisi untuk Koreksi Jarak antara Kota).

Satu bahasan yang ia uraikan adalah dampak melihat gerhana matahari secara langsung terhadap mata. Al-Biruni mengungkapkan, setiap terjadi gerhana matahari indra penglihatan manusia seakan tak kuasa untuk tak menyaksikannya. Namun, perlu diketahui, melihat langsung gerhana itu bisa membuat penglihatan merasa silau.

Dan bahkan, menimbulkan efek berbahaya terhadap mata. Bila dilakukan terus-menerus, bisa berakibat fatal, misalnya kebutaan. Lebih baik melihat bayangan gerhana matahari melalui air sehingga dampak fatalnya bisa dikurangi, ujar al-Biruni memberikan nasihat dan trik untuk menikmati peristiwa alam itu tanpa menimbulkan risiko.

Bukan tanpa latar belakang, al-Biruni memberi nasihat bijaknya itu. Dalam bukunya, ia mengungkapkan bahwa sewaktu muda ia menatap langsung ke arah matahari saat terjadi gerhana. Keputusan al-Biruni tersebut mengakibatkan penglihatannya menjadi agak terganggu.

Menurut A Zahoor dalam tulisannya, Abu al-Rayhan Muhammad al-Biruni, kawasan di Afghanistan dipilih al-Biruni sebagai lokasi untuk mengamati dan menggambarkan terjadinya gerhana matahari pada  8 April 1019. Beberapa bulan kemudian, yaitu pada 17 September 1019, ia melakukan pengamatan gerhana bulan.

Al-Biruni membuat perhitungan terperinci, termasuk posisi ketinggian bintang-bintang selama berlangsungnya gerhana. Ia juga menggambarkan peristiwa gerhana matahari yang diamatinya di Lamghan, sebuah lembah yang dikelilingi pegunungan di antara Kandahar dan Kabul.

Saat matahari terbit, kami melihat sekitar sepertiga dari matahari hilang cahayanya dan gerhana mulai memudar, ungkap al-Biruni. Dari pengamatan gerhana bulan di Ghazna, ia memberikan gambaran tepat mengenai ketinggian beberapa bintang pada saat terjadi kontak pertama.

Astronom Muslim lainnya, Abu’l-Hasan ‘Ali ibnu Abd Saat matahari terbit, kami melihat sekitar sepertiga dari matahari hilang cahayanya dan gerhana mulai memudar, ungkap al-Biruni. Dari pengamatan gerhana bulan di Ghazna, ia memberikan gambaran tepat mengenai ketinggian beberapa bintang pada saat terjadi kontak pertama.

Astronom Muslim lainnya, Abu’l-Hasan ‘Ali ibnu Abd al-Rahman ibnu Yunus (950-1009), ikut memberikan sumbangan penelitian terhadap gerhana. Bekerja di Kairo satu abad setelah era al-Battani, Ibnu Yunus menulis sebuah buku yang menjadi pegangan ahli astronomi sesudahnya, yaitu Al-Zij al-Hakimi al-Kabir.

Buku penting ini didedikasikan untuk Khalifah al-Hakim. Astronom Simon Newcomb, dalam Researches on the Motion of the Moon, mengatakan bahwa Ibnu Yunus mengawali al-Zij dengan serangkaian penjelasan terhadap lebih dari 100 observasi. Sebagian besar mengenai gerhana bulan ataupun matahari dan pergerakan planet.

Disisi lain, Ibnu Yunus memberikan uraian tentang  40 konjungsi planet secara akurat dan 30 gerhana bulan. Simon Newcomb mengadopsi pemikirian Ibnu Yunus ini untuk mengembangkan teori gerhana bulannya. Dalam bukunya, Ibnu Yunus memberikan keterangan gerhana bulan yang diamati.

Rahman ibnu Yunus (950-1009), ikut memberikan sumbangan penelitian terhadap gerhana. Bekerja di Kairo satu abad setelah era al-Battani, Ibnu Yunus menulis sebuah buku yang menjadi pegangan ahli astronomi sesudahnya, yaitu Al-Zij al-Hakimi al-Kabir.

Buku penting ini didedikasikan untuk Khalifah al-Hakim. Astronom Simon Newcomb, dalam Researches on the Motion of the Moon, mengatakan bahwa Ibnu Yunus mengawali al-Zij dengan serangkaian penjelasan terhadap lebih dari 100 observasi. Sebagian besar mengenai gerhana bulan ataupun matahari dan pergerakan planet.

Di sisi lain, Ibnu Yunus memberikan uraian tentang  40 konjungsi planet secara akurat dan 30 gerhana bulan. Simon Newcomb mengadopsi pemikirian Ibnu Yunus ini untuk mengembangkan teori gerhana bulannya. Dalam bukunya, Ibnu Yunus memberikan keterangan gerhana bulan yang diamati.

Menurut dia, salah satu gerhana bulan yang diamatinya terjadi pada 10 Syawal 370 Hijriyah atau 22 April 981 Masehi. Ia dan sejumlah koleganya melakukan pengamatan di al-Qarafa di Masjid Ibn Nasr al-Maghribi. Kontak pertama berlangsung saat ketinggian bulan mencapai 21 derajat.

Ketika itu, gerhana menutup sekitar seperempat dari diameter bulan. Cahaya bulan muncul kembali satu seperempat jam sebelum matahari terbit. Buku yang ditulis Ibnu Yunus pada kemudian hari menjadi pegangan penting serta digunakan secara luas di dunia Islam.

Ibnu Yunus melaporkan pengamatan lainnya, yaitu gerhana matahari yang terjadi pada 11 November 923 Masehi. Gerhana matahari tersebut, kata dia, dikalkulasi dan diobservasi oleh Abu al-Hassan Ali ibn Amajur, yang menggunakan perangkat tabel al-Zij al-Arabi of Habash. Ia juga menjadi bagian dari tim bersama Abu al-Hassan.

Tak hanya Al-Zij al-Hakimi al-Kabir yang membuat Ibnu Yunus menjadi buah bibir di kalangan ilmuwan. Ia pun menuliskan karya lain, yaitu Hakenite’s Tables, sebuah kompilasi dari sekitar 1.005 dokumen tentang gerhana. Di antaranya adalah gerhana matahari pada 993 dan 1004 serta gerhana bulan pada 1001 dan 1002 Masehi. (rol)

Sumber : rol, Eramuslim.com