OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 03 Juli 2018

Lewat Selebrasi, Shaqiri dan Xhaka Membuka Kembali Sejarah Kelam Pembantaian Muslim Albania Oleh Serbia di Kosovo

Lewat Selebrasi, Shaqiri dan Xhaka Membuka Kembali Sejarah Kelam Pembantaian Muslim Albania Oleh Serbia di Kosovo

10Berita, Merayakan gol yang dibuat dalam pertandingan sepak bola adalah hal yang lumrah.

Begitu pula jika kita secara sekilah perayaan yang dilakukan oleh Xherdan Shaqiri dan Granit Xhaka ketika kedua penggawa tim nasional Swiss ini mencetak gol ke gawang Serbia pada laga lanjutan penyisihan Grup E Piala Dunia 2018 di Stadion Kalinigrad, Jumat (22/6/2018).

Apalagi kedua gol tersebut menjadi penyama kedudukan dan penentu kemenangan Swiss atas Serbia, setelah sebelumnya Swiss tertinggal lewat gol Aleksandar Mitrovic.

Namun, ternyata selebrasi yang identik di antara keduanya berupa menyilangkan kedua tangan di dada serupa kepakan sayap tersebut memicu kontroversi.

Selebrasi yang dianggap menyerupai elang tersebut dianggap berbau politis. Bentuk burung elang tersebut dikaitkan dengan lambang negara Albania, yaitu burung elang.

Kedua pemain tersebut secara kebetulan memang berasal dari keluarga imigran berdarah Kosovo, negara pecahan Serbia.

Shaqiri bahkan lahir di Kosovo sebelum kemduian pindah ke Swiss bersama orang tua dan ketiga kandunganya saat dia masih berusia satu tahun.

Sementara Xhaka lahir di Swiss. Namun ayahnya dulu pernah dipenjara karena berpartisipasi dalam upaya menentang pemerintahan komunis Yugoslavia di Kosovo.

Hal inilah yang membuat selebrasi keduanya menjadi perhatian. Hubungan politik Albania dan Serbia dinilai menjadi dasar dari selebrasi tersebut.

Selebrasi yang bisa berujung sanksi karena FIFA sangat melarang segala jenis demonstrasi politik di dunia sepak bola, termasuk dalam bentuk selebrasi.

Konflik Etnis dan Agama
Konflik antara Kosovo dan Serbia memang berlangsung panjang. Data demografi menunjukan bahwa Kosovo dihuni oleh etnis Serbia yang beragama Kristen Ortodok Timur dan etnis Albania yang mayoritas berama Islam.

Kedua komunitas ini kemudian bertikai memperebutkan tanah Kosovo, keduanya juga sama-sama mengklaim leluhurnyalah yang pertama kali menduduki Kosovo.

Saat Serbia masih tergabung dalam Yugoslavia bersama dengan Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina, dan Montenegro, Kosovo mengalami pergolakan paling besar.

Terutama setelah Kosovo Liberation Army mulai melancarkan serangan ke pemerintahan otoritas Yugoslavia di Kosovo.

Konfilk tak terelakan. 1.500 sampai 2.000 orang diperkirakan tewas.

Sekutu kemudian hadir di belakang Kosovo dan melancarkan serangan ke Yugoslavia pada 1999.

Di tahun yang sama setelah serangan dimulai, militer Serbia yang masih tergabung dengan Yugoslavia melakukan serangan brutal yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai genosida atau pembantaian terhadap etnis Albania di Kosovo.

Lebih dari 850.000 etnis Albania di Kosovo pun diusir.

Pengusiran tersebut melibatkan perampokan, pembunuhan, penjarahan, hingga pemerkosaan.

Mereka yang terusir kemudian menyebar ke berbagai negara, khususnya negara Eropa Barat.

Hal yang sama dialami oleh keluarga Xherdan Shaqiri dan Granit Xhaka.

Hingga kini, Serbia yang didukung Rusia masih menolak deklarasi kemerdekaan yang dinyatakan oleh Kosovo.

Padahal pada 2010, Mahkamah Internasional menyatakan deklarasi tersebut sah dan tidak melanggar hukum internasional.

Pembantai Dihukum
Pada 2011, salah seorang pelaku genosida telah dijatuhi vonis 27 tahun penjara. Vlastimir Djordjevic yang merupakan mantan kepala polisi Serbia dinyatakan bersalah karena terlibat dalam pembantaian lebih dari 700 orang etnis Albania di Kosovo pada tahun 1999.

“Korban pembunuhan sebagian besara adalah perempuan dan anak-anak yang tidak bersenjata dan tidak terlibat dalam bentuk apapun dalam konflik bersenjata di Kosovo,” kata majelis hakim seperti dikutip dari bbc.com.

Selain aksi pembantaian, Djordjevic juga dinyatakan bertanggung jawab atas deportasi paksa terhadap 200.000 warga etnis Albania.

Sumber: intisari.grid.id