OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 08 Agustus 2018

“Diam” Sumber Keselamatan

“Diam” Sumber Keselamatan



Jaga lisan agar tak banyak bicara

10Berita, IMAM Syafi’i dalam kitab “Dîwân al-Imâm al-Syâfi’i” (1431: 63) pernah menyenandungkan sya’ir yang berjudul “As-Sukûtu Salamatun” (Diam adalah keselamatan). Kandungan dari bait-bait berikut ini sangat menarik untuk dijadikan refleksi di tengah era digital yang penuh dengan fitnah dan hasutan.

Beliau melantunkan:

قَالُوْا : سَكَتَّ وَقَدْ خُوْصِمْتَ قُلْتُ لَهُمْ                           إِنَّ الْجَوَابَ لِبَابِ الشَّرِّ مِفْتَاحُ

وَالصَّمْتُ عَنْ جَاهِلٍ أَوْ أَحْمَقٍ شَرَفٌ                          وَفِيْهِ أَيْضًا لِصَوْنِ الْعِرْضِ إِصْلاَحُ

أَمَا تَرَى الْأَسَدَ تُخْشَى وَهْيَ صَامِتَةٌ؟                          وِالْكَلْبُ يُخْسَى، لَعًمْريْ، وَهْوَ نَبَّاحُ

Mereka berkata, “Kamu diam saja padahal dimusuhi,” lantas aku menjawab,


            “Sungguh, malah membuka pintu kejahatan jika aku turut menjawab

Bersikap diam terhadap orang bodoh atau pandir adalah kemuliaan


             Dsamping itu juga bisa menjaga dan memperbaiki kehormatan

Tidakkah engkau melihat singa ditakuti padahal dia diam (tak banyak omong)?


             Sedangkan anjing dihinakan, karena dia menggonggong.”

Dari bait sya`ir yang indah ini, bisa diambil pelajaran. Pertama, tidak usah meladeni permusuhan seseorang jahil dengan jawaban yang malah akan menimbulkan keburukan yang lebih besar. Kedua, diam atau tidak meladeni orang yang bodoh adalah kemuliaan. Ketiga, tidak merespon orang pandir juga bisa menjaga kehormatan diri. Maka, dalam situasi demikian, sebaik-baik sikap adalah diam.

Bukankah ada ayat al-Qur`an yang menyarankan wa a’ridh ‘anil jâhilîn [dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil] (QS. Al-A’raf [7]: 199). Dengan tidak meladeni mereka, maka marwah dan kehormatan diri akan terjaga. Demikian juga Maryam pasca kelahiran Isa AS dan kembali ke kediamannya. Banyak yang menuduhnya macam-macam, tapi dia diajari oleh Allah agar diam saja (QS. Maryam [19]: 26).

Pada bait sya’ir ketiga, Imam Syafi’i rahimahullah menyampaikan analogi menarik mengenai begitu berartinya sikap diam. Diam –dalam kondisi demikian- diibaratkan seperti diamnya singa. Singa diam justru ditakuti. Sedangkan anjing yang menggonggong, justru dihinakan, direndahkan, bahkan diusir dilempar pakai batu. Maka tidak heran jika ada ungkapan: “Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.” Tidak perlu meladeni omongan orang yang jahil.

Dalam hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bahkan, diam merupakan indikator kuat keimanan seseorang kepada Allah dan Hari Akhir:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berkatalah yang baik atau diamlah.” (HR. Bukhari, Muslim).

Namun, yang menjadi catatan penting dalam hadits ini, yang diusahakan terlebih dahulu adalah mengatakan sesuatu yang baik. Jika sudah tidak mampu, maka diam adalah lebih baik.

Dalam dunia maya misalnya, jika seorang muslim tidak bisa menulis, membagikan, dan menyebarkan sesuatu yang baik, maka diam adalah solusi terbaik. Tidak ikut menulis status negatif, nyinyir, menyebar fitnah, membagikan propaganda liar, dan lain sebagainya sehingga gerak-geriknya sebagai muslim menciptakan suasana aman dan tentram bagi lingkungannya. Pada kondisi inilah diam bisa membuat tentram.*/ Mahmud Budi Setiawan | Abu Kafillah

Sumber :Hidayatullah.com