OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 28 Oktober 2018

Sandiaga, Dhuha, dan Puasa Senin-Kamis

Sandiaga, Dhuha, dan Puasa Senin-Kamis


10Berita, Kota Kasablanka (Kokas) Mall, Jakarta, Sabtu 20 Oktober 2018 di pengujung sore. Saya dirujuk Panitia Acara ke Lantai 3. Ya, di situ ada Conference on Indonesia Foreign Policy, dikomandani DR Dino Patti Djalal, mantan Dubes Indonesia di AS juga eks Jubir dan Stafsus Luar Negeri era Presiden SBY.

Di atas panggung lebar dan luas, sedang ada quiz soal harga dan isu politik internasional yang pesertanya dibagi golongan-golongan Diplomat, Selebriti, Mahasiswa, dan Profesional.

Saya melangkah ke depan, sisi kiri panggung. Saya lihat duduk di kursi depan lajur kanan Hall, Coach Faransyah Jaya, bosnya OK OCE, juga ada Ivan Pulungan dari TGUPP Gubernur DKI Jakarta.

Tepat pukul 18.00 saya mulai gelisah, waktu magrib sudah masuk. Pilihannya, keluar dari hall berkapasitas 1000 orang ini atau bertahan di dalam. Jika situasi tidak berubah saya memilih keluar. Waktu menunjukkan 18.15 WIB. Tampak dari kejauhan Sandiaga Uno berbisik ke panitia lalu melangkah meninggalkan kursinya yang persis di tengah, berdampingan dengan Dino Djalal dan Ny Rosa Dino.

Sandiaga berjalan lurus ke depan, tanpa pengawalan, tanpa barisan asisten. Di ujung Hall, Gunawan Setiyoko, sopir pribadi yang kabarnya sudah lebih 18 tahun bekerja untuk Sandiaga, menunggu di ujung pintu samping, dan mengarahkan Sandiaga menuju semacam holding room, yang terdapat ruang privat yang di dalamnya ada kamar mandi, toilet dan sofa lebar yang bisa digunakan istirahat atau mengaso.

Saya mengikuti Faran dan Ivan, berjalan di belakang Sandiaga. Mereka berbisik, Bang Sandi mau ambil wudhu dan salat magrib. Semula kami menduga Sandiaga bareng dengan kami akan salat ke lantai bawah, ke musala. Ternyata Sandi memilih salat di ruang privat tadi.

Sekira tujuh menit Sandiaga menyelesaikan salat dan keluar dari ruang private. Kami bertiga bertegur sapa dengan Sandiaga, yang kendati sedari pagi sudah dijejali jadwal kunjungan sosialisasi, tetap tampak fresh. Botol air mineral yang dipegang Gunawan belum berpindah ke tangan Sandiaga, mengisyaratkan sosok muda yang kini cawapres itu belum merasa haus. Sandiaga kemudian melangkah masuk ke kembali ke hall dan duduk di tempat semula.

Rupanya Sandiaga akan mengikuti talkshow yang dipandu langsung Dino Djalal, ihwal opini dan pikiran Sandiaga menanggapi isu-isu Kawasan ASEAN, Australia dan politik internasional.

Menarik memang, melihat Sandi yang di tengah kesibukannya tetap istiqomah jalankan perintah Allah SWT: Salat.

Bagi sementara orang, kadang-kadang suka mengambil jalan pintas: Lakukan salat jamak Takhir. Dalam hal ini, konteksnya, misalnya, lakukan salat magrib dan isya di saat waktu isya. Kendati pilihan jamak ini tetap dianggap lebih baik daripada tidak salat sama sekali.

Tapi bagi Sandiaga Uno, dirinya lebih memilih salat normal seperti biasa saja. Artinya tidak perlu menjamak salatnya. Barangkali jika di luar kota, sesuai situasi, kondisi dan dibolehkan syariahnya, barulah fasilitas menjamak salat itu dimanfaatkannya. Mungkin lho…. Ini hanya asumsi saya belaka, atau jangan-jangan memakai ukuran kebiasaan saya. Ntar deh, jika ada kesepatan bertemu dan momennya pas, saya akan tanyakan ihwal itu langsung ke Sandiaga.

Saya lumayan banyak mengenal politisi top di negeri ini. Soal ketaatan menjalankan perintah Allah, salat, tidak semua konsisten. Padahal sebagai muslim, salat itu mutlak. Perintah salat datang langsung dari Firman Allah (Quran Surah Al Bayyinah [98] : 5). Juga dalam QS Al Hajj [22]: 78. Perintah Shalat juga terdapat di Hadist, yakni Sabda Rasulullah, “Agama Islam itu dibangun atas lima perkara: Agar mentauhidkan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan ibadah haji (HR Al Bukhari dan Muslim).

Menurut yang saya baca dari buku Ustad Abdul Somad (UAS), dalam HR At Tarmidzi, Imam at Tarmidzi, salat diwajibkan lima waktu sejak peristiwa Isra’ dan Mi’raj, “Shalat diwajibkan kepada Rasulullah pada malam ia di Isra’kan, shalat itu ada 50, kemudian dikurangi hingga menjadi lima…”

Banyak yang begitu mudah mengabaikan salat, naudzubillah minzalik, semoga saya dan para pembaca tak masuk di dalamnya. Saat meeting atau rapat, dengar suara azan, namun tetap lanjut. Waktu-waktu salat malah diabaikan. Berlalu begitu saja. Lalu di saat musibah datang, kesulitan menimpa, barulah ingat Tuhan, ingat ibadah…

Tapi para politisi macam demikian, percayalah, justru paling jago berdramaturgi. Di panggung depan, dalam sorotan publik dan apalagi media massa, mematutkan diri sebagai figur-figur alim, taat dan sangat Islami. Pakaian dan pelbagai atribut kealiman tak ragu dikenakan. Hanya untuk dikesankan orang sebagai sosok-sosok agamis, religious. Padahal di panggung belakang, back stage istilah pakarnya Erving Goffman, mereka sama sekali berbeda, bahkan terbiasa abai dalam ibadah. Ah, namanya juga Panggung Sandiwara yaa…

Konsistensi Sandiaga dalam beragama, beribadah ternyata sudah berlangsung cukup lama. Jadi tidak ujug-ujug jelang Pemilu, saat kontestasi, yakni momen merebut suara pemilih. Jauh sebelum memutuskan meninggalkan bisnis dan terjun politik, Sandiaga sudah istiqomah salat lima waktu. Selain itu, sejak delapan tahun terakihir, Sandiaga rutin salat Dhuha, dan selalu memilih delapan rakaat. Ia merasakan hikmah, rezeki, kemudahan hidup, perlindungan Allah SWT.

Di matanya, dari jejak digitalnya, Sandiaga merasa sering diselamatkan oleh Allah karena, baik di mata manusia belum tentu baik di mata Sang Khalik. Salat Dhuha sendiri kerap disebut banyak pihak sebagai ibadahnya orang-orang yang taat.

Saya baca di internet, dari Abu Hurairah RA: “Kekasihku (Muhammad) mewasiatkan kepadaku tiga perkara yang aku tidak meninggalkannya: agar aku tidak tidur kecuali setelah melakukan salat witir, agar aku tidak meninggalkan dua rakaat salat Dhuha karena ia adalah salat awwabin serta agar aku berpuasa tiga hari setiap bulan” (HR. Ibnu Khuzaimah).

Menurut Ummu Hani’ binti Abi Thalib menyebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakan salat dhuha sebanyak delapan rakaat. Pada setiap dua rakaat, beliau mengucap salam (HR. Abu Dawud).

Pernah saya mendengar Sandiaga mengatakan tak ada yang luar biasa dari ibadah yang dia kerjakan. Katanya, yang dia lakukan adalah ibadah yang memang seyogyanya muslim praktikkan sehari-hari. Di mata Sandi, ibadahnya itu, termasuk salat-salat wajib dan puasa wajib di bulan Ramadhan, melainkan termasuk pula Dhuha, Puasa Daud atau minimal puasa Senin-Kamis, bukanlah semata kewajiban, tetapi sejatinya kebutuhan.

Ketika bersama Gubernur Anies Baswedan, Sandiaga dilantik sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Joko Widodo, Sandiaga tidak terlihat makan dan minum. Di hari istimewanya itu, Sandiaga istiqomah, tetap berpuasa. Maklum, tanggal 16 Oktober 2017 itu jatuh di hari Senin, bertepatan dengan tradisinya, puasa Senin.

Kegairahan beribadah Sandiaga Uno ini, jujur saya katakan, tak banyak ditemukan di kebanyakan politisi apalagi pejabat di Tanah Air. Bukan saya katakan tidak ada, tetapi faktanya memang langka. Yang menarik, Sandiaga beribadah juga tidak demonstratif apalagi show off. Tidak pernah ada kesan dia beribadah, apakah salat maupun puasa sunnah, supaya diketahui sekelilingnya. Kesannya, dia justru berlaku biasa saja, dan seperti tidak ada yang istimewa.

Di kediamannya di Kebayoran, Jakarta, lazimnya Rabu malam, Sandiaga membiasakan ada pengajian, dengan mengundang seorang guru ngaji dan tadarus Alquran. Rutin.

Ada lagi kebiasaan bukan serba baru dan mendadak, sesuatu tradisi baik dilakukan Sandiaga bersama istrinya, Nur Asia, mengajak anak-anaknya umroh. Tradisi ini dilakukannya beberapa tahun sebelum dirinya terjun ke politik praktis. Tahun 2015 saja tidak ada tanda-tanda Sandiaga ancang-ancang terjun ke politik. Sehingga, lagi-lagi, ibadah sebagai ajang pencitraan tidak bisa diterakan padanya.

Karena itu pula, ketika Sandiaga memberikan penekanan ekonomi Islami, jihad ekonomi, santripreuneur, santri mandiri pencipta lapangan kerja dan idiom-idiom Islami lainnya, itu bukan ujug-ujug Islam. Bukan gagah-gagahan atau terjangkit kelatahan idiom Islam, sama sekali bukan. Momentumnya saja yang pas dengan situasi atau kondisi di mana Sandi berbicara hal-hal itu.

Lagi pula, bukan keluarbiasaan pula ketika Hari Santri 22 Oktober lalu Sandiaga berbicara konsep-konsep dan strategi ekonomi Islami, termasuk santripreneur. Ini sekaligus tawaran solusinya menghadapi kesulitan perekonomian, harga-harga yang memberatkan masyarakat, juga banyaknya pengangguran karena sulitnya lapangan kerja.

Apa yang aneh jika itu diungkapkan oleh sosok yang rekam jejak reputasinya memang sangat jelas, yakni 2008 Entrepreneur of The Year dari lembaga Enterprise Asia, dengan predikat pengusaha terbaik sekaligus sosok religious itu. Sandiaga bertekad menyiapkan santri-santri menjadi mandiri, kuat dan memastikan Indonesia sebagai mercusuarn ekonomi Islam.

Semoga Allah SWT senantiasa menjaga dan melindungi siapapun sosok yang ingin membuat nama bangsa dan negara Indonesia terbaik di mata public Tanah Air dan mancanegara. Sekian

*Penulis adalah Mahasiswa S-3, kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran, Jatinangor

Sumber: RMOL