Rizal Ramli: Sistem Pilpres Banci Harus Diakhiri
10Berita – Sistem pemilhan presiden (pilpres) di Indonesia tidak bagus dan bertentangan dengan UUD 1945. Ekonom senior Dr Rizal Ramli menjelaskan bahwa UUD 1945 telah tegas menyebut semua warga negera berhak menjadi presiden.
“Saya ingin mengatakan sistem pemilihan presiden di Indonesia ini kurang bagus dan tidak benar, (karena) bertentangan dengan UUD,” ujarnya di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar, Jakarta Pusat, Kamis (5/7).
Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid kemudian bercerita tentang pertemuannya dengan mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew saat berkunjung terakhir kali ke Indonesia beberapa tahun lalu. Dalam pertemuan itu, dia berdebat soal sistem pemilihan presiden di Indonesia.
Kata Rizal, Lee Kuan Yew bersikeras mengatakan sistem pemilihan presiden di Indonesia menganut sistem parlementer. Sementara dirinya tidak sependapat dengan Lee Kuan Yew dan menyebut Indonesia menganut sistem presidential.
“Saya ngotot, saya bilang nggak Pak Lee, Indonesia itu presidential. Dia bilang nggak, karena kalau parlementer yang dipilih anggota DPR dulu baru pilih Perdana Menteri atau Presiden seperti kami. Indonesia kan pilih anggota DPR dulu kalian itu parlementer, nah saya baru sadar dari pertanyaan Pak Lee itu,” urainya.
Atas alasan itu, mantan Menko Maritim tersebut menilai sistem pemilihan presiden di Indonesia kurang bagus karena masih di garis abu-abu. Sebab, tidak benar-benar menginjak sistem parlementer maupun presidential. Rizal ingin sistem yang bertentangan dengan UUD 1945 itu diakhiri.
“Nah hari ini sistem kita banci, dibilang parlementer kagak dibilang presidential kagak ya. Saya ingin Mahkamah Konstitusi (MK) ubah sistem banci ini, yang bertentangan dengan UUD 45,” sambungnya.
Dia menyebut bahwa sistem yang dianut Indonesia saat ini juga melanggengkan money politik dan praktik politik dagang sapi, dimana orang yang tidak kompeten tetap didukung partai karena memiliki uang.
Ia kemudian mencontohkan proses pemilihan di Perancis. Saat itu, Emmanuel Macron yang merupakan tokoh baru membuat partai dengan berbekal anggota di Facebook yang berjumlah 200 ribu orang.
Namun, partai besutan Emmanuel Macron itu bisa ikut pemilu melawan partai dan tokoh besar. Partai tersebut bahkan tampil sebagai pemenang karena rakyat Perancis ingin perubahan di negaranya.
“Itu kan aspirasi rakyat kalau lihat ceritanya, rakyat memilih presiden dulu, habis itu memilih anggota DPR-nya menang mayoritas. Presiden tidak perlu dagang sapi dengan partai, tidak perlu bagi-bagi duit,” ujar capres rakyat itu.
“Tidak perlu juga bertukar menteri yang kagak becus diangkat jadi menteri hanya karna pertimbangan partai, itulah sistem presidential yang sesungguhnya,” tukas pria yang akrab disapa RR itu. ()
Sumber : rmol, Eramuslim.com