OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 13 Desember 2018

Fenomena Riset Intoleran: Memata-matai dan Memvonis Umat Islam

Fenomena Riset Intoleran: Memata-matai dan Memvonis Umat Islam

Oleh: Beggy Rizkiansyah, kolumnis Kiblatnet, anggota Jurnalis Islam Bersatu

10Berita – Kala itu, di seluruh Hindia Belanda, tangan-tangan kolonialisme sudah mencengkeram. Namun, Aceh tak termasuk di dalamnya. Di Tanah Serambi Mekkah, perlawanan rakyat yang dipimpin ulama terus berkobar. Di sinilah kemudian peran pengetahuan berperan.
Studi tentang rakyat Aceh dilakukan untuk menilai rakyatnya. Hal itu menjadi bagian dari strategi menaklukkan Aceh. Snouck Hurgronje menjadi bagian dari perselingkuhan ilmu pengetahuan dan kekuasaan.
Snouck Hurgronje menorehkan catatan sejarah etnografi kolonial di Indonesia. Studinya tentang rakyat Aceh menjadi rujukan untuk kebijakan kolonial di sana. Fokus Snouck Hurgronje pada adat Aceh membuatnya menilai bahwa masyarakat Aceh sangat bergantung pada peran uleebalang. (James T. Siegel: 1969)
Menurutnya, ulama di Aceh memanfaatkan situasi perang dan berhasrat menggantikan peran uleebalang. Tentu saja penilaian ini keliru. Namun Snouck Hurgronje bersikeras menekan peran ulama. (James T. Siegel: 1969) Menurutnya ulama pembangkang ini harus dihancurkan dengan tindakan keras. (W.F. Wertheim: 1972)
Baginya praktek ritual Islam tak perlu dihalang-halangi. Ibadah sholat, bahkan haji tidak perlu dicurigai. Bahkan ia mencela kebijakan pemerintah kolonial yang menyusahkan muslim tanah air yang hendak pergi haji. Akan tetapi jika ada umat Islam yang membawa ide-ide politik, maka harus ditumpas dengan kekerasan. (Snouck Hurgronje : 1993)
Pandangan Snouck hurgronje ini dapat disimpulkan membagi umat Islam dalam dua aspek, “Islam relijius” dan “Islam politik.” Terhadap aspek relijius harus diberi ruang  kebebasan. Sedangkan terhadap aspek politik, tak boleh diberi ruang. Kekerasan harus digunakan untuk membungkam “Islam politik.” (Harry J. Benda: 1985)
Kebijakan yang keras terhadap ulama di Aceh atas rekomendasi Snouck Hurgronje menjadi satu catatan perselingkuhan antara ilmu pengetahuan dengan kekuasaan. Kekuasaan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk menaklukkan objeknya.
Islam Dipandang Sebagai Ancaman
Penjajahan memang telah lama berlalu. Namun penjajahan mental yang melihat aspek politis Islam sebagai ancaman nampaknya belum hilang sepenuhnya. Di alam demokrasi saat ini, ilmu pengetahuan tak bisa berkedok netral. Nyatanya pandangan hidup mempengaruhi pelaku penelitian.
Pandangan hidup yang sekularistik menolak keberadaan politik Islam. Wajah politik Islam dianggap sebagai satu wajah buruk umat Islam yang harus dihapuskan. Studi-studi Islam dari barat menjadikan Islam satu objek penelitian yang menarik. Islam, seperti Snouck Hurgronje ditundukkan dalam kerangka berpikir barat yang sekularistik.
Islam juga dianggap harus menganut satu nilai-nilai yang diusung barat, mengadopsi “keberagaman” meski itu bertentangan dengan ajaran ajaran Islam. Reinterpetasi teks Islam ditundukkan di bawah hegemoni barat. Tafsir pluralisme agama, multikulturalisme dan penafsiran hermeneutis terhadap Al-Qur’an menjadi beberapa ‘doktrin’ baru yang harus diterapkan dalam Islam.

Snouck Hurgronje, tokoh sekulerisasi Islam di masa kolonial.
Dalam atmosfer hegemonik inilah ilmu pengetahuan memegang peranan penting. Studi-studi, riset-riset yang menjadikan umat Islam sebagai objek penelitian dibuat dari kerangka berpikir barat yang sekularistik. Pendapat bahwa ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan sosial adalah netral adalah satu ilusi yang perlu disingkirkan dari benak kita.
Begitu pula dalam satu riset sosial tentang masyarakat. Menilai perilaku masyarakat, kemudian mengubahnya menjadi angka-angka dan memberi kriteria, dan akhirnya penilaian dalam kerangka berpikir tertentu tak akan lepas dari ideologi. Justin Lewis misalnya, dalam Constructing Public Opinion  (2001) mengatakan bahwa menciptakan satu survey menurutnya tak mungkin dilepaskan dari aspek ideologis sang surveyor.
Menurutnya mengubah kata-kata, menjadi angka, singkatnya, adalah satu tindakan semiotik. Ideologi dan sejarah menjadi tak terhindarkan ketika melakukan satu survey kuantitatif yang sebenarnya berhubungan dengan angka-angka dan matematis.
Survey, riset, poling dan peneltian yang berhubungan dengan perilaku masyarakat memang menjadi bahan rujukan yang penting saat ini. Termasuk berhubungan dengan kebijakan pemerintah.

Sumber : Kiblat