Jauhi Cina, Mahathir Dekati Investor Jepang
10Berita – Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dijadwalkan berkunjung ke Jepang pada Minggu (10/6/2018) untuk merayu investor “Negeri Matahari Terbit” itu. Dilansir dari Japan Today, Malaysia sedang berupaya untuk menutup utang negara sebesar 1 triliun ringgit atau sekitar Rp 3.500 triliun dan beralih agar tidak lagi tergantung pada investasi dari China.
Dia akan bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan pejabat senior lainnya pada kunjungan yang akan berlangsung selama tiga hari. Kunjungan tersebut juga menandai lawatan pertama Mahathir setelah kembali berkuasa. Pria berusia 92 tahun itu menerapkan kebijakan “Look East” untuk memperkuat hubungan dengan Asia Timur, terutama Jepang. Kebijakan ini juga dipandang sebagai tanda Malaysia mulai menjauhi dari China, yang memompa miliaran dollar ke pemerintahan era Najib Razak. Pemerintah baru Malaysia mencurigai beberapa perusahaan China digunakan untuk menutupi skandal korupsi di perusahaan negara 1Malaysia Development Berhad (1MDB). “Dengan kembalinya Mahathir, saya yakin industri kami akan sangat senang untuk berpikir positif tentang keterlibatan mereka dengan Malaysia dan industrinya,” kata Duta Besar Jepang untuk Malaysia Makio Miyaga.
Di sisi lain, eksekutif industri keuangan di Jepang berharap dapat mempercepat investasinya di Malaysia. Sejauh ini, Jepang merupakan penyumbang investasi langsung luar negeri terbesar di Malaysia dengan nilai 13 miliar dollar AS atau Rp 181 triliun pada tahun lalu. Dalam kampanye pemilu, Mahathir pernah menyampaikan keinginannya untuk mengevaluasi investasi China di Malaysia. “Banyak orang tidak suka dengan investasi China. Kami ingin membela hak rakyat Malaysia. Kami tak ingin menjual negeri ini kepada perusahaan asing yang akan mengembangkan seluruh kota,” ujar Mahathir.
Komentar Mahathir ini merefleksikan keprihatinan meluas atas investasi China di berbagai negara Asia mulai dari Australia hingga Sri Lanka. Banyak negara berusaha mendapatkan keuntungan dari rencana China membangun infrastruktur bernilai ratusan miliar dolar. Namun, di sisi lain banyak negara juga khawatir akan menjadi terlalu tergantung terhadap China.(kl/)
Sumber :konfrontasi