Ketika Prabowo Mendikte Reaksi Jokowi Soal Media Rusak
Jokowi menjadi terbawa ke dalam irama gendang Prabowo. Dalam arti, ketika PS mencoba menunjukkan bahwa media sebagai tiang demokrasi telah dimakan rayap kekuasaan, Jokowi malah maju ke dapan membela dengan headline yang sangat kontradiktif yaitu “media adalah sahabat”. Padahal, seluruh rakyat sejak lama telah mencatat perilaku sejumlah media besar yang bertentangan dengan kaidah jurnalistik.
Sebagai contoh, media-media itu menunjukkan keberpihakan kepada penguasa secara membabibuta. Semua kekeliruan penguasa diterompetkan sebagai kebaikan oleh media-media yang terkooptasi itu. Contoh lain, media-media itu secara serentak menunjukkan sikap ‘hostile’ (bermusuhan) terhadap Islam dan umat Islam. Sikap ini tentu sangat bertolak belakang dengan fungsi media massa.
Nah, Jokowi mengatakan dia menganggap media yang rusak berat itu sebagai sahabat. Tidak ada tafsiran lain untuk ungkapan “bagi saya media adalah sahabat” kecuali penegasan bahwa Pak Jokowi berada di pihak media yang sedang rusak berat itu. Bahwa dia (Jokowi) setuju dengan sikap media yang telah melukai perasaan rakyat, perasaan umat Islam.
Jokowi terpancing untuk mengambil untung dari teguran keras PS terhadap media-media mainstream yang telah kehilangan akal sehat. Media-media yang diperingatkan Prabowo itu kemudian merasa tak senang. Di sini, Pak Jokowi terlihat ambil kesempatan. Tetapi, sesungguhnya reaksi seperti ini memperlihatkan ketidakmatangan (immaturity) Jokowi.
Pak Jokowi mungkin menyangka dengan mengatakan “media sahabat saya”, dia meraup laba besar dari koran-koran dan televisi yang melakukan “crimes against journalism” (kejahatan terhadap jurnalistik) karena menyembunyikan Reuni 212. Padahal, cara bereaksi seperti itu menunjukkan kelemahan Jokowi sebagai pemimpin negara.
Mengatakan “bagi saya, media adalah sahabat” pada saat semua orang paham bahwa media-media itu curang sampai berubah menjadi corong penguasa, menunjukkan bahwa Jokowi merestui sikap media yang melakukan ‘kejahatan’ jurnalistik. Dalam hal ini, media-media yang membuat Prabowo merasa jengkel itu bagaikan mendapat amunisi dari Jokowi. Dengan kata lain, Jokowi setuju dengan sikap partisan media-media itu.
Sekali lagi, di sinilah Jokowi terpancing. Dia ingin menunjukkan bahwa media yang bermasalah itu baik-baik saja kepada dia. Bersahabat dengan dia. Padahal, yang terjadi adalah bahwa media-media itu bertindak partisan. Publik melihat ini. Mencermati dan mencatat perilaku ini.
Seharusnya Pak Jokowi ikut prihatin sebagaimana sebagian besar rakyat merasa prihatin. Sekarang, Jokowi semakin kental dinilai oleh masyarakat sebagai pemimpin yang tidak arif dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara. Tidak arif karena, secara tersirat, Pak Jokowi mendukung tindakan media yang melecehkan peristiwa besar umat Islam di Monas yang melibatkan berjuta-juta manusia.
Pak Presiden seharusnya mengambil tindakan untuk memulihkan independensi media. Bukan malah mendorong mereka ke jurang. Dia semestinya mengkritik media-media besar yang telah kehilangan akal sehat itu. Bukan memberikan “green light” untuk terus partisan dengan mengatakan “media sahabat saya”. Hanya karena ingin terlihat beda dengan Prabowo.
Saya memperkirakan orang-orang yang semula mendukung Jokowi, bisa berbalik meninggalkan dia. Tidak semua pendukung Jokowi rela melihat media mainstream menjadi hancur berantakan. Banyak yang masih berpikir jernih dan melihat posisi Jokowi itu sangat aneh. Mereka inilah yang besar kemungkinan akan hengkang dari barisan Jokowi.
Inilah pertanda jelas bahwa Prabowo mulai mendikte cara Jokowi bereaksi di musim kampanye ini.
Penulis: Asyari Usman
Sumber :