Gerindra Tanya Ke KPU : Bagaimana Cara Ngajari Orang Gila Nyoblos?
10Berita - Partai Gerindra mempertanyakan keputusan KPU DKI Jakarta yang memasukkan ribuan penyandang masalah kejiwaan dan ingatan atau orang gila ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu 2019.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI juga diminta menjelaskan masuknya pemilih baru sebanyak 500 ribu dalam Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan Ke-2 (DPT-HP2).
Ketua DPD Gerindra DKI, Mohamad Taufik mengatakan, tim hukum Gerindra menemukan sejumlah data DPT-HP2 yang mencurigakan.
"Tercatat ada sebanyak 2.610 orang gila masuk dalam DPT," kata Taufik di kantor Sekretariat Nasional (Seknas) Pemenangan Prabowo-Sandi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (13/12/2018).
Menurut dia, penyandang gangguan jiwa mestinya tidak perlu dilibatkan dalam pemilu 2019.
Kalau KPU DKI tidak segera menghapus daftar orang gila dari DPT, sambung Taufik, pihaknya akan mendatangi kantor penyelenggara pemilu di Jakarta tersebut.
"Kami akan belajar kepada KPU DKI, bagaimana cara berkampanye di hadapan orang gila dan bagaimana cara mengajari mereka mencoblos pada Pemilu yang berlangsung pada tanggal 17 April 2019," sindirnya.
Selain mempermasalahkan DPT orang gila, Gerindra juga mendesak KPU DKI menjelaskan soal penambahan data lebih dari 500 ribu orang pada DPT mutakhir tersebut.
"Pada DPT-HP pertama tercatat 7.206.462 orang tapi pada DPT-HP2 datanya membengkak jadi 7.772.346 orang. Jadi, terdapat penambahan lebih dari 500 ribu orang yang patut dicurigai untuk penggelembungan suara," tandas Taufik tanpa menjelaskan kondisi ini untuk menguntungkan pihak mana.
"Kami melayangkan surat protes ke KPU DKI hanya demi pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil," tambahnya.
Adapun masalah lainnya, Gerindra juga menyoroti soal DPT penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan menggunakan sistem gelondongan tanpa menyebutkan nama dan alamat.
"Padahal, DPT berdasarkan by name by adress, tapi data untuk Lapas dan Rutan hanya ditulis sebanyak 16.842 orang. Nggak boleh begitu, harus ditulis nama satu per satu," tegas Taufik yang juga Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta.
Atas berbagai temuan janggal tersebut, Tim Hukum melayangkan surat protes ke KPU DKI
Di tempat yang sama, Ketua Advokasi DPD Gerindra DKI Yupen Hadi menilai, semestinya KPU DKI sudah bisa menghitung jumlah pemilih pemula pada April 2019 memasuki umum 17 tahun. “Harus dimasukan ke DPT dong itu,” jelasnya.
Menurut dia, keanehan KPU DKI memasukan data 500 ribu pemilih yang datanga belum bisa dijelaskan. “Ingat akurasi data pemilih ini ruh Pemilu,” tegas dia. “Kami, akan terus mendesak nanti ke KPU DKI buka data,” tandas Yupen.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI juga diminta menjelaskan masuknya pemilih baru sebanyak 500 ribu dalam Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan Ke-2 (DPT-HP2).
Ketua DPD Gerindra DKI, Mohamad Taufik mengatakan, tim hukum Gerindra menemukan sejumlah data DPT-HP2 yang mencurigakan.
"Tercatat ada sebanyak 2.610 orang gila masuk dalam DPT," kata Taufik di kantor Sekretariat Nasional (Seknas) Pemenangan Prabowo-Sandi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (13/12/2018).
Menurut dia, penyandang gangguan jiwa mestinya tidak perlu dilibatkan dalam pemilu 2019.
Kalau KPU DKI tidak segera menghapus daftar orang gila dari DPT, sambung Taufik, pihaknya akan mendatangi kantor penyelenggara pemilu di Jakarta tersebut.
"Kami akan belajar kepada KPU DKI, bagaimana cara berkampanye di hadapan orang gila dan bagaimana cara mengajari mereka mencoblos pada Pemilu yang berlangsung pada tanggal 17 April 2019," sindirnya.
Selain mempermasalahkan DPT orang gila, Gerindra juga mendesak KPU DKI menjelaskan soal penambahan data lebih dari 500 ribu orang pada DPT mutakhir tersebut.
"Pada DPT-HP pertama tercatat 7.206.462 orang tapi pada DPT-HP2 datanya membengkak jadi 7.772.346 orang. Jadi, terdapat penambahan lebih dari 500 ribu orang yang patut dicurigai untuk penggelembungan suara," tandas Taufik tanpa menjelaskan kondisi ini untuk menguntungkan pihak mana.
"Kami melayangkan surat protes ke KPU DKI hanya demi pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil," tambahnya.
Adapun masalah lainnya, Gerindra juga menyoroti soal DPT penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan menggunakan sistem gelondongan tanpa menyebutkan nama dan alamat.
"Padahal, DPT berdasarkan by name by adress, tapi data untuk Lapas dan Rutan hanya ditulis sebanyak 16.842 orang. Nggak boleh begitu, harus ditulis nama satu per satu," tegas Taufik yang juga Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta.
Atas berbagai temuan janggal tersebut, Tim Hukum melayangkan surat protes ke KPU DKI
Di tempat yang sama, Ketua Advokasi DPD Gerindra DKI Yupen Hadi menilai, semestinya KPU DKI sudah bisa menghitung jumlah pemilih pemula pada April 2019 memasuki umum 17 tahun. “Harus dimasukan ke DPT dong itu,” jelasnya.
Menurut dia, keanehan KPU DKI memasukan data 500 ribu pemilih yang datanga belum bisa dijelaskan. “Ingat akurasi data pemilih ini ruh Pemilu,” tegas dia. “Kami, akan terus mendesak nanti ke KPU DKI buka data,” tandas Yupen.
sumber: teropongsenayan