OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 18 Desember 2018

Emansipasi, Bung Karno dan Poligami

Emansipasi, Bung Karno dan Poligami


10Berita : Terkait polemik soal poligami saat ini, tentu menarik untuk menyimak dengan saksama pandangan Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno.
Mengapa Bung Karno?
Bung Karno tidak hanya dikenal sebagai sebagai tokoh golongan kebangsaan yang mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Bung Karno dikenal juga sebagai tokoh yang akrab dengan Islam dan tokoh-tokoh Islam.
Bung Karno menimba pengetahuan Islam dari tokoh-tokoh seperti HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, Syaikh Ahmad Soorkati,  dan Ahmad Hassan.
Kumpulan surat-suratnya kepada pemimpin Persatuan Islam (Persis) A. Hassan, “Surat-surat Islam dari Endeh”, sampai sekarang tetap menarik dibaca.
Sebagai pembelajar Islam yang tekun, Bung Karno dikenal dengan seruan lantangnya kepada umat Islam agar “memudakan pengertian Islam.” Bung Karno juga mendesak kaum Muslimin agar mengambil “apinya Islam.” Bukan debunya Islam!
Polemik Sukarno dengan Mohammad Natsir mengenai persatuan agama dengan negara, hingga kini tetap merupakan bahan bacaan dan pengetahuan yang menarik.
Lebih dari segalanya, Bung Karno bukanlah seorang yang hanya berkata-kata. Dia berkata-kata sekaligus mencontohkan bagaimana melaksanakan kata-kata itu.
Percakapan dengan Fatmawati
Dalam masa pengasingan di Bengkulu, Bung Karno yang sejak mahasiswa di Bandung menikah dengan Inggit Ganarsih pada 1923, berkenalan dengan seorang gadis kelahiran Curup yang berselisih usia 20 tahunan dengannya.
Gadis itu bernama Fatmawati. Gadis itu adalah salah seorang murid Bung Karno di Sekolah Rendah Muhammadiyah.
Pada suatu hari,  sambil menyusuri pantai yang berpasir putih,  Fatmawati bertanya kepada Bung Karno: “Mengapa orang Islam dibolehkan mempunyai istri lebih dari satu?”
Bung Karno menjawab dengan merujuk kepada sejarah awal perkembangan Islam seraya menambahkan:
“Akan tetapi untuk menghindarkan hawa nafsu kehewanan atau perkelahian perempuan di antara mereka sendiri, maka Nabi menerima wahyu dari Tuhan yang mengizinkan laki-laki mempunyai istri sampai empat orang agar tercapai suasana yang tenang. Tetapi di Bali orang menjalankan poligami yang tidak terbatas. Seorang pangeran yang sudah berumur 76 tahun belum lama ini mengawini istrinya yang ke-36. Umurnya 16.”
“Tidak adilkah hukum Islam terhadap perempuan?” tanya Fatmawati.
Dengan tangkas Bung Karno menjawab: “Sebaliknya, ajaran Nabi menaikkan derajat perempuan. Sebelum itu kedudukan perempuan ssperti dalam neraka. Orang tua menguburkan anak-anak gadis hidup-hidup oleh karena dianggap sebagai beban. Laki-laki hanya menyerahkan mas kawin kepada si bapak dan membeli anak gadisnya untuk dijadikan istri. Pada waktu sekarang perempuan tidak dibeli seperti membeli kambing. Perempuan sekarang menjadi teman hidup yang sama kedudukannya dalam perkawinan.”
Fatmawati yang menurut Bung Karno cerdas itu, bertanya lagi: “Perlukah seorang Islam mendapat persetujuan dari istri pertama sebelum mengawini istri yang kedua?”
Bung Karno menjawab lugas: “Tidak wajib. Hal ini tidak disebut-sebut dalam Al-Quran dan Hadits. Ini kemudian ditambahkan dalam fiqh.”

Menceraikan Inggit, Menikahi Fatmawati

Sejak masih di Bengkulu, Inggit sudah mencium hubungan khusus Bung Karno dengan Fatmawati. Rumah tangga Sukarno-Inggit menjadi sering diwarnai dengan pertengkaran.
Bung Karno sendiri telah berterus terang kepada Inggit mengenai keinginannya untuk mempunyai anak yang tidak mungkin diperolehnya dari Inggit.
Kepada perempuan yang telah menemaninya dalam derita perjuangan, Bung Karno menyampaikan tekadnya untuk tidak akan menceraikan Inggit dan akan menempatkan perempuan tegar itu dalam kedudukan yang terhormat.
Dalam ikhtiarnya untuk mempunyai keturunan seraya tidak ingin menceraikan Inggit, Bung Karno pernah menawarkan jalan tengah, yaitu biarlah Inggit yang mencarikan istri kedua untuk Bung Karno. Tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Inggit.
Oleh karena tidak ada titik temu,  pada permulaan tahun 1940-an,  Sukarno dan Inggit bercerai.
Kepada Inggit, Bung Karno meminta pengertian. “Di antara kita semakin sering terjadi pertengkaran, dan ini tentu tidak baik untukmu,” kata Bung Karno. Sesudah itu Bung Karno mengantar Inggit ke Bandung, dan mengucapkan selamat tinggal.
Perceraian Sukarno dengan Inggit juga melibatkan Empat Sekawan, kwartet pemimpin nasional di zaman Jepang: Sukarno, Mohammad Hatta, K. H. Mas Mansoer,  dan Ki Hadjar Dewantara. Sesudah bercerai dengan Inggit, pada bulan Juni 1943, Sukarno menikahi Fatmawati.
Menikahi Hartini
Dari pernikahannya itu, Sukarno-Fatmawati dikarunia lima orang anak,  dua lelaki,  tiga perempuan.
Meskipun keinginan untuk memiliki keturunan sebagaimana diimpikan sejak masa pembuangan di Bengkulu, telah terpenuhi, ternyata kenyataan itu tidak meredam hasratnya untuk menikah lagi.
Kali ini Bung Karno menikah dengan seorang janda bernama Hartini.
Mengapa Bung Karno mengawini Hartini?  “Alasannya sederhana saja,” kata Bung Karno. “Alasan pokok yang telah berlaku sejak permulaan zaman, dan akan tetap berlaku jauh sesudah aku tidak ada lagi: aku bertemu dengan Hartini. Aku jatuh cinta kepadanya.”
Pernikahan Sukarno dengan Hartini tentu saja menghebohkan jagat politik Indonesia. Apalagi pada saat itu,  Juli 1953, segolongan orang yang beremansipasi sedang memperjuangkan undang-undang perkawinan yang –dalam istilah Bung Karno– memberantas poligami. “Wanita-wanita Islam ini hendak mencoba membantu Nabi Muhammad dan akan mengubah peraturannya,” ujar Bung Karno.
Tepat pada saat itulah,  Bung Karno menikahi Hartini.  Maka unjuk rasa para pendukung emansipasi itu mengarah ke istana, memprotes perkawinan Sukarno dengan Hartini. Yang membikin hati Bung Karno susah,  koran-koran mulai menyerangnya.
Wakil Presiden Mohammad Hatta termasuk yang mengecam pernikahan itu. Menurut Bung Hatta, perkawinan seorang presiden, baik untuk yang pertama kali atau untuk yang kedua, perlu dikaitkan dengan pertanyaan: “apakah perkawinan itu tidak merusak kehormatan negara,  dan tidak membahayakan keselamatan negara.” Dalam hal ini,  kata Hatta,  perkawinan Sukarno dengan Hartini “tidak dapat disebut suatu hal yang prive.”
Di kemudian hari, Hatta bukan saja bersikap dingin terhadap Hartini, tetapi sedapat mungkin dia menjauhinya. Menurut ingatan Deliar Noer, barulah sesudah Sukarno meninggal sikap terhadap Hartini melunak. Hartini pun acap ke rumah Hatta.
Fatmawati tidak dapat menerima perkawinan tersebut. Dia marah dan mengajukan permintaan cerai kepada Bung Karno. Pada awal 1955, Fatmawati memajukan gugatan cerai,  tetapi Bung Karno menolaknya.  Fatmawati yang marah,  tidak mau lagi tinggal di istana. Dia memilih tinggal sendiri di rumah pribadi di kawasan Jakarta Selatan.
Status Fatmawati itu oleh Bung Hatta disebut “digantung tidak bertali.”
Bung Karno sendiri berpendapat, Fatmawati tidak perlu marah. “Istriku yang pertama dan kedua adalah orang-orang Islam yang saleh,  menyadari akan hukum-hukum Islam. Dan mereka mengerti. Atau seharusnya mengerti, bagaimanapun juga,” tutur Bung Karno.
Ada pro,  ada juga kontra. Itulah sunnatullah. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Islam Indonesia Bukittinggi, H. Ahmad Darwisj Djambek dan Mansjur Thalib,  mendukung perkawinan itu.
“Perkawinan Bung Karno dan Nyonya Hartini adalah hak Bung Karno dan Nyonya Hartini sendiri yang oleh beliau-beliau telah dipergunakan dengan sebaik-baiknya menurut ajaran Islam.”
Pimpinan Partai Islam itu menambahkan: “Bagi orang yang mencintai Islam tentulah akan memuji perkawinan ini.”
Hartini ternyata bukan pelabuhan cinta terakhir Bung Karno. Sesudah itu Bung Karno menikah lagi dengan beberapa perempuan. Di antara para perempuan itu,  yang sering tampil ke publik adalah Ratnasari Dewi Sukarno.
Di luar itu ada disebut-sebut nama Haryati,  Jurike Singer,  dan Hilda.
Khusus terkait dengan kisah Inggit dan Fatmawati, di pertengahan tahun 1970-an, atas perantara Ali Sadikin kedua sempat bertemu. Dalam perteman yang mengharukan itu, Fatmawati meminta maaf secara langsung kepada Inggit. Atas pemintaan maaf Fatmawati itu, Inggit telah lama memaafkan seraya berkata dalam bahasa Sunda: “Kalau orang merasa sakit karena dicubit, maka janganlah mencubit.” Inggit dan Fatmawati kemudian berpelukan.
Di lain hari, Inggit yang mulai sepuh sering dikunjungi Hartini. Bahkan keduanya terlihat kompak. Sukarno sendiri, semasa menjabat presiden, beberapakali mengunjungi Inggit. Bahkan, pada tahun 1962-an, Sukarno khusus menjenguk Inggit saat Inggit sakit.
”Giet, sakit apa?,” tanya Sukarno dengan suara khas baritonnya.
“Alah sakit sedikit Kus (Kusno, nama kecil Sukarno),” sahut Inggit. Semenjak pertama kali kenal Sukarno di awal 1920-an di rumah suami pertamanya di Bandung, dr Sanusi, Inggit memang selalu memanggil Sukarno dengan Kusno. Tak hanya menjenguk Inggit, Sukarno setiap bulan juga selalu mengirimkan uang untuk Inggit. Bahkan Inggit juga mendapat tanda jasa sebagai pejuang perintis kemerdekaan.
Tak hanya itu, para isteri Sukarno yang lain, ketika Sukarno tak lagi berkuasa kerap menjenguk Inggit. Mereka ternyata menganggap Inggit  sebagai penasihat atau ibunya. Ketika Inggit wafat di tahun 1980-an, Ratna Sari Dewi yang saat itu tinggal di Paris datang langsung untuk bertakziah.
Dari penuturan anak angkat Inggit, Ratna pun menangis sedih ketika melihat jenazah Inggit di bawa ke pemakaman yang tak jauh dari tepat tinggal terkahirnya di kawasan pinggiran Bandung. Makam Inggit masih ramai dikunjungi hingga kini.
Oleh: Lukman Hakiem (peminat sejarah, mantan staf M Natsir dan Wapres Hamzah Haz)

Sumber : Republika.co.id,