Pers Islam dan ‘Watchdog’1
Oleh Beggy Rizkiyansyah (Anggota Jurnalis Islam Bersatu)
10Berita, Semakin menguatnya peran jurnalisme di masa kini seringkali digaungkan dengan peran pers sebagai watchdog atau anjing penjaga. Peran sebagai watchdog ini diasosiasikan tidak hanya sebagai pengawas bagi pemerintah tetapi juga berbagai isu yang terkait kepentingan publik.
Wacana pers sebagai watchdog tentu saja berkembang dari pengalaman pers barat sejak abad ke-18 hingga kini. Seiring berjalannya waktu pers sebagai watchdog mengalami berbagai tantangan dan perkembangan. Pers dalam wacana demokrasi liberal barat disebut sebagai pilar keempat dalam demokrasi sesungguhnya menjadi peran yang sangat dominan.
Pilar keempat pada dasarnya memberi peran pada media untuk mengumpulkan informasi, ide dan pendapat untuk membantu masyarakat dengan tata kelola pemerintahan yang baik; berperan sebagai memeriksa yang berkuasa, melaporkan, menganalisa dan mengkritik pemerintah atas nama publik, yang kekurangan akses pada informasi atau kekuasaan. (Julianne Schlutze: 1998)
Sebagai alat kontrol, terutama bagi pemerintah, peran ini menjadi penyeimbang bagi jalannya satu negara. Di Amerika Serikat, terbongkarnya skandal Watergate oleh Washington Post berujung pada tumbangnya pemerintahan Richard Nixon, atau peran New York Times dalam mengungkap Pentagon Papers. Peristiwa ini menjadi semacam ikon pers sebagai watchdog.
Watchdog, meski digaungkan dengan sangat nyaring sebagai simbol idealisme dalam jurnalisme, nyatanya tak disepakati maknanya. Sheila Coronel dari Columbia School of Journalism menegaskan bahwa watchdogging (menjalankan peran watchdog) setidaknya berarti,
“On a routine basis, the watchdog press monitors the day‐to‐day workings of government, thereby helping citizens assess the efficacy of its performance. Reporting that goes beyond what officials or their spokespersons say, to examine government performance, is also a form of watchdogging.”
Peran sebagai watchdog nyatanya tak sebatas kontrol terhadap pemerintah, namun lebih luas, dari pelanggaran kecil oleh aparat hingga skandal mega korupsi. Dari pihak pemerintah hingga aksi menyimpang dari korporasi. Bahkan Shelia Coronel juga menyebutkan penyimpangan oleh gereja atau biksu juga termasuk didalamnya.
Salah satu penerapan watchdog adalah dengan melakukan pengungkapan terhadap penyimpangan yang terjadi terkait kepentingan publik, meskipun dilatari beragam motif.
“…what matters is that the reporting warns citizens about those that are doing them harm and empowers them with the information they need to know”, demikian jelas Sheila Coronel (2009) dalam Corruption and the watchdog role of the news media.
Pengungkapan lewat jurnalisme investigasi menjadi ujung tombak dari peran watchdog. Investigasi ini yang mengungkapkan bagaimana organisasi berjalan dan bagaimana seharusnya organisasi berjalan. Dampak dari jurnalisme investigasi dalam watchdog berdampak bukan hanya pada individiu tetapi juga sistemik. (Sheila Coronel: 2009) Pelanggaran dari individu adalah bagian dari penyimpangan dari sistem.
Begitu pula Murrey Marder dalam artikelnya di Nieman Reports (1998). Baginya, “…watchdog journalism is by no means just occasional selective, hard-hitting investigative reporting. It starts with a state of mind, accepting responsibility as a surrogate for the public, asking penetrating questions at every level, from the town council to the state house to the White House, in corporate offices, in union halls and in professional offices and all points in between.”
Pers watchdog tidak sekedar memelototi dan menyalak terhadap segala aksi pemerintah atau korporasi, justru jurnalis pers watchdogtersebut melakukan analisa mendalam terhadap segala informasi yang diterimanya. Pelaksanaan jurnalisme investigasi adalah ujian krusial bagi pers sebagai pilar keempat. (Julianne Schlutze: 1998).
Jurnalisme investigasi dalam pers watchdognyatanya tak subur hanya di negara-negara liberal dan demokratis. Di negara otoriter seperti Cina pun jurnalisme investigasi dapat tumbuh. Menurut Sheila Coronel, beberapa faktor mendorong hadirnya jurnalisme investigasi di Amerika latin, Asia Tenggara, dan Cina memiliki kesamaan: pergolakan sosial dan politik yang menciptakan permintaan akan informasi; jurnalis dan pengusaha media yang memanfaatkan keuntungan dari kontrol yang longgar, peluang bisnis untuk mengungkap penyelewengan; dan publik yang haus akan reportase pengungkapan skandal dan penyelewengan (muckraking). (Sheila Coronel: 2009)
Di balik aksi watchdogging pers tersimpan pula potensi penyimpangan-penyimpangan. Ada banyak pertanyaan seputar klaim pers sebagai pilar keempat dan berfungsi sebagai watchdog. Salah satunya pendapat Geroge Boyce (1978) yang dikutip oleh Julianne Schlutz;
“The paradox of the Fourth Estate, with its head in politics and its feet in commerce can, however, only be understood if it is appreciated that the whole idea of the Fourth Estate was a myth. A myth can combine fact and fiction without any uneasiness existing between the two.” (1998)
Di era ekonomi yang berorientasi pada pasar, pers juga tak luput dari dampaknya. Perusahaan media tempat pers bernaung menjadi lebih mementingkan selera dan respon pasar (pembaca). Rating, oplah atau pengunjung situs menjadi pertimbangan pemberitaan. Kapasitas pers sebagai watchdog pun disorot. Pengungkapan penyimpangan bukan didasarkan pada peran sebagai watchdog, tetapi lebih sebagai penyuplai skandal.
Media sebagai “pemangsa” skandal bertujuan untuk memuaskan dahaga khalayak, daripada untuk menginformasikan dan mendorong khalayak untuk mendorong perbaikan. Kontroversi dan skandal yang tak habis-habisnya terus diumbar tanpa dorongan perbaikan yang substansial. Skandal, seperti pemilihan umum, menjadi arena pertarungan para elit daripada mendorong khalayak untuk berubah. (Sheila Coronel: 2009)
Benar di negara otoriter dan tertutup seperti Cina, perusahaan pers yang berbasis keuntungan menjadi motor watchdog. Hasrat khalayak akan pengungkapan penyimpangan mendorong media memburu informasi. Namun apa jadinya bila masyarakat akhirnya jenuh dan putus asa akan melimpahnya penyimpangan? Akankah perusahan pers berpaling dari rutinitasnya sebagai pengungkap penyimpangan? Seperti Andras Sajo, seorang mantan Hakim asal Hungaria katakan, ketika semua orang mengeluhkannya, maka public kehilangan minat terhadap tuduhan korupsi dan menganggapnya wajar. Korupsi tingkat tinggi pemerintah menjadi fakta normal dalam hidup sehari-hari.
Pers yang bernaung di perusahaan berorientasi pada pasar mungkin bebas dari intervensi pemerintah, tetapi fenomena menyedihkan terjadi di Indonesia. Perusahaan pers dikuasai oleh para konglomerat. “Di Indonesia, sebanyak 12 kelompok media besar menguasai saluran informasi dari ujung Aceh hingga Papua. Kedua belas kelompok media ini menguasai saluran informasi mulai dari media cetak koran, majalah, radio, televisi, serta jaringan berita on-line.” (Anggia Valerisha: 2017)
Dampak konglomerasi media ini adalah terdistorsinya informasi yang diterima masyarakat. Masyarakat akhirnya tidak menerima informasi yang memadai, dan hanya mewakili satu sudut pandang. Pemberitaan juga menyuarakan kepentingan pemiliknya. Khalayak atau publik hanya dianggap sebagai pasar semata. Monopoli kepemilikan ini juga hanya menghasilkan opini yang seragam. (Anggia Valerisha: 2017)
Lebih memilukan lagi ketika para konglomerat media terjun ke ranah politik praktis dan berselingkuh dengan penguasa, sehingga peran watchdog bukan saja mandul tetapi pers berubah menjadi lapdog (anjing peliharaan) atau attack dog (anjing penyerang) bagi kepentingan pemiliknya. Kepentingan khalayak atau publik bukanlah tujuan dari perusahaan pers tersebut.
Orientasi jurnalisme watchdog kepentingan publik bagi pers dalam pandangan pers barat yang diadopsi pers berbagai negara termasuk di Indonesia. Namun bagaimana dengan pers Islam? dapatkah konsep pers sebagai watchdog sejalan dengan Islam sebagai pandangan hidup?
Seperti yang dibahas dalam “Menyelami Jurnalisme Islami” salah satu tawaran dalam wacana jurnalisme Islami adalah prinsip jurnalisme Islami adalah tabligh (edukasi), termasuk di dalamnya amar ma’ruf nahi munkar. Satu ajaran untuk menyokong yang hak dan menolak yang batil.
“Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)
Ajaran amar ma’ruf nahi munkar inilah yang diterapkan pula dalam jurnalisme Islami ketika pers Islam melakukan kontrol atau pengawasan terhadap penguasa. Penguasa dalam ajaran Islam bukanlah figur maksum yang bebas dari kesalahan. Justru tanggung jawab sebagai pemimpin amatlah berat. Namun ketika seorang pemimpin menyimpang dari ajaran Islam maka meluruskannya merupakan salah satu bentuk jihad tertinggi.
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Para ulama mencantumkan hadist ini dalam bab-bab seputar amar ma’ruf nahi munkar. Abu Daud Sulaiman bin Al Asy’ats As Sajistani membawakah hadits ini dalam kitab sunannya pada Bab “Al Amru wan Nahyu”, yaitu mengajak pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Abu ‘Isa At Tirmidzi membawakan hadits di atas dalam Bab “Mengingkari kemungkaran dengan tangan, lisan atau hati”. Sedangkan Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin membawakan hadits ini dalam Bab “Memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. (Muhammad Abduh Tuasikal : 2013)
Hal ini mengisyaratkan meluruskan perilaku pemimpin dalam Islam bukanlah persoalan remeh-temeh. Memantau jalannya pemerintahan, termasuk didalamnya pemimpin dalam diskursus jurnalisme barat demi kepentingan publik, dengan kebenaran berlandaskan humanisme-sekular maka dalam Islam timbangan kebenaran adalah wahyu. (lihat tulisan #MelekMedia “Menyelami Jurnalisme Islami”).
Perbedaannya adalah tanggung jawab pertama pers Islam adalah kepada Tuhannya, yaitu Allah Swt. Sedangkan dalam pandangan pers barat, pers berdiri diatas kepentingan publik atau khalayak. NIlai-nilai humanisme-sekular barat menjadi acuan apa yang penting bagi publik. Tanggun jawab sosial pada masyarakat dalam pers islam akhirnya kembali lagi didasarkan pada amar ma’ruf nahi munkar. (Siddiqi, Mohammad A: 1999).
Para penyeru ke jalan Allah dituntut dalam Quran untuk menyampaikan pesan-pesan yang komprehensif yang mengarahkan juru dakwah pada metode terbaik dan jalan yang paling tepat. Menurut Sufyan Ats Tsauri, agar penyeru amar ma’ruf nahi munkar harus memiliki tiga sifat, yaitu halus dalam menyuruh dan melarang, adil dan alim dalam apa yang disuruhkan dan dilarang. (Dr. Muhammad Jamiel Ghazi: 1979)
Secara aplikatif, seperti halnya peran watchdog, peran pengawasan terhadap penguasa (pemerintah) akan lebih komprehensif dan efektif jika ditopang satu bentuk jurnalisme investigasi yang kredibel. Sehingga pers Islam mampu bukan menjadi ‘sekedar tukang kritik’ namun menyajikan satu sajian mendalam baik fakta, analisa maupun nasehat sehingga prinsip tabligh dalam pers Islam dapat terpenuhi. Investigasi yang mendalam juga memungkinkan pers Islam untuk mengkritik dengan adil dan proporsional dengan data yang memadai. Menghindari diri menjadi attack dog atau lapdog.
Tulisan ini merupakan Program #MelekMedia dari Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
Sumber :Jurnal Islam