Efek Elektoral Atas Batalnya Kenaikan Harga Premium
Denny JA
10Berita, Oleh: Denny JA, Konsultan Politik/Pendiri LSI
Tahun politik acapkali menjadi topik yang hangat bagi mereka yang mendalami prilaku pemilih dalam hubungannya dengan kebijakan ekonomi. Itu istilah untuk periode setahun sebelum datang hari pemilihan umum. Ialah hari penghakiman, “the Judgement Day,” hari yang menentukan siapa yang akhirnya terpilih berkuasa.
Di tahun politik, hal biasa jika terjadi perbedaan persepsi antara pengusaha besar, ahli ekonomi dan rakyat awam yang mayoritas.
Mengapa harga BBM premium naik, lalu dalam hitungan menit dibatalkan kembali? Baik atau burukkah hal ini? Kebijakan ekonomi dalam tahun politik dapat menjelaskannya.
Ada fenomena yang tetap. Di negara demokrasi yang pemerintahannya bertarung untuk kembali terpilih (seeking reelection) di tahun politik, pemerintahnya cenderung memilih kebijakan ekonomi tertentu. Yaitu kebijakan yang lebih populis, yang lebih banyak menekankan kesejahteraan rakyat banyak (welfare program).
Di tahun politik, biasa ditemukan lebih banyak program subsidi, lebih banyak program insentif menggalakan lapangan kerja. Ini program yang disenangi rakyat kebanyakan yang akan datang ke TPS di hari pemilihan.
Di tahun politik, hal biasa pula jika pemerintah menghindari pengurangan subsidi dan kenaikan harga.
Di Amerika Serikat sebagai misal, terkenal istilah yang disebut “welfare as we knew it.” Para ekonom yang rasional dan politisi yang cerdas sama tahu bertapa kebijakan welfare program itu sudah memberatkan ekonomi Amerika Serikat.
Tapi mereka juga tahu, betapa banyak pemilih yang diuntungkan oleh program itu. Para manula diuntungkan dengan jaminan kesehatan yang ekstra. Para pencari kerja diuntungkan oleh aneka program pelatihan dan insentif. Mereka yang berada dalam garis kemiskinan senang dengan ada program subsidi makanan.
Di tahun politik, politisi menghindari menyentuh atau mengurangi dana yang sudah mengalir di welfare program. Ini dikerjakan dengan sadar walau mereka tahu semata dari pandangan ekonomi rasional, pilihan kebijakan ekonomi mereka kadang “little bit too much.”
Selesai pemilihan, politisi umumnya melakukan sejenis “penebusan dosa.” Apa yang wajib mereka lakukan dari kaca mata ekonomi, mereka akan lakukan di periode awal setelah terpilih kembali.
Bagi umumnya pengusaha besar, tahun politik bukan tahun yang mereka sukai. Situasi politik tak pasti. Siapa menang siapa kalah dapat mengubah haluan bisnis dan investasi. Umumnya mereka wait and see. Tak jarang akibatnya, pertumbuhan bisnis melambat.
Apalagi di negara yang transparansi dana kampanye masih gelap. Acapkali pengusaha besar itu berperan sebagai donatur utama, suka ataupun tidak.
Tak jarang karena ingin menjaga hubungan dengan para politisi yang betarung, pengusaha besar itu harus keluar dana ekstra karena ikut membiayai dua kubu yang bertarung.
Sementara bagi para ahli ekonomi yang murni, apalagi yang berhaluan pasar bebas, tahun politik dianggap tahun yang gelap. Politisi lebih digerakkan oleh motivasi dukungan politik ketimbang menciptakan ekonomi yang sehat jangka panjang.
Perbedaan kepentingan, persepsi antara banyak stake holders, membuat tahun politik selalu seksi sebagai kajian.
Rabu 10 Oktober 2018 kemarin, berita ini menguasai media. Pemerintah menaikkan harga BBM. Namun dalam hitungan menit, Kenaikan harga BBM premium ditunda.
Ini yang ditulis dalam salah satu berita: Jika terealisasi, maka harga jual premium di wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali) naik menjadi Rp 7.000 per liter dari sebelumnya dari Rp 6.450 per liter.
Sedangkan, untuk harga jual Premium di luar Jamali naik menjadi Rp 6.900 per liter dari sebelumnya Rp 6.400 per liter. "Kenaikannya mulai malam (Rabu/10/10) ini paling cepat pukul 18.00 WIB," ujar Jonan.
Berselang sejam kemudian, Presiden Joko Widodo malah meminta kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium ditunda.
"Saya sudah lapor bapak presiden, bahwa PT Pertamina (Persero) tidak siap atas kenaikan harga BBM hari ini. Jadi Presiden memberi arahan agar ditunda kenaikan harga BBM.
(Dikutip lengkap dari sumber berita).
Serentak media sosial penuh dengan komentar. Situation Room yang dimiliki LSI Denny JA mencatat data itu. Hari itu 10 oktober 2018, sampai jam 15.00 telah terjadi sekitar 33 ribu percakapan di sekitar 11 ribu akun.
Respon negatif dalam percakapan itu di atas 50 persen untuk dua isu: pertama tak senang Harga BBM naik. Kedua soal kritik atas manajemen pengambilan keputusan: mengumumkan kenaikan harga lalu dalam hitungan menit kenaikan harga BBM premium dibatalkan.
Salah atau benarkah Jokowi membatalkan kenaikan harga BBM premium? Apa jadinya jika kenaikan harga BBM Premium tidak dibatalkan?
Setelah harga BBM premium diumumkan naik, tersisa dua pilihan. Pertama, biarkan harga BBM premium itu naik. Kedua, batalkan kenaikan harga BBM premium itu secepatnya. Yang mana yang lebih baik?
Tentu akan ditanya balik: lebih baik bagi siapa? Mereka yang berada dalam posisi yang berbeda dapat berbeda pula dalam opini.
Tapi jelas bagi rakyat kecil, the common people, mereka yang penghasilan sebulan di bawah 4 juta, yang masih mayoritas di negeri ini, akan menanggung beban hidup yang lebih berat jika BBM premium naik.
Naiknya BBM premium segera menaikkan biaya transportasi. Naiknya biaya transportasi segera pula menaikkan harga kebutuhan pokok lainnya.
Bisa pula diduga, akan ada demo di sana dan di sini menentang kenaikan harga BBM premium. Di tahun politik, apapun segera digoreng bulak balik. Politik semakin gunjang ganjing.
Dari kaca mata rakyat kebanyakan, sudah benar Jokowi secepatnya membatalkan kenaikan BBM Premium. Tentu saia ada pro dan kontra. Namun itu bisa sangat dipertanggung jawabkan jika Jokowi memihak nasib rakyat kebanyakan.
Tentu saja kita menyalahkan koordinasi dan konsistensi kebijakan. Jika harga BBM premium tak perlu naik, mengapa sejam sebelumnya diumumkan naik? Buruknya koordinasi itu tak bisa dan tak perlu dibela. Itu harus dikritik untuk sebuah kemajuan.
Namun setelah kebijakan harga BBM premium dinaikkan, setelah itu diumumkan, membatalkannya kembali, dalam “tempo yang sesingkat singkatnya dengan cara yang seksama,” itu pilihan terbaik.
Pilihan Jokowi memihak pada kepentingan the common people, sesuai pula dengan temuan survei. Sejak 2003 LSI membuat survei soal karakter tokoh, terutama calon presiden: pintar, tegas, jujur, dekat dengan rakyat.
Dari semua tokoh yang pernah disurvei, Jokowi mendapatkan skor tertinggi untuk karakter “dekat dengan rakyat.” Lebih dari 80 persen pemilih menyatakan itu. Skor ini tak pernah dicapai tokoh lain sejak 2003. Pilihan Jokowi tak menaikkan harga BBM premium di tahun ini, ketika daya beli masih lemah, sesuai dengan citra itu.
Bagaimanakah persepsi publik atas ekonomi indonesia setahun ke depan? Para pengusaha dan ekonom, yang well informed soal ekonomi, sangat mungkin pesimis dengan situasi.
Namun mayoritas publik, the common people, yang penghasilannya di bawah 4 juta, yang pendidikan tertingginya hanya SMU, mempunyai persepsi yang berbeda. The common people ini tidak well informed dengan data. Tapi jumlah mereka, pemilih yang pendidikan tertingginya hanya SMU (Sekolah Menengah Umum/Atas) itu lebih dari 80 persen.
Tak heran dalam survei nasional LSI Denny JA, September 2018, sebanyak 66 persen populasi nyaman saja plus berpikir setahun ke depan Indonesia akan lebih baik. Para ekonom atau pengusaha mungkin kaget dengan data itu. Bukankah ekonomi sedang susah?
Di situlah kompleksnya alam persepsi. Data dan fakta hanya salah satu variabel yang membentuk persepsi. Di luar data dan realita masa kini, persepsi juga dibentuk oleh harapan, kesukaan atas tokoh yang berkuasa.
Mereka punya harapan. Mereka suka dengan yang berkuasa. Situasi ini yang membangun persepsi mereka. Tak hanya realita hari ini yang mempengaruhi mereka.
Dan inilah pointnya: POLITIK adalah PERSEPSI! Persepsi mayoritas publik hari ini masih memihak ke Jokowi.
Sumber :