OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 04 Juli 2018

Dolar Capai Rp 14.425, Sejumlah Ekonom Angkat Bicara

Dolar Capai Rp 14.425, Sejumlah Ekonom Angkat Bicara

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih melemah semenjak Kamis (28/6/2018).

Chatib Basri, Rizal Ramli, dan Sri Mulyani - Sumber: Kolase Tribunwow

10Berita  - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih melemah semenjak Kamis (28/6/2018).

Seperti dikutip Tribunwow, Dolar menyentuh level tertingginya pada pagi ini (3/7/2018) di Rp 14.425.

Atas anjloknya rupiah, sejumlah ekonom angkat bicara.

Melalui akun Twitter-nya, Mantan Menteri Keuangan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Chatib Basri turut berkomentar.

Chatib Basri mentautkan berita yang menyatakan dolar setia di Rp 14.400, BI sebut ada tekanan eksternal yang sangat kuat.

Chatib Basri membalas tweet tersebut dengan mengatakan bukan hanya itu alasan dolar yang semakin menguat.

Hal tersebut juga dikarenakan harga minyak yang terus naik dan anjloknya Yuan akibat resiko trade war juga membuat situasi makin compilicated.

"Tak hanya itu, spt yg saya tweet beberapa hari lalu, harga minyak yg terus naik dan anjloknya Yuan akibat resiko trade war juga membuat situasi makin complicated," tulis Chatib Basri.

Tweet Chatib Basri (Capture Twitter)

Tweet sebelumnya yang dimaksudkan Chatib adalah saat ia menuliskan mengenai harga minyak World Texas Intermediate (WTI) yang mencapai 74 dolar per barrel sehingga bisa menggerus alokasi fiskal yang produktif seperti infrastuktur, dll.

Berikut ini tweet dari Chatib Basri berkaitan dengan harga minyak WTI dan lemahnya rupiah atas dolar.

"Harga minyak WTI sudah $74 per barrel, ini bisa menggerus alokasi fiskal yg produktif spt infrastruktur dsb. Shg walau defisit fiskal meningkat, ia tdk memberikan daya dorong ekonomi. Disisi lain harga minyak yg tinggi akan mendorong defisit perdagangan migas

Jika tdk hati2, maka defisit akan meningkat disisi fiskal dan transaksi berjalan. Disisi lain, pengetatan moneter utk menjaga stabilitas nilai tukar, tdk akan mendorong pertumbuhan. Dengan kondisi ini, harapan kita hanya ekspor

Namun bila perang dagang terjadi maka, perekonomian global akan melambat, permintaan thd ekspor kita akan menurun. Artinya engine of growth dari ekspor juga akan sulit. Ini situasi yg tidak mudah.

Memang nantinya jika ekonomi global melambat, maka harga minyak akan menurun, namun keseimbangan baru bagi ekonomi dunia dan Indonesia akan berada pada tingkat yg lebih rendan. Sy kira issue ekonomi akan menjadi sangat krusial

Dalam kondisi spt ini, mungkin upaya kerjasama regional menjadi relevan. Inilah yg mulai dilakukan China skrg. Sy pernah tulis apa yg hrs dilakukan ASEAN Oktober 2017. Waktu itu trade war belum terjadi, tapi mulai kuatir akan proteksionismr Trump," tulis Chatib Basri.

Selain itu, ekonom senior, Rizal Ramli juga turut berkomentar melalui akun Twitter-nya, @ramlirizal, Selasa (3/7/2018).

Menurut Rizal Ramli, rupiah merosot karena hanya mengandalkan kebijakan moneter.

Serta, tidak ada terobosan di sektor riil dan tidak ada kebijakan pengelolaan utang yang inovatif.

"Merosot krn hanya mengandalkan kebijakan moneter. Tidak ada terobosan di sektor riel dan tidak ada kebijakan prngelolaan utang yg inovatif," tulis Rizal Ramli.

Ia juga mentautkan berita yang mengatakan rupiah mencapai Rp 14.425 per dolar AS sehingga diprediksi ekonomi Indonesia kian memburuk.

Sementara itu, dikutip Tribunwow.com dari Kompas.com, saat dolar AS melemah ke level Rp 14.200, Kamis (28/6/2018), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pihaknya telah bekerja sama dengan Bank Indonesia.

"Untuk kebijakan moneter, Pak Gubernur (Bank Indonesia) sudah menyampaikan beberapa kali dan kami terus bekerja sama. Dari sisi external balance, kami akan perbaiki meski ini hanya akan memberikan dampak untuk jangka menengah panjang," kata Sri Mulyani.

Menurut Sri Mulyani, pelemahan nilai tukar rupiah merupakan hasil dari sentimen market maupun faktor yang sifatnya fundamental.

Sementara untuk faktor yang sifatnya relatif, seperti perubahan kebijakan di Amerika Serikat hingga penguatan dollar AS, akan dilakukan langkah-langkah mitigasi oleh lembaga dan kementerian terkait.

"Jadi, kalau masih mencerminkan fundamental dan kekuatan ekonomi yang tidak bergerak jauh dari faktor-faktor positifnya, kami lihat itu sebagai adjustment yang normal," tutur Sri Mulyani.(/Tiffany Marantika)

Sumber :Tribunwow