OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 17 Juli 2018

Sikap Kita Pada Pemimpin yang Menyia-nyiakan Amanah

Sikap Kita Pada Pemimpin yang Menyia-nyiakan Amanah


Ustadz Ahmad Simin Dani

(Dewan Dakwah Islamiah Indonesia – Bekasi)

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام علي رسوله الامين. امابعد

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu  berkata: ketika nabi sedang berbicara di suatu majlis besama para sahabat, tiba-tiba datang orang Baduwi dan bertanya, “Ya Muhammad kapan hari kiamat itu terjadi?”

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak bergeming dan tetap berbicara hingga masalah yang dibahasnya selesai. Lalu Nabi bertanya, “mana orang yang bertanya tentang hari qiamat tadi?” Lalu orang Baduwi yang bertanya itu menyahut, “ inilah aku wahai muhammad”. 

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallambersabda, “kiamat itu sudah dekat terjadinya apa bila anat kekuasaan itu telah disia-siakan.”

Si Baduwi bertanya lagi, “bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?”

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallammenjawab, “apa bila kekuasaan itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya.  Maka terjadilah Qiamat.” (HR.  al-Bukhari)

Lalu bagaimana sikap kita terhadap pemimpin yang tidak amanah/Dzalim?

Ikhwan, walau pun kita tidak mampu memberontak bukan berarti kita harus menjilat. Dan ajaran Islam itu tegas mengatakan yang baik kepada orang baik dan melebelkan buruk kepada orang yang memang benar-benar buruk. Sesuatu yang Haq dikatakan Haq dan yang batil kita harus dikatakan Batil.

Dalam sebuah hadits riwayat Al-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

أَلَا إِنِّي أُوشِكُ أَنْ أُدْعَى فَأُجِيبَ فَيَلِيَكُمْ عُمَّالٌ مِنْ بَعْدِي، يَقُولُونَ بِمَا يَعْلَمُونَ، وَيَعْمَلُونَ بِمَايَعْرِفُونَ، وَطَاعَةُ أُولَئِكَ طَاعَةٌ، فَيَلْبَثُونَ كَذَلِكَ دَهْرًا، ثُمَّ يَلِيَكُمْ عُمَّالٌ مِنْ بَعْدِهِمْ، يَقُولُونَ مَا لَا يَعْلَمُونَ، وَيَعْمَلُونَ مَا لَا يَعْرِفُونَ، فَمَنْ نَاصَحَهُمْ، وَوَازَرَهُمْ، وَشَدَّ عَلَى أَعْضَادِهِمْ فَأُولَئِكَ قَدْ هَلَكُوا، خَالِطُوهُمْ بِأَجْسَادِكُمْ، وَزَايِلُوهُمْ بِأَعْمَالِكُمْ، وَاشْهَدُوا عَلَى الْمُحْسِنِ بِأَنَّهُ مُحْسِنٌ، وَعَلَى الْمُسِيءِ بِأَنَّهُ مُسِيءٌ

 “Ingatlah, aku khawatir akan dipanggil lalu aku akan menghadap (ke Allah –penerj) kemudian sepeninggalku kalian dipimpin oleh orang-orang yang mengatakan apa yang mereka ketahui (berupa kebaikan –penerj) dan mengamalkan apa yang mereka ketahui. Maka, taat kepada mereka itulah ketaatan (yang sebenarnya). Itu akan berlangsung selama beberapa lama.

Selanjutnya kalian akan diperintah oleh orang-orang yang mengatakan apa yang tidak mereka ketahui dan mengamalkan apa yang tidak mereka ketahui. Siapa yang jadi penasehat mereka, atau jadi pembantu mereka serta menguatkan kedudukan mereka, maka mereka itulah yang akan binasa.

Pergaulilah mereka dengan jasad kalian tapi berpisahlah dengan mereka melalui amal kalian. Persaksikan bahwa orang yang baik itu baik dan orang yang buruk itu buruk.”

Takhrij Hadits

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath no. 6988 dan Al-Baihaqi dalam kitab Az-Zuhd Al-Kabir no. 191.

Al-Haitsami menyebut hadits Al-Thabarani ini dalam Al-Majma’ Az-Zawa`id (5/426) dan mengatakan, “Diriwayatkan oleh Al-Thabarani dalam Al-Awsath dari gurunya Muhammad bin Ali Al-Marwazi dan dia dhaif.”

Pernyataan Al-Haitsami ini perlu dikoreksi karena faktanya Muhammad bin Ali Al-Marwazi yang ada dalam sanad ini adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Huzmuzfarami Al-Marwazi, disebut oleh Syekh Nayif Al-Manshuri dalam kitab Irsyad Al-Qadhi (hal. 597) tentang nama-nama guru Al-Thabarani bahwa dia hafizh tsiqah. Beliau mengutip penilaian dari Al-Khathib Al-Baghdadi yang mengatakannya tsiqah, As-Sam’ani dalam kitab Al-Ansab yang mengatakannya hafizh mutqin, serta Al-Baihaqi yang mengatakannya hafizh mujawwad tsiqah.

Syekh Al-Albani memasukkan hadits ini ke dalam kitabnya As-Silsilah Ash-Shahihah nomor 457 dan mengatakan bahwa Hatim bin Yusuf (yang meriwayatkan hadits ini) dan di atasnya semua tsiqah.

Sanad Al-Baihaqi dan al-Thabarani bermuara pada Hatim bin Yusuf (dalam sanad Al-Baihaqi tertulis Hatim bin Musa), Aku mendengar Abdul Mukmin bin Khalid berkata, Aku mendengar Abdullah bin Buraidah menceritakan dari Yahya bin Ya’mar, dari Abu Sa’id Al-Khudri……

Hatim bin Yusuf bin Khalid bin Nushair bin Dinar Al-Jallab disebut oleh Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (5/199, no. 1000) merupakan murid Ibnu Al-Mubarak yang banyak meriwayatkan darinya, shahihul kitab (kitabnya shahih). Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahdzib (1/123, no. 1105) memberinya predikat tsiqah.

Abdul Mukmin bin Khalid, hakim di Marw disebut oleh Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (18/442-443) menukil dari Abu Hatim yang mengatakan, “Tak ada masalah dengannya” dan Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam kitab Al-Tsiqaat (orang-orang terpercaya). Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Taqrib memberinya predikat, “laa ba`sa bih” (tidak ada masalah dengannya) sama dengan yang diberikan Abu Hatim. Jadi haditsnya hasan.

Abdullah bin Buraidah bin Al-Hushaib adalah perawi yang biasa dipakai oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam shahihain dan dia tsiqah, lihat Tahdzb Al-Kamal jilid 14 hal. 328 dan Al-taqrib 1/321.

Yahya bin Ya’mar adalah tabi’in yang tsiqah memang biasa meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri. Lihat Tahdzib Al-Kamal jilid 32 hal. 53.

Dengan demikian status hadits ini adalah hasan lidzaatih lantara ada Abdul Mukmin bin Khalid.

Penjelasan Ringkas    

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengingatkan akan adanya pemimpin yang melakukan apa yang mereka kenal, artinya mereka mengenali kebaikannya.

Pemimpin seperti inilah yang harus ditaati dengan ketaatan yang sebenarnya, bukan terpaksa.

Lalu akan ada pemimpin yang tidak tahu kebenaran atau mereka mengamalkan sesuatu yang mereka tidak tahu baik buruknya. Dengan kata lain mereka tak lagi berpegang pada sunnah Nabi. Pemimpin seperti ini dipergauli dengan jasad kita yang tetap ada bersama mereka, tapi perbuatan kita berpisah dari mereka. Artinya, kita tidak mau mengikuti apa yang mereka lakukan. Salah satu bentuk pemisahan itu adalah tidak mau patuh pada perintah maksiat, sebagaimana hadits riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan dianggap hasan lighairih oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Al-Shahihah, no. 590, dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

سيليكم أمراء بعدي يعرفونكم ما تنكرون وينكرون عليكم ما تعرفون، فمن أدرك ذلك منكم، فلا طاعة لمن عصى الله

Akan ada masanya kalian dipimpin oleh para pemimpin setelahku, dimana mereka menganggap baik apa yang kalian anggap mungkar dan mengingkari apa yang kalian anggap baik. Siapa saja dari kalian yang mendapati itu maka tidak ada ketaatan kepada orang yang bermaksiat kepada Allah.

Lalu pesan di kalimat terakhirnya adalah memberi kesaksian bahwa yang baik itu baik dan yang buruk itu buruk. Dengan kata lain bila menjumpai pemimpin seperti ini maka yang baiknya harus dikatakan baik dan yang buruknya harus dikatakan buruk.

Begitulah selaras dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit dimana salah satu isi bai’at mereka kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah,

وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا، لَا نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ

Agar kami mengatakan yang benar dimanapun kami berada dan tidak takut dengan celaan pencela.” (Al-Bukhari, no. 7199 dan Muslim, no. 1709).

Perintah mengatakan orang baik itu baik, dan orang buruk itu buruk menunjukkan tak boleh ada penyembunyian kebenaran ketika kita menilai pemimpin. Yang baik harus dikatakan baik, yang buruk harus dikatakan buruk, dan itu bukanlah bentuk pemberontakan, melainkan menjelaskan kebenaran dan amar makruf nahi munkar. Tentunya penjelasan itu harus elegant, bukan memaki yang tidak pada tempatnya, serta benar-benar menginginkan kebaikan atas dasar syariat Islam dan maslahat kaum muslimin sesuai batasan syariat. Wallahu a’lam. [PurWD/]

Sumber :voa-islam.com