Menanti Nyali Taipan Pengklaim Pulau Pari
10Berita, SULAIMAN Hanafi — biasa dipanggil Katur — mutung. Sejak lebaran, dia sudah membayangkan bakal menatap langsung wajah Pintarso Adijanto, orang yang melaporkannya ke kepolisian pada Juni 2017 dan membuatnya duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa kasus penyerobotan lahan. Tapi, orang yang dinanti tak menunjukkan batang hidungnya.
Sulaiman dan Pintarso bak bumi dan langit. Sulaiman cuma warga Pulau Pari, satu pulau di selatan gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta. Paling banter, dia pernah menjabat ketua rukun tetangga setempat.
Sebaliknya, Pintarso adalah pebisnis papan atas. Dia bos PT Resource Alam Indonesia Tbk, salah satu gergasi batubara di Tanah Air. Dia juga pemilik PT Bumi Pari Asri, perusahaan yang mengklaim menguasai hampir 90 persen lahan di Pulau Pari.
Perkara tanahlah yang mempertemukan Sulaiman dan Pintarso. Klaim Pintarso bakal menggusur sekitar 300 keluarga atau lebih dari 1.000 jiwa yang telah menghuni pulau tersebut lebih dari tiga puluh tahun, termasuk Sulaiman.
Hendak membangun pelesiran bertaraf internasional, Pintarso rupanya tak main-main dengan klaimnya. Dia pun melaporkan warga ke kepolisian dengan tudingan penyerobotan lahan dan pungutan liar, sehingga total ada sebelas warga yang hingga kini berurusan dengan kepolisian dan pengadilan.
Sulaiman juga kian kecewa karena perkaranya diteruskan polisi dan jaksa meskipun Ombudsman tiga bulan silam telah memutuskan 76 sertifikat tanah milik perusahaan Pintarso cacat administrasi. Kantor Pertahahan Jakarta Utara, menurut Ombudsman, serampangan menerbitkan puluhan sertifikat tersebut, terlebih monopoli lahan di Pulau Pari dinilai melabrak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Walhasil, bagi Sulaiman, satu-satunya ‘obat’ bagi kekecewaannya adalah menatap langsung wajah Pintarso. Tapi sayang, sang taipan tak jua muncul di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa 26 Juni 2018.
“Pintarso harus bertanggung jawab dong,” ujar Sulaiman. “Dia yang melaporkan saya, ya harus hadir beri keterangan, bahwa dia bermasalah sama saya.”
Di Pengadilan, Sulaiman didakwa oleh jaksa telah melanggar Pasal 167 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang masuk ke rumah atau pekarangan orang lain tanpa izin. Rumah yang diklaim milik PT Bumi Pari adalah rumah milik Surdin yang dijadikan “rumah sewa” untuk turis Pulau Pari.
Sulaiman sendiri sebenarnya hanya pengelola rumah sewa itu. Dia berbagi hasil dengan Surdin, juga seorang warga pulau, dengan porsi 80 persen untuk Surdin dan 20 persen untuk Sulaiman.
Pariwisata di Pulai Pari memang dikelola swadaya oleh warga setempat. Pelancong bisa menikmati keindahan Pantai Perawan dan Pantai Bintang di pulau tersebut hanya dengan tarif masing-masing Rp 5.000 dan Rp 2.500. Uang itu, menurut warga, akan digunakan untuk menjaga kebersihan pulau, yang cuma berjarak dua jam berlayar dari Pelabuhan Muara Karang, Jakarta Utara.
Malang bagi Sulaiman, Pintarso mengklaim rumah sewa yang menghidupi Sulaiman dan keluarganya selama ini berdiri di atas lahan PT Bumi Pari. Malang juga bagi warga lain sebab hampir tak tersisa lagi lahan bagi mereka di pulau seluas 41,32 hektare tersebut, kecuali sebuah masjid yang berstatus tanah wakaf dan sebuah laboratorium oseanologi milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kuasa hukum Sulaiman, Tigor Hutapea, menilai tuduhan penyerobotan lahan kepada kliennya mengada-ada. Pasalnya, tanah yang dimanfaatkan untuk membangun rumah sewa telah dihuni warga selama puluhan tahun sementara PT Bumi Pari baru mengklaim kepemilikan pada 2015.
“Ini upaya kriminalisasi untuk membungkam warga yang menolak privatisasi pulau,” ujar Tigor.
Tigor juga meminta Hakim Ramses Pasaribu agar memaksa Pintaro hadir di persidangan. Sesuai Pasal 160 KUHAP ayat 1, menurut Tigor, Pintarso sebagai saksi pelapor wajib setor muka di pengadilan.
“Ini sidang pemeriksaan saksi, sehingga kami berkeras Pintarso dihadirkan lebih dulu, bukan saksi-saksi lain,” katanya.
Menurut Tigor, kehadiran Pintarso di pengadilan sangat penting untuk mengklarifikasi beberapa hal penting, seperti klaim kepemilikan tanah Pintarso yang justru dimentahkan oleh temuan Ombudsman dan klaim Pintarso bahwa dia mengenal Sulaiman. Menurut Tigot, kliennya sama sekali tak mengenal Pintarso, bahkan tak pernah melihat wajah sang taipan. Klaim tersebut dinilai penting karena akan menjelaskan, apakah Pintarso dan keluarganya pernah membangun atau memanfaatkan lahan di Pulau Pari atau tidak.
Hakim pun mengabulkan permintaan Tigor dan memutuskan menunda persidangan hingga 5 Juli 2018. Tigor juga meminta Pintarso dipanggil kembali dan jika tak jua hadir, dia harus dihadirkan paksa.
Dalam Persidangan Selasa 26 Juni 2018, jaksa menghadirkan dua saksi. Mereka adalah Ben Yitzhak, kepala sekuriti PT Bumi Pari, dan Muhammad Sholeh, seorang yang mengaku mengaku pernah menyewa dan menginap di rumah sewa yang dikelola Sulaiman.
Selain Sulaiman, warga lain amat mendamba kehadiran Pintarso, orang yang menurut mereka telah membuat kehidupan warga pulau jumpalitan selama dua tahun terakhir. “Saya ingin lihat muka Pintarso, seperti apa sih dia,” ujar Mustaghfirin, salah satu warga yang sempat mendekam di balik jeruji penjara berkat tudingan pungutan liar Pintarso.[](Ngaenan)
Sumber :IndoPress