OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 21 Desember 2018

Kejayaan Cina Adalah Penderitaan Muslim Uyghur

Kejayaan Cina Adalah Penderitaan Muslim Uyghur

Oleh: Beggy Rizkiansyah, Kolumnis Kiblat.net
“Jiwaku? Apa yang bisa kulakukan?,” tanya Farkhad, sang suami.
“Jangan lakukan apapun. Jangan datang ke Cina. Jangan cari aku.”
SMS itu adalah SMS terakhir yang diterima Farkhad dari Mariam, istrinya. Farkhad biasa memanggil istrinya “Jiwaku.” Kini Farkhad telah kehilangan kabar dari belahan jiwanya. Mariam terakhir berkunjung ke kampung halamannya di Artush, Xinjiang, Cina.
Ibu tiga anak beretnis Uyghur itu menghilang tak berbekas. Istrinya sempat mengatakan ia dipindahkan ke satu fasilitas di sana. Namun tak jelas keberadaan fasilitas penampungan tersebut. Mariam hilang meninggalkan Farkhad bersama tiga anaknya.
Mariam tak “seberuntung” Guli, 23 tahun. Perempuan itu diangkut paksa polisi di taman di Urumqi, Xinjang. Ia ditahan 15 hari di penahanan karena tak membawa kartu identitasnya. Namun sebenarnya ia ditahan karena memakai jilbab dan sholat sebagaimana laporan yang diterima otoritas lokal.
Kamp konsentrasi
Menurut Guli selama proses cuci otak, kebanyakan perempuan di fasilitas penahanan tersebut adalah perempuan Uyghur. Guli beruntung tak lama di sana. Ia mengaku mendapat tekanan psikologis yang intens selama di sana. Kedua kesaksian tadi dan beberapa kesaksian lainnya dimuat oleh The Guardian pada September 2018. Sebelum kasus kamp konsentrasi oleh rezim RRC ini benar-benar meledak di media massa barat.
Kejahatan massal ini terkuak setelah berbulan-bulan pemerintah Cina menyangkal keberadaan kamp konsentrasi tersebut. Kini mereka dengan bangga mengakui kamp tersebut dan menyebutnya “Manajemen yang manusiawi dan peduli.” Mereka menolak kata “edukasi.” Istilah ini tentu pengelabuan, dan media Barat seperti Reuters, memilih memakai istilah Gulag. Sebuah kamp konsentrasi brutal yang dibangun oleh Stalin di Siberia pada era era komunis Soviet.

Salah satu kamp konsentrasi yang dibuat Cina untuk mencuci otak Muslim Uyghur.
Investigasi Reuters menggunakan pencitraan satelit mengungkapkan ada 39 kamp yang dapat diidentifikasi dari kemungkinan 80 kamp. Mantan tawanan mengungkapkan mereka disiksa saat interogasi, tinggal dalam sel yang padat dan menjadi korban indoktrinasi Partai Komunis Cina setiap hari yang mendorong beberapa orang bunuh diri.
Para orang tua yang ditahan dalam kamp ini membuat anak-anak mereka kehilangan orang tua mereka. Para anak-anak ini kemudian ditempatkan dalam panti-panti yang memutus mereka dari budaya dan bahasa Uyghur. Salah satu korbannya adalah Tahir Imin yang dipisahkan dari putrinya.
Tahir Imin yang mengambil studi di Amerika Serikat harus menerima kenyataan pahit bahwa keluarganya telah menjadi peserta kamp. Saudara-saudaranya telah memutuskan hubungan dengannya. Putrinya dan ibunya telah memintanya untuk berhenti menghubungi mereka. Putrinya yang berusia tujuh tahun bahkan berkata, “Kau adalah orang yang jahat. Kebijakan (pemerintah-pen) Cina-lah yang baik.” Sejak saat itu Tahir Imin tak bisa langi menghubungi putrinya.
Otoritas RRC telah menyangkal dan menyebutnya “rehabilitasi dan penebusan” dan bagian dari upaya memerangi terorisme dan ekstrimisme relijius. Tentu saja ini bahasa yang kerap rezim brutal itu pakai sejak 2001. Pemerintah RRC mendompleng peristiwa 9/11 dan memakai bahasa yang sama untuk membungkam perlawanan Muslim Turkistan Timur dengan memberi label teroris. (Amnesty Internationl : 2005)
Sebaliknya, kehadiran kamp konsentrasi tersebut membuktikan bahwa sikap represif pemerintah Cina terhadap rakyat Uighur. Transkripsi dari rekaman audio Partai Komunis yang disebarkan pada rakyat Uighur via WeChat menganggap Islam sebagai penyakit ideologi.
“Anggota publik yang dipilih untuk direedukasi telah terinfeksi penyakit ideologi. Mereka telah terinfeksi ekstrimisme relijius dan idelogi kekerasan teroris, dan untuk itu mereka harus disembuhkan dari sebuah rumah sakit sebagai pasien…,” demikian penjelasan siaran yang ditranskripsi Radio Free Asia tersebut.
Diskriminasi ras
Kebijakan represif terhadap muslim Uyghur bukan saja baru-baru ini. Serangkaian kebijakan represif dan diskriminatif telah terjadi sejak lama. Laporan Human Rights Watch tahun 2005 misalnya menyebutkan otoritas Cina telah mendata dan menahan muslim Uighur dalam kegiatan “reedukasi.” (Amnesty Internationl : 2005)
Pada tahun 1999 misalnya 18 orang telah divonis terlibat aktivitas separatisme tanpa bukti yang memadai. Para Imam di Xinjiang telah menjadi objek dari kamp-kamp re-edukasi yang mereka sebut “religious training camp” atau “political reeducation campaigns”. Sejak 2001, frekuensi kamp-kamp bagi para imam ini terus meningkat setidaknya ada 8000 imam telah terdaftar dalam kamp ini. (Amnesty Internationl : 2005)
Di Xinjiang, menurut laporan Amnesty International tahun 2005 juga telah memberlakukan sensor terhadap segala publikasi dan materi relijius. Publikasi-publikasi Islami harus mendapat persetujuan otoritas Xinjiang dari tahap pencetakan hingga distribusi. Salah satunya adalah aturan yang memaksa “segala hal yang akan dipublikasikan (termasuk berita dan artikel) terkait penelitian dan penilaian dari agama Islam harus memuat sudut pandang Marxis tentang agama….”(Amnesty International : 2005)
Pembungkaman terhadap eksistensi agama Islam di Xinjiang terus berlangsung tahun ke tahun. Pelarangan beribadah, simbol Islam dan puncaknya “Kamp Gulag” bagi umat Islam di Xinjiang yang terungkap besar-besaran tahun ini membuktikan betapa kejamnya pemerintah Cina terhadap muslim Uyghur di Xinjiang. Tahun 2018 ini misalnya, otoritas Xinjiang mengeluarkan kampanye anti produk halal yang mereka klaim sebagai pencegahan terhadap ekstrimisme.
Proyek jalur sutra
Kejahatan luar biasa ini memang telah terkuak hingga ke seluruh dunia. Namun Rezim Cina tak bergeming. Mereka tetap bertahan dengan sikap represif mereka terhadap muslim Uyghur. Pertanyaannya kemudian, mengapa mereka bersikap demikian? Apa yang membuat Xinjiang begitu penting bagi pemerintah Cina?
Xinjiang adalah salah satu wilayah otonomi di barat laut Cina. Dihuni etnis minoritas muslim Uyghur dikenal sebagai Turkistan Timur. Selain berbahasa turkic, muslim Uyghur juga memiliki budaya yang berbeda dengan mayoritas etnis Han di RRC. Xinjiang pada masa lalu menjadi bagian dari rute jalur sutra kuno yang menghubungkan Cina dengan Timur tengah.
Jalur sutra ini kemudian yang bisa menghubungkan kita juga dengan tragedi muslim Uyghur saat ini. Tahun 2013 pemerintah Cina meluncurkan proyek ambisius untuk menghidupkan jalur sutra yang bernama One Belt One Road (kemudian proyek ini berganti nama menjadi Belt Road Initiative). Belt Road Initiative ini membangun jaringan jalan, jalur kereta dan pipa yang menghubungkan asia dengan timur tengah menuju Eropa dan melalui Afrika.

Peta jalan sutra yang digagas pemerintah Cina melalui wilayah Urumqi, Xinjiang yang dihuni Muslim Uyghur.
Menurut Xin Hua Silk Road Information Service, proyek ini telah mengakumulasikan nilai perdagangan lebih dari 5 triliun AS dengan negara lain dan membuat investasi lebih dari 60 miliyar As dan menciptakan lebih dari 200 ribu lapangan pekerjaan. Proyek ini terkoneksi dari pelabuhan di Duisburg di Jerman hingga jalur kereta Mombas-Nairobi di Kenya yang dibangun oleh perusahaan CIna dan memiliki standar Cina.
Jalur sutra baru ini dimulai dari Khorgos, Xinjiang, melewati Eurasia. Sedangkan jalur maritim menghubungkan perairan kota-kota di Cina via serangkaian pelabuhan di Afrika dan Mediterania. Ada total 900 proyek dengan biaya 900 miliar US dollar. Ada jaringan pipa senilai 7,3 triliun dollar dari Turkmenistan ke Cina yang membawa 15 miliar meter kubik gas setiap tahunnya. (Time.com: 2017)
Di sinilah pentingnya Xinjiang di mata pemerintah Cina. Khorgos yang terletak dalam wilayah Xinjiang sekarang menjadi pintu dari 27 pabrik di Cina yang menghubungkan 11 kota di Eropa. Ada 2050 kargo kereta melewati Khorgos tahun 2016. Wilayah lain di Xinjiang, Taklamakan, menjadi perbatasan antara Cina dan negara-negara di Asia Tengah dan Selatan, oleh sebab itu menjadi penghubung proyek ambisius Jalur Sutra ini.
Di Xinjiang sendiri saat ini menjadi wilayah yang penting untuk sumber daya energi bagi Cina. Sebelum tahun 1990, Cina mengandalkan produksi energi lokal baik minyak maupun batubara. 20 tahun kemudian Cina menjadi konsumen minyak terbesar kedua di dunia setelah AS. Cina saat ini mengonsumsi 8 juta barrel minyak per hari. Cina kini mengonsumsi 13 persen minyak dunia. Dua dekade lagi, Cina akan mengonsumsi 16 juta barrel perhari. 2/3-nya akan disuplai dari luar Cina. Saat ini mereka membeli dari Timur Tengah, Amerika Latin dan Asia Timur. Negara Afrika seperti Angola, Sudan dan negara sub-sahara Afrika lainya menyediakan 25% kebutuhan minyak mentah untuk Cina. (Robert I. Rotberg: 2008)
Di Karamay, barat Laut Xinjiang, minyak menyembur dari tanahnya. Perusahaan minyak milik pemerintah Cina menyedot limpahan minyak tersebut. Diestimasikan 21 miliar ton tersimpan dalam bumi Xinjiang atau1/5 cadangan minyak milik Cina. Pada tahun 2014 ditemukan lagi limpahan minyak di Dzungarian Basin, tak jauh dari Karamay. Xinjiang diharapkan mampu memompa 35 juta minyak mentah pada 2020.
Xinjiang juga negeri dengan cadangan batubara terbesar milik Cina. Hampir 40% cadangan Cina tersimpan membara dalam Xinjiang. Negeri itu akan menjadi 5 “basis energi” Cina dalam proyeksi 5 tahunan ekonomi Cina (2016-2020).
Gas alam juga tersimpan dalam perut Xinjiang. 25 milyar meter kubik gas alam telah diproduksi pada tahun 2012. Produksi itu terus meningkat hingga 44 miliar meter kubik pada 2013. Jaringan pipa gas alam dari Asia Tengah dan Xinjiang disalurkan menuju Cina Tengah dan Timur. Sebuah jaringan pipa dari Barat Siberia menjulur dan menembus pengunungan Altai menuju pusat Xinjiang, kemudian diharapkan mampu menyuplai 30 milyar meter kubik gas ke saluran pipa gas timur dan barat Cina.

Sudut kota Urumqi, ibukota Xinjiang.
Potensi yang melimpah dari Xinjiang membuat uang membanjiri negeri itu. Sebanyak 53 perusahaan milik negara, dari energi sampai konstruksi, pada tahun 2014 saja telah menggelontorkan dana 300 miliar dollar AS dalam 685 proyek di Xinjiang. Xinjiang juga menjadi penyuplai listrik pada daerah lain yang lebih padat di Cina.
Menurut Lin Boqian dari Universitas Xiamen, Xinjiang adalah sumber dari minyak, gas dan batubara. Xinjiang juga menjadi jalur penghubung impor minyak dan gas, dari Asia Tengah. Melalui Xinjiang energi itu disalurkan ke seantero Cina.
Dari melimpahnya kekayaan alam Xinjiang, dan posisi Xinjiang sebagai penghubung sumber energi bagi Cina, serta posisi Xinjiang dalam proyek ambisius Belt Road Initiative Cina, kita tentu dapat menilai betapa berharganya Xinjiang bagi Cina. Xinjiang adalah “gudang emas” bagi Cina. Oleh sebab itu diperlukan “stabilitas” luar biasa dalam Xinjiang.
Bagi masyrakat Uighur sendiri semua kekayaan itu dan kehadiran perusahaan milik Cina tak membawa dampak bagi mereka. Justru etnis Uighur adalah yang termiskin jika dibandingkan dengan etnis Han yang mayoritas di Cina.
Di sinilah persoalannya. Etnis Uighur yang berbeda agama, dan etnis oleh Cina dianggap sebagai sumber instabilitas. Demi mengamankan proyek-proyek raksasanya, Cina membungkam, membasmi dan mencabut akar masyarakat Uighur.
Agama Islam dianggap sebagai penyakit mental. Budaya Uighur yang kaya dicabut dan dipaksakan proyek sinoisasi terhadap rakyat Uighur. Atas nama keamanan, kebijakan diskriminatif dan represif dilakukan. Jika demikian maka Rezim komunis Cina akan mempertaruhkan apa saja demi harta mereka, termasuk nyawa dan kebebasan beragama rakyat Uighur.
Lagipula, apalah artinya agama dan nyawa bagi satu rezim komunis? Bukankah Lenin, Stalin, Pol Pot, dan, Mao Tse Tung telah melakukannya terlebih dahulu? Hanya saja komunis “zaman now” melakukannya demi kapital mereka.

Sumber : Kiblat