Catatan Syahganda Nainggolan: Andi Arief, Yudhoyono, dan Keteladanan Sandi Uno
10Berita – Andi Arif berhari hari menyerang Sandiaga Uno dengan menuduh melakukan “money politics” untuk meraih kursi cawapres pasangan Prabowo.
Sebagaimana yang dia twitt, Sandi telah membayar Rp500 milyar kepada PKS dan PAN. Sehingga, Prabowo yang semula, menurutnya, meminang Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), batal, dan beralih ke Sandi.
Serangan ke Sandi ini dilakukan setelah sebelumnya Andi menyerang Prabowo sebagai jenderal kardus, sebuah istilah buruk, yang menstigma Prabowo seperti sampah.
Apa pokok persoalan sebenarnya? Apakah soal uang? Apakah soal jalan AHY 2024 yang terganggu? Apakah soal lainnya?
Soal ini, sebelumnya, sebenarnya kurang menarik perhatian saya. Namun, karena Sri Bintang Pamungkas mulai menjapri saya termakan tuduhan Andi Arief tersebut, saya mulai terganggu.
Sri Bintang adalah orang terjujur yang pernah saya tahu, sehingga saya tidak ingin dia menjadi salah sangka terhadap Sandi. Beberapa hal berikut ini perlu kita cermati.
Pertama, ambisi AHY.
Ambisi AHY untuk tampil dalam permainan kekuasaan yang jelas terlihat dalam setahun terkahir ini. Awal tahun lalu AHY keluar dari militer untuk merintis karir politiknya, maju sebagai Cagub DKI berpasangan dengan Silviyana.
Orang mempertanyakan AHY yang hanya berpangkat mayor dan meninggalkan karir militernya yang masih panjang. Biasanya pertarungan Gubernur DKI dilakukan oleh jenderal sedikitnya bintang dua.
Selain itu, bukankah SBY sudah menyiapkan Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono), putra lainnya, sebagai kader partai demokrat (PD) untuk menjadi pimpinan nasional dijalur politik?
Spekulasi atas pertanyaan di atas berpraduga pada tiga hal berikut; rumor mengatakan bahwa AHY mulai mengalami ganggua karir militer dari rezim Jokowi, yang tidak menginginkan dinasti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkembang. Khususnya, adanya Megawati, yang masih dendam terhadap SBY.
Rumor AHY mempunyai cacat fisik sehingga karir militernya memang susah berkembang pada jalur komando. Sehingga lebih baik mengembangkan potensi pemikirannya yang memang cerdas. Rumor, adanya ambisi SBY agar anaknya AHY dapat meniti karir politik, setelah Ibas mengalami penurunan popularitas karena sering dikaitkan dengan kasus korupsi Nazaruddin.
Tidak ada jawaban pasti kenapa AHY meninggalkan karir militernya. Namun, masuknya dia dalam pertarungan politik DKI, telah mengantarkannya pada sosok elit politik nasional. Hal ini karena peeolehan suara dia cukup besar, 17 persen dan DKI adalah barometer nasional.
Sebagai petarung yang kalah, meski menjadi populer, tentu langkah seharusnya bagi AHY adalah memantapkan diri sebagai tokoh rakyat. Prabowo dan Wiranto, misalnya, dalam konteks paska kekalahan mereka pada politik elektoral, langsung melakukan “jalan sipil”, masuk dalam ormas ormas kebangsaan dan olahraga.
Wiranto tercatat mendirikan lembaga think-tank bermarkas di dekat bundaran HI, sedangkan Prabowo memimpin organisasi tani HKTI dan persilatan IPSI.
Wiranto dan Prabowo, meski menyandang status eks jenderal, bertahun tahun berinteraksi dengan rakyat dan aktifis.
Transisi politik dari militer ke sipil dalam suasana demokrasi adalah sesuatu hal fundamen. Jika tidak, maka watak militer yang anti dialog, akan dominan dalam tubuh eks militer yang berpolitik. Anti dialog adalah anti demokrasi.
Berbeda dengan Prabowo dan Wiranto, AHY kembali digadang gadang untuk jadi capres/cawapres PD pada tahun 2019 ini. SBY mendongkrak status AHY di partai dengan memberikan posisi strategis ala militer Komandan Satuan Tugas Bersam (Kosgama).
Gelar komandan merupakan kosa kata anti sipil dan menempatkan AHY di atas seluruh struktural pengurus partai, kecuali SBY. Itu terlihat dari beberapa kesempatan di mana AHY mewakili partainya bertemu Jokowi dan elit-elit politik nasional.
Pengalaman di partai yang sangat minim dan juga pengalaman politik sipil serta keormasan yang kurang, membuat AHY terkesan dipaksakan untuk masuk dalam pertarungan pilpres 2019.
Namun, disinilah kita melihat ambisi AHY maupun SBY untuk menguasai kembali pentas politik nasional. Padahal, kepemimpinan yang baik adalah yang sejalan dengan kewajaran. Memompakan AHY untuk menjadi tokoh bangsa, sangatlah prematur. Sebab, pepatah mengatakan, guru yang baik adalah pengalaman.
Kedua, Ambisi Prabowo Subianto.
Prabowo Subianto adalah manusia ambisius. Dia mengejar apa yang dia inginkan, dan terus mengejarnya. Ambisi Prabowo untuk menjadi presiden sudah dirintisnya sejak ikut konvensi capres Golkar 2004, berpasangan dengan Megawati sebagai Cawapres pada tahun 2009 dan menjadi capres pada 2014 berpasangan dengan Hatta Rajasa.
Ambisi demi ambisi dijalankan Prabowo dengan memebelanjakan kekayaannya untuk membangun partai politik dan ormas Himpunan Kerukunan Tani Indonesia(HKTI), Koperasi Pasar, dan lain-lain. Dia menempuh kehidupan non militer dengan membangun kekuatan rakyat.
Apakah salah ambisi ini?
Dalam teori teori kepemimpinan, ambisi adalah syarat penting untuk mencapai cita cita. Namun, dibalik itu semua, ambisi itu berupa kebaikan jika ada misi kebaikan didalamnya.
Ambisi Prabowo untuk berkuasa tertuang dalam pikiran2nya baik dalam buku “Membangun Indonesia Raya”, “Pradoks Indonesia”, maupun pidato2nya yang dapat diakses di youtube. Intinya, Prabowo berkeinginan membangun Indonesia yang berkeadilan, berdaulat dan mandiri.
Dalam pertemuan saya dengan Andi Arief dan Ferry Juliantono, 23 Juli, sebelum esok harinya Prabowo mengunjungi SBY, ambisi Prabowo ini sudah terbahas. Sebagai “orang kopassus”, pasti watak Prabowo pantang menyerah.
Apakah Prabowo “jenderal kardus”? Hanya karena AHY tidak dipilihya sebagai cawapres?
Pemilihan cawapres bagi Prabowo adalah penting namun bersifat sekunder, setelah ambisinya yang bersifat primer. Berbagai gangguan atas keinginan Prabowo menjadi capres diketahui publik dengan adanya godaan dari pihak kekuasaan untuk menjadikannya hanya cawapres Jokowi, atau dari pihak lainnya untuk sebagai “king maker” atau bahkan adanya pengkhianatan dalam rencana pencapresan itu.
Setelah Prabowo yakin dengan modal kurang dari presidential threshold (PT) 20 persen, akan mendapatkan tiket dengan dukungan koalisi, maka urusan cawapres menjadi lebih ringan.
Lebih ringan artinya cawapres yang muncul haruslah merupakan titik keseimbangan kepentingan partai partai koalisi, baik ukuran soliditas, visi misi, maupun logistik.
Di sisi inilah AHY masuk dalam pusaran pertarungan, PKS memaksakan calonnya, Salim Segaf, PAN memaksakan Zulkifli Hasan atau Ustad Somad, sedangkan PD mendorong AHY.
Karena sifat pertarungan ini saling nenihilkan, maka PKS dan PAN mencari representatisi mereka pada Anies Baswedan. Namun, karena Anies masih ingin tetap Gubernur dan hanya berminat Capres, muncul nama Sandi sebagai alternatif.
Prabowo lebih memilih didukung dua partai sekutu lamanya, selama oposisi, daripada memilih AHY. lalu, dimanakah salah Prabowo?
Ketiga, Ambisi Sandiaga Uno.
Dalam dunia bisnis, jejak digital membahas karir Sandi menjadi pengusaha sukses, khususnya diukur dengan kekayaan yang dimasukkan dalam daftar Forbes. Namun, dalam politik, Sandi memperlihatkan berbagai sifat mengalah.
Beberapa hal ini, Sandi mengalah dengan Anies Baswedan untuk sebagai cawagub DKI. Padahal Sandi sudah diunggulkan Gerindra sebagai Cagub. Bahkan, rumor mengatakan bahwa pembiayaan kampanye Anies-Sandi mayoritas dibiayai Sandi.
Selanjutnya, Sandi tidak menunjukkan ambisi untuk menjadi cawapres Prabowo. Batas terkahir pengajuan cuti untuk cawapres adalah tanggal 27 juli 2018. Dengan tidak mengajukan cuti, maka calon cawapres dari kepala daerah, akan kehilangan jabatannya selama lamanya.
Sandi melepaskan jabatan wakil Gubernur ibukota, sebuah jabatan yang susah diraih, demi permintaan PKS dan PAN untuk menjaga keutuhan “koalisi sakral” Gerindra-PKS dan PAN. Dilihat dari pengorbanan Sandi, tentu tudingan bahwa Sandi membeli PKS dan PAN sangat tendensius.
Bahwa uang dibutuhkan dalam politik liberal ala Indonesia ini, sudah diteliti banyak pihak. Doktor Pramono Anung, misalnya, meraih doktor dengan riset biaya politik caleg yang sangat mahal saat ini.
Jika orang partai politik membangun opini “money politics” dalam “power game”, sesungguhnya seperti “meludah muka sendiri”.
Penutup.
Kepada Sri Bintang Pamungkas saya jelaskan bahwa Sandi adalah korban ambisi Yudhoyono dan Prabowo. Ambisi yang pertama kurang dapat dipertanggung jawabkan. Sedangkan ambisi Prabowo, baik buat bangsa. Dalam menyelamatkan ambisi Prabowo yang baik inilah Sandi berkorban. Kehilangan kursi empuknya di DKI. Sandi tidak membeli kekuasaan.
Meski akan berkorban uang. Kehilangan uang karena nantinya pasti diminta bantu biaya kampanye. Namun, disitulah sosok pemimpin terperlihatkan. Sebuah keteladanan untuk berkorban. [***]
Penulis; Syahganda Nainggolan, Direktur Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle (SMC)
Sumber :Eramuslim