OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 27 Juli 2018

Dr. Tony Rosyid: Kenapa Harus Anies?

Dr. Tony Rosyid: Kenapa Harus Anies?


10Berita – Anies dianggap fenomenal. Mirip Jokowi di tahun 2012 saat cagub DKI. Hanya saja, Anies lebih alami dan track recordnya lebih terukur. Rektor, menteri dan gubernur. Banyak pihak yang mengapresiasi kerja dan prestasi Anies ketika menduduki tiga jabatan itu.

Jika Jokowi di 2012 dianggap sebagai antitesa Fauzi Bowo yang terkesan elitis, maka Anies, Inisiator _Indonesia Mengajar_ ini dikenal publik sebagai antitesa Jokowi. Pidato Anies tentang _pribumi_ seolah menjadi kekuatan dan pilihan nasionalismenya. Ini posisi yang dipahami oleh publik berbeda, bahkan berseberangan dengan Jokowi yang cenderung diasumsikan pro Asing dan Aseng.

Penyegelan Reklamasi beberapa waktu lalu dianggap sebagai salah satu bentuk konsistensi Anies atas narasinya tentang _pribumi_. Reklamasi adalah proyek berbau Aseng dengan semua proses hukum yang teebukti sarat manipulasi. Karenanya, proyek raksasa ini ditutup.

Anies semakin jelas posisinya sebagai ancaman bagi Jokowi ketika mengalami sejumlah sikap _tidak elegan_ dari sekelompok orang yang diduga identitasnya sebagai para pendukung Jokowi. Mulai dari teriakan di pesta pernikahan putri Jokowi, penghadangan di GBK, sampai seruan _huuuu_ di istana Bogor.

Puncaknya, lahir PP No 32 Tahun 2018 tentang syarat adanya izin presiden bagi kepala daerah (termasuk gubernur) yang ingin maju jadi capres atau cawapres. Terbit hanya beberapa minggu sebelum pendaftaran. Publik memandang, ini upaya nyata penjegalan terhadap Anies.

Anies berpotensi mengancam posisi Jokowi di pilpres 2019. Sejarah Jokowi nyapres saat menjabat gubernur DKI 2014 seolah memberi jalan lapang buat Anies untuk nyapres.

Apakah Anies akan nyapres di 2019 ini? Anies ingin fokus selesaikan tugas di Jakarta. Tapi, ada dorongan sedemikian kuat dari sejumlah ulama, akademisi dan aktivis yang menginginkan Anies maju di pilpres 2019.

Sejumlah deklarasi di berbagai wilayah untuk dukung Anies nyapres adalah bukti adanya dorongan kuat itu. Fenomenannya mirip Jokowi di 2014. Jika kader PDIP membuat narasi _Megawati Ketuaku, Jokowi Presidenku_, maka para ulama, akademisi dan aktivis itu menyuarakan _Prabowo Pahlawanku, Anies Presidenku_

Kenapa harus Anies? Sebab, Anies dianggap sebagai jawaban alternatif terhadap kekecewaan rakyat terhadap Jokowi. Hanya 44,10% yang menginginkan Jokowi lanjut. 47,90% ingin presiden baru. Jauh lebih banyak.

Pertama, komitmen Anies untuk mengangkat martabat pribumi dalam program DKI, khususnya terkait Pasar tanah Abang, Abang Becak dan Tukang Ojek di Jl. Tamrin dipandang sebagai harapan kembalinya keberpihakan terhadap orang-orang kecil yang selama ini terpinggirkan secara struktural. Ini sesuatu yang nampaknya remeh. Tapi, semangatnya memilih untuk bersama dengan kepentingan _wong cilik_ tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang kecil.

Contoh besarnya adalah penutupan reklamasi. Ini adalah bentuk nyata pembelaan terhadap para nelayan sebagai representasi masyarakat miskin dan pinggiran. Ini keputusan spektakuler karena _high’ risk_. Langsung berhadap-hadapan tidak saja dengan taipan, tapi juga dengan penguasa.

Kedua, soal komitmen hukum. Anies adalah sosok yang dalam mengambil setiap keputusan mendasarkan kepada hukum yang berlaku. Karena itu, Anies tak ada beban masa lalu, karena semuanya dilakukan dalam koridor hukum.

Rahasia dibalik keberhasilan Anies menghentikan Alexis dan menutup reklamasi, adalah karena keduanya sarat pelanggaran hukum. Penutupan sebagai langkah penegakan hukum yang selama ini tumpul terhadap orang-orang berduit yang punya akses kekuasaan.

Di sisi lain, penguasa saat ini “dikesankan” represif dan “diduga” menggunakan hukum sebagai alat mematikan lawan-lawan politiknya. Istilah kriminalisasi menjadi sangat populer di era kepemimpinan sekarang.

Status WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK yang didapat oleh Pemprov DKI dalam enam bulan pasca pelantikan Anies adalah bukti nyata adanya komitmen hukum Anies. Di era Jokowi, Ahok dan Djarot, Pemprov DKI belum pernah mendapatkan status WTP.

Ketiga, Anies diasosiakan publik sebagai sosok yang smart. Baik konsep, narasi maupun kinerjanya. Identifikasi ini tidak melekat di diri Jokowi. Dalam konteks pendidikan, Anies lulusan S3 dengan gelar doktor, dan Jokowi lulusan S1 jurusan kehutanan. Tapi, bukan semata-mata faktor pendidikan seseorang teridentifikasi _smart_. Namun, pendidikan, selain pengalaman, memberi kontribusi signifikan terhadap kamampuan seseorang memimpin. Perbedaan ini bisa dibayangkan ketika ada debat antara Jokowi vs Anies di pilpres nanti.

Keempat, kesantunan dan sikap _humble_ sebagai pola komunikasi politik Anies diprediksi mampu meredam konflik rakyat yang berlarut-larut selama ini. Dari 40-an% yang tidak memilih Anies di Pilgub DKI 2017, hanya tersisa 5-6 persen yang belum menerima kepemimpinan Anies. Ini bukti kemampuan Anies dalam komunikasi politik. Kemampuan Anies menyapa dan mengajak bicara lawan politik menjadi faktor penting untuk menyatukan keterbelahan sosial yang selama ini terjadi.

Setidaknya, empat faktor ini yang membuat panggung Anies semakin efektif dan mampu menjadi faktor magnetik rakyat mengapresiasi. Apresiasi itu bisa dilihat dari hasil survei. Median hanya mengangkat tiga sosok potensial untuk nyapres, yaitu Jokowi, Prabowo dan Anies.

Anies benar-benar akan jadi alternatif jika Prabowo tak mendapatkan tiket partai untuk maju. Suara Gerindra tak cukup. Sementara, belum ada tanda-tanda keseriusan partai yang bersedia koalisi jika calonnya masih tetap Prabowo. Di tengah kebuntuan koalisi ini, Anies paling potensial jadi alternatif. Prediksi survei, hanya Anies yang diprediksi paling berpotensi dan berpeluang jadi lawan seimbang Jokowi. Tidak yang lain.

Jakarta, 27/7/2018 []

*Penulis: Dr. Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Sumber : teropongsenayan