OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 10 September 2018

PENGANCAMAN DAN INTIMIDASI SERIUS (SERIOUS THREATS AND INTIMIDATION) TERHADAP DAKWAH ISLAM

PENGANCAMAN DAN INTIMIDASI SERIUS (SERIOUS THREATS AND INTIMIDATION) TERHADAP DAKWAH ISLAM



DR. H. ABDUL CHAIR RAMADHAN, S.H., M.H.
Ahli Hukum Pidana – Ketua Umum HRS Center

10Berita - Ustaz Abdul Somad (UAS) sebagaimana diberitakan di banyak media dilarang berceramah soal politik dan anehnya pelarangan tersebut justru dikeluarkan oleh Kepolisian Resor Tanggerang Selatan. Pihak Kepolisian setempat memberi catatan agar ceramahnya tidak mengandung “unsur politik praktis” dan hanya “berfokus pada agama” (TribunJakarta.com, Minggu 9 September 2018). Sebelumnya, dikabarkan UAS juga memutuskan untuk membatalkan beberapa janji di berbagai daerah Pulau Jawa, disebabkan adanya ancaman, intimidasi, pembatalan dan lain-lain. 

Sepakat dengan pernyataan UAS, bahwa umat sudah cerdas mampu menilai mana yang “benar” mana yang “salah”, mana yang “baik” mana yang “buruk” dan mana yang “pantas/patut” mana yang “tidak pantas/patut”. Dengan demikian, perihal pelarangan secara subjektif itu patut dipertanyakan kontekstualitasnya dalam hal “kepantasan” dan sekaligus “dapat dipertanggungjawabkannya”. 

Apa yang dialami oleh UAS sejatinya sama dengan yang dialami oleh Ulama yang lain, seperti yang dialami oleh Kiayi Tengku Zulkarnain (MUI) oleh sekelompok orang di Bandara Susilo Sintang, Kalimatan Barat tahun lalu, dengan menghunuskan mandau (golok), dan menyerbu saat yang bersangkutan muncul di depan pintu, dan bahkan golok itu telah sampai di depan kakinya. (Tempo.co, Jumat, 13 Januari 2017). Diketahui, bahwa kedatangan Kiayi Tengku ke Kabupaten tersebut justru untuk memenuhi undangan Bupati Sintang dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Jadi antara keduanya, sama-sama dalam kepentingan dakwah sesaui tuntutan agama dan berdasarkan undangan pihak yang mengundang. Tentu menjadi pertanyaan serius dengan kekuatan dasar hukum apa pihak Kepolisian Resor Tanggerang Selatan melarang berceramah soal politik, apakah memang ada larangan dalam hukum positif kita? Jika tidak ada, maka pihak yang melarang telah melakukan “ultra vires”  suatu tindakan di luar batas kewenangannya dan bahkan “abuse of power” yakni tindakan penyalahgunaan wewenang. 

Dapat dikatakan bahwa keduanya telah mengalami pengancaman dan intimidasi yang serius. Hukum pidana Indonesia, merumuskan “intimidasi” pada umumnya dimaksudkan sebagai  “ancaman dengan kekerasan”. Pelaku ancaman kekerasan terhadap UAS maupun Kiayi Tengku, dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana Pasal 175 KUHP dalam hal kekerasan atau dengan ancaman kekerasan merintangi seseorang dalam pertemuan umum dan kegiatan agama. 

Khusus perlakuan terhadap  Kiayi Tengku sejatinya sudah mengarah kepada tindak pidana percobaan (poging) pembunuhan berencana (Pasal 53 jo 340 KUHPidana) atau setidak-tidaknya percobaan penganiayaan (Pasal 53 jo 351 KUHPidana). 

Adapun yang dialami oleh UAS, apabila intimidasi – berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi - dilakukan melalui sistem informasi atau dokumen elektronik, maka kepada pelaku dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 29 ayat (4) jo Pasal 45B  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016  Tentang  Perubahan Atas Undang-Undang  Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dengan ancaman  pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). 

Baik pelaku intimidasi kepada UAS dan Kiayi Tengku, juga dapat dikenakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  40  Tahun  2008  Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis (UU PDRE). UAS dan Kiayi Tengku telah mengalami suatu tindakan diskriminasi Ras dan Etnis, dengan adanya perbuatan menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan Ras dan Etnis sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU PDRE, mengingat keduanya  dengan tempat tujuannya berbeda Ras dan Etnis. 

Kita ketahui, bahwa asas dan tujuan penghapusan diskriminasi Ras dan Etnis dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal diselenggarakan dengan tetap memerhatikan nilai-nilai agama, sosial, budaya, dan hukum yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karenanya, ketika ada tindakan diskriminasi Ras dan Etnis, berupa perbuatan yang menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan Ras dan Etnis dengan memperlakukan pembedaan, pengecualian, atau pembatasan yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil atau politik, maka itu adalah perbuatan yang melawan hukum. Pelaku pelarangan melalui intimidasi dan pengancaman dengan kekerasan telah melakukan pembedaan, pengecualian, atau pembatasan terhadap ‘hak-hak sipil” dan “hak-hak politik”. Diantara  “hak-hak sipil” yang dilanggar adalah kebebasan berpergian dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, berpikir, berperasaan, berekspresi dan mengeluarkan pendapat dengan bebas serta berkumpul dan berserikat dengan bebas dan damai.  Diantara  “hak-hak politik” yang dilanggar adalah ketiadaan mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari negara terhadap kekerasan Ras dan Etnis khususnya “kekerasan psikis” baik disebabkan oleh aparatur pemerintah atau oleh perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi tertentu. 

Apa yang dialami oleh UAS maupun Kiayi Tengku bukanlah tindak pidana terhadap yang ditujukan pada kepentingan individu/pribadi (individuale belangen) sebagai kepentingan hukum (rechtebelang) yang harus dilindungi. Sejatinya, perbuatan tersebut sudah mengarah kepada kepentingan hukum masyarakat (sosiale belangen).

Menurut penulis, bagi pelaku pada keduanya, terdapat pula perbuatan yang mengarah kepada “delik agama” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 156 KUHP. Dikatakan demikian, oleh karena, adanya unsur “permusuhan”, “kebencian” atau “penghinaan” yang ditujukan kepada penduduk yang salah satu pembedaannya berdasarkan “agama”. Pasal 156 KUHP ditempatkan dalam ruang lingkup Bab V tentang “Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum”. Aturan-aturan dalam bab ini juga dikenal dengan “haatzai artikelen” atau pasal-pasal “penyebar kebencian”. Ketika ditempatkan dalam Bab “Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum”, maka pada dasarnya pelarangan atas perbuatan tersebut karena sangat berpotensi menggangu Ketertiban Umum. 

Sudah sepatutnya, pihak Kepolisian setempat segera mengambil langkah-langkah justitia secara pro aktif yang menjamin keselamatan atas diri UAS dalam kepentingannya memenuhi undangan dalam rangka dakwah agama dan menindak para pelaku pelarangan yang disertai ancaman kekerasan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.  Semoga, kejadian tersebut tidak terulang lagi dimasa yang akan datang. 

Jakarta, 9 September 2018

Sumber :Jurnal Islam