OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 27 Desember 2018

Mempertanyakan Kejujuran Pemerintah Cina Soal Uighur

Mempertanyakan Kejujuran Pemerintah Cina Soal Uighur




Oleh Fuji E Permana, Nashih Nasrullah


10Berita JAKARTA -- Unsur-unsur umat Islam di Tanah Air terus mendesak Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) memberikan pemaparan yang jujur soal kondisi Muslim Uighur di Xinjiang. Sikap RRC yang terus menghalang-halangi pengawas independen ke Xinjiang dinilai menggerus kepercayaan soal penjelasan versi pemerintah.

"(Pemerintah Cina) jangan membela diri, tapi di sisi lain tidak mau memberikan kemudahan bagi pengamat asing untuk meninjau langsung ke wilayah konflik (Uighur) tersebut. Kita berharap Pemerintah Cina kooperatif dengan kita," kata Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI KH Muhyiddin Junaidi kepada Republika, Selasa (25/12).

Ia mengungkapkan, umat Islam masih ada yang ragu terhadap penjelasan Pemerintah Cina karena tidak transparan dan mencari alasan untuk membela diri mereka dengan menutup pintu dari LSM dan inspeksi asing. "Kalau tidak ada kesalahan, mengapa harus takut? Buka pintu, undang pengamat dan NGO asing melihat Uighur," ujar dia.

Laporan-laporan lembaga HAM internasional soal keberadaan barak-barak reedukasi di Xinjiang mencuat pada 2016 lalu. Sempat menyangkal keberadaannya, Pemerintah Cina mengakui keberadaannya. Pemerintah RRC melegalkan keberadaan kamp-kamp itu pada Oktober 2018 dengan memberinya nama "pusat pelatihan vokasional".

Barak-barak tersebut, menurut versi Pemerintah Cina, untuk menormalkan mer ka yang terpapar radikalisme dan ekstremisme. Sejauh ini, belum ada pengamat internasional diizinkan masuk untuk melihat langsung kondisi di barak-barak tersebut.

Versi Kedubes RRC di Jakarta terkait barak-barak reedukasi tersebut berbeda dengan yang disampaikan saksi mata kepada berbagai media dan lembaga HAM. Saks-saksi mata yang diwawancarai berbagai lembaga HAM dan media internasional mengklaim mendapat penyiksaan dalam kamp.

Mereka juga bersaksi dilarang menjalankan ritual keagamaan, bahkan mengucapkan salam secara Islami. Sementara itu, para tahanan mengungkapkan mereka dipekerjakan secara paksa tanpa dibayar atau dengan upah murah meski telah memiliki keahlian lain.

Warga Uighur yang diwawancarai lembaga-lembaga HAM internasional juga mengatakan, menolak minum alkohol dan mengonsumsi babi, membaca Alquran, mengenakan jilbab panjang, memanjangkan janggut, memiliki buku berbahasa Arab dan sajadah, serta menghubungi orang asing karena seluruhnya bisa berujung penahanan.

KH Muhyiddin tak serta merta percaya bahwa mereka yang dimasukkan ke kamp reedukasi semata yang terpapar ekstremisme. "Tapi, yang tidak masuk akal adalah, nggak mungkin itu ratusan ribu orang. Kalau sepuluh orang (terpapar ekstremisme) oke, tapi kalau yang dimasukkan ratusan ribu? Ini yang kami inginkan Pemerintah Cina transparan," ujar dia.

KH Muhyiddin mengharapkan penjelasan dari China Islamic Association (CIA) yang rencananya berkunjung ke Tanah Air pada Rabu (26/12). Kendati demikian, kedatangan tersebut tiba-tiba dibatalkan. "CIA sudah mengirim surat ke MUI, mereka tidak jadi datang ke Indonesia, saya sudah terima suratnya," kata KH Muhyiddin.

KH Muhyiddin mengatakan, rencananya CIA akan berkunjung ke Jakarta dua hari dan di Surabaya dua hari, kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Brunei Darussalam. Namun, pihak CIA menyampaikan ke pada MUI bahwa mereka kesulitan mendapatkan visa dari Brunei Darussalam. Sebab, setelah berkunjung ke Jakarta dan Surabaya, CIA akan melanjutkan perjalanan ke Brunei Darussalam.

MUI dapat memahami jika CIA membatalkan kunjungannya karena mungkin mereka mendapat tekanan dari pemerintahnya. Menurut KH Muhyiddin, bisa jadi hal itu terkait protes terhadap perlakuan RRC terhadap Muslim Uighur yang kian gencar belakangan.

KH Muhyiddin juga menyampaikan, selama ini MUI berkomunikasi dengan CIA. Ia juga beberapa kali pernah berkunjung ke Cina mewakili MUI. Selama kunjungan dan komunikasi tersebut, keterangan dari CIA tentang etnis Uighur tidak jauh beda dengan keterangan yang disampaikan Pemerintah RRC.







Sementara, lembaga amil Aksi Cepat Tanggap (ACT) juga menyatakan kesulitan masuk ke Xinjiang. "Masuk ke Xinjiang masih sangat rumit, bahkan proses untuk wisatawan yang masuk ke Xinjiang, urus visa di kedutaan besar yang biasa wawancara cukup satu kali, ternyata sampai butuh dua kali," kata General Manager Komuni kasi ACT, Lukman Aziz Kurniawan.

Karena sulit masuk ke wilayah Xinjiang, sejauh ini ACT mengirim tim asesmen ke kamp-kamp pengungsian etnis Uighur di Turki, Turkistan, Kazakhstan, dan wilayah-wilayah yang berada di dekat perbatasan Cina. Namun, belum ada kabar atau laporan yang bisa disampaikan tim.




Cina lobi ormas

Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyatakan, Nahdlatul Ulama (NU) siap menjadi mediator untuk menyelesaikan persoalan antara Pemerintah Cina dan Muslim Uighur di Xinjiang.

"NU memiliki rekam jejak menjadi juru damai antara dua kelompok yang berkonflik. Mulai dari konflik Pattani-Pemerintah Thailand, Sunni-Syiah di Irak, hingga Taliban-Pemerintah Afghanistan. Meski yang terakhir masih terus diupayakan hingga hari ini," kata Said Aqil saat menerima kunjungan Duta Besar RRC untuk Indonesia Xiao Qian di kantor PBNU, Jakarta, Senin (24/12).

Kiai Said menilai, jika persoalan Muslim Uighur adalah persoalan politik, hal itu menjadi urusan dalam negeri. "Tapi, kalau itu urusan agama, NU tidak akan diam. Kalau penindasan Pemerintah Cina terhadap suku Uighur itu karena Islam, itu kita tidak boleh diam," ujar dia.

Kiai Said mengatakan, sejak dahulu Muslim Uighur memberontak Kaisar Cina. Mereka ingin memisahkan diri dari Beijing. Hal itu disebabkan karena Muslim Uighur memiliki gen yang hampir sama dengan Asia Tengah daripada dengan mayoritas masyarakat Cina.

Jika yang terjadi di Uighur adalah separatisme, Kiai Said menekankan, hal itu tak bisa dilawan dengan kekerasan karena justru akan menguatkan pemberontakan. "Bagaimana agar Uighur mendapatkan hak-haknya, dihargai eksistensinya, dihargai haknya, tanpa harus memisahkan diri dari kesatuan RRC," usul Kiai Said.

Menurut Kiai Said, Pemerintah Cina sedianya menjamin kebebasan rakyatnya dalam beragama. Pengasuh Pesantren al-Tsaqafah ini menuturkan, dia pernah mampir ke rumah Haji Muhammad, seorang Muslim di Cina. Dari cerita Haji Muhammad, Kiai Said menyebut kalau kondisi umat Islam di Cina saat ini lebih baik jika dibandingkan dengan era komunis. "Bahkan, mereka (Muslim Cina) mendapat dukungan dalam menyebarkan agama Islam, asal tidak mengganggu ketertiban umum," ucapnya.

 


Dubes RRC untuk Indonesia Xiao Qian dalam kunjungan ke PBNU menegaskan, semua masyarakat Cina dari berbagai suku, termasuk Uighur, memiliki kebebasan dalam beragama. "Walau demikian, masih ada segelintir oknum yang berencana memisahkan Xinjiang dari Tiongkok dengan menggunakan tindakan kekerasan, bahkan terorisme," kata Dubes Qian melalui penerjemahnya.

Terkait dengan kelompok-kelompok separatis seperti itu, kata Dubes Qian, Cina mengambil beberapa langkah kebijakan. Di antaranya mengadakan program pendidikan dan vokasi sehingga mereka memiliki keterampilan untuk mendapatkan kerja. "Dan, mendapatkan pendapatan yang stabil," lanjutnya.

Dia mengklaim, program tersebut sukses karena banyak orang yang masuk program pendidikan tersebut memiliki keterampilan dan memperoleh gaji. ¦ antara ed: fitriyan zamzami. 


sumber: republika