Elpiji 3 Kg Versi Baru dan Kesenjangan Ekonomi
Oleh: Mariyah Zawawi
Bulan Juli 2018 ini, pemerintah, dalam hal ini Pertamina, akan meluncurkan produk baru. Yaitu, elpigi 3 kg versi Bright Gas. Sebagaimana Brught Gas kemasan 5,5 kg, elpigi yang berukuran 3 kg ini juga tidak bersubsidi. Harga per kilogramnya akan mengikuti harga minyak mentah atau crude price dari Aramco. Kemasannya juga lebih baik dari tabung elpigi bersubsidi. Katupnya jenis double spindle value system. Plastic wrapjuga lebih aman.
Elpigi 3 kg non subsidi ini akan dijual bebas di pasaran mulai 1 Juli 2018. Peluncuran produk baru ini tidak akan mengurangi kuota elpigi bersubsidi. Menurut Nicke Widyawati, plt Dirut PT Pertamina, produk ini dikeluarkan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat mampu yang tinggal di apartemen dan terbiasa hidup praktis (Okezone.com, 22/06/2018). Memang, kemasan 3 kg ini lebih praktis untuk dibawa dibandingkan kemasan 5,5 kg atau 12 kg.
Peluncuran produk elpigi Bright Gas 3 kg ini semakin membuktikan adanya kesenjangan ekonomi di antara masyarakat Indonesia. Memang, berdasarkan riset yang dilakukan oleh International Forum on Indonesian Development (INFID), kekayaan 1 persen penduduk di Indonesia setara dengan 45 persen kekayaan nasional. Jika populasi penduduk Indonesia (berdasarkan data dari BPS) adalah 261 juta, maka penduduk terkaya mencapai 261.000 pada 2017 (Bisnis.com, 23/01/2018).
Mengapa terjadi kesenjangan ekonomi yang begitu besar? Jawabannya adalah karena diterapkannya sistem ekonomi Kapitalis. Dalam sistem ekonomi Kapitalis, diakui adanya kebebasan kepemilikan. Jadi, siapa pun yang mampu, bebas untuk memiliki kekayaan apa pun, dalam jumlah berapa pun, dan dengan cara bagaimana pun. Tidak ada standar halal-haram dalam sistem ekonomi Kapitalis. Karena itu, monopoli kekayaan, mengumpulkan harta dengan cara riba, atau berniaga barang-barang haram dan najis termasuk yang diperbolehkan.
Menurut Abraham Samad, ketua KPK periode 2011-2015, terciptanya segelintir orang kaya di Indonesia tak lepas dari lemahnya pemerintah dalam memberantas kapitalisme kroni (Republika.co.id, 09/03/2018). Kapitalisme kroni atau crony capitalismmerupakan istilah di dunia ekonomi untuk menyebut harta kekayaan yang diperoleh karena kesuksesan bisnisnya didapat dari hubungan dekat antara pengusaha dan penguasa. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang dicapai hanya dinikmati oleh 20 persen masyarakat. Sementara, masyarakat di level bawah tidak bisa ikut mencicipinya.
Masih menurut Abraham Samad, data hasil riset World Bank menyebutkan bahwa 304 perusahaan besar di Indonesia menguasai 26 juta hektare konsesi hutan. Ini berarti rata-rata tiap perusahaan menguasai 85,526,3 hektare. Sementara, 23,7 juta petani Indonesia hanya memiliki tanah seluas 21,5 juta hektare. Berarti, masing-masing petani hanya memiliki 0,907 hektare. Jadi, tidak sampai 1 hektare. Sebuah ketimpangan yang luar biasa!
Berbeda dengan sistem Kapitalis, sistem Islam tidak mengakui adanya kebebasan kepemilikan. Islam memang mengakui kepemilikan individu, di samping kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Kepemilikan individu ini harus diperoleh dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syara'. Cara-cara itu adalah menghidupkan tanah mati, menggali potensi alam, berburu, makelar, mudlarabah, mengairi tanah pertanian serta menjadi pekerja, buruh, atau karyawan orang lain.
Menghidupkan tanah mati adalah mengelola tanah yang selama 3 tahun berturut-turut tidak dikelola. Caranya adalah dengan mengolah tanahnya atau memanfaatkannya dengan mendirikan bangunan atau yang semisalnya. Dengan demikian, tanah benar-benar bermanfaat bagi kesejahteraan umat.
Menggali potensi alam hanya boleh dilakukan jika jumlahnya terbatas bila barang itu menyangkut hajat hidup banyak orang. Misalnya, minyak, batubara, hutan, dan sebagainya. Jika barang itu tidak menyangkut hajat hidup banyak orang seperti batu akik, batu marmer, dan sebagainya, maka diperbolehkan bagi individu untuk mengeksplorasinya. Tetapi, tetap harus memperhatikan keselamatan alam. Jika sumber daya alam itu jumlahnya besar sekali dan menyangkut hajat hidup banyak orang, harus dikelola oleh negara. Hasilnya digunakan untuk kepentingan masyarakat umum.
Dengan melakukan pengaturan seperti ini, tidak akan terjadi penguasaan jutaan hektare lahan hutan oleh segelinW orang. Atau, eksplorasi minyak oleh perusahaan pribadi atau perusahaan asing.
Di samping itu, ada kewajiban mengeluarkan zakat harta jika sudah mencapai nishab dan haulnya. Sehingga mereka yang diberi kelebihan rejeki bisa berbagi dengan mereka yang miskin.
Memang, bukan berarti tidak ada orang miskin. Tetapi, dengan cara seperti itu, distribusi kekayaan akan lebih merata dan kesenjangan ekonomi yang besar bisa dihindari. Wallaahu a'lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sumber :Voa-islam.com