Pancasila ‘Dibina’, Neolib Dipelihara: Ironis!
10Berita – SUNGGUH ironis katanya sudah 73 tahun kita merdeka dan sudah 73 tahun pula kita memiliki Pancasila tapi ternyata masih memerlukan lembaga pembinaan terhadap Pancasila yang disebut Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang belakangan ini di tengah kesulitan dan keprihatinan mayoritas rakyat akibat berbagai tekanan ekonomi; BPIP ini rame diberitakan lantaran para pengelolanya yang merupakan para pembesar dan kaum elit dikasih gaji fantastis, lebih dari seratus juta rupiah per bulan…
Dari segi penggunaan istilah atau akronim zaman Soeharto katanya lebih mentereng, waktu itu disebut Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila alias BP7, meski kenyataannya Pancasila diperlakukan secara sama saja seperti sekarang ialah pemanis bibir belaka bagi kepentingan politik kosmetik dan berbagai kerawanan berupa potensi disintegrasi bangsa masih saja bermunculan akibat salah urus pengelolaan negara.
Soal Pancasila ini sekarang ternyata memang banyak sekali menguras anggaran negara yang nota bene bersumber dari uang rakyat. Di jurusan lain ada pula MPR RI yang saat ini tugas dan fungsinya mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila supaya benar-benar diamalkan (Disebut Sosialisasi Empat Pilar: Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD ’45).
Namun apa lacur, yang terjadi dari kerja sosialisasi oleh MPR ini hasilnya ternyata lebih banyak kembang kata belaka, jargon-jargon kosong, upacara-upacara basi, bahkan belakangan sosialisasi yang sudah mirip ‘’proyek’’ itu dipakai sebagai sarana pencitraan oleh para politisi di MPR untuk tujuan-tujuan pribadi dan kepentingan partai politik mereka masing-masing. Sedangkan birokrasi di lembaga parlemen tersebut lebih bertindak sebagai juru bayar bagi kegiatan-kegiatan seremonial tersebut.
Kenapa perekonomian saat ini dirasakan semakin sulit oleh mayoritas rakyat, dan apa sebab
negeri ini sekarang mengalami semacam kekosongan ideologi?
Jawabnya karena Pancasila ‘’diproyekkan’’ dan jalan sesat ekonomi neoliberal yang pro asing dan aseng masih terus dipelihara.
Para pendiri bangsa seperti Mohammad Hatta belajar ekonomi di Belanda pada masa great depression, yaitu masa berkecamuknya depresi ekonomi besar yang melanda Eropa di tahun 1930-an, akibat kapitalisme dan liberalisme yang ugal-ugalan.
Belajar dari kondisi yang tidak layak untuk dicontoh itu Hatta dan para founding fathers kemudian merumuskan perekonomian konstitusional yang memihak kepentingan mayoritas rakyat yang posisinya berada di tengah, tidak ke kanan (kapitalis-liberal) dan tidak pula ke kiri (komunis-sosialistik).
Neoliberalisme ternyata telah turut pula menghempang nilai-nilai Pancasila, karena neoliberalisme mendatangkan budaya global yang menggerus nilai-nilai keindonesiaan. Pancasila sendiri esensinya adalah nilai-nilai keindonesiaan yang merupakan filosofische grondslag, filsafat dasar bernegara dan berbangsa, yang dalam prakteknya tidak benar-benar diamalkan, sehingga sampai hari ini tidak ada satu pun elit di dalam kekuasaan yang benar-benar merupakan role model penghayat dan pengamal nilai-nilai Pancasila.
Sia-sia belaka Pancasila ‘’dibina’’-dilembagakan, sepanjang sistem sesat perekonomian neoliberal masih terus dipelihara dan dijalankan, sebab neoliberalisme merupakan pintu masuk bagi neokolonialisme (kolonialisme baru) dan neoimperialisme (imperialisme baru).
Dalam ungkapan yang gamblang dan sudah sering kita dengar: Negara dan bangsa kita sekarang dijajah secara ekonomi oleh asing dan aseng. ***
*Penulis: Arief Gunawan, wartawan senior (kl/)
Sumber : konfrontasi