Mendomplang Suara Pemilu dengan Suara Orang Gila
Oleh: Siti Saodah, S.Kom (Accounting Staff PT. Triacha Jaya)
10Berita – Tahun politik sudah di depan mata. Rakyat disuguhkan dengan perpolitikan negeri demokrasi. Mereka berlomba menggunakan hak suaranya untuk memilih pemimpin negeri. Bahkan demi meraih simpati suara rakyat, masing-masing kubu telah menyiapkan berbagai manuver politiknya. Dari blusukan ke pasar-pasar, bertemu dengan emak-emak atau ibu bangsa hingga mengunjungi para tokoh masyarakat di setiap daerah. Tak lain mereka lakukan untuk meraih suara masyarakat.
Namun di tengah berbagai isu politik yang sedang hangat di masyarakat, publik dikejutkan dengan pemberitaan hasil keputusan Makhamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa tunagrahita atau disabilitas mental boleh menggunakan hak pilihnya pada saat pemilihan pilpres 2019 mendatang.
Bahkan banyak pihak dari masing-masing kubu menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh kubu tim kampanye kemenangan Jokowi – Ma’ruf Amin kepada okezone pada sabtu 24/11/2018 menurutnya hak dia (disabilitas mental) sebagai warga negara untuk memilih karena ini merupakan bagian dari hak konstitusional dan hal tersebut harus dihargai (news.okezone.com).
Masyarakat seakan dibuat tertawa melihat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Seolah ini adalah bagian dari guyonan politik demokrasi. Namun hal itu diluruskan kembali oleh Komisioner Komisi Pemilihan Umum Ilham Saputra bahwa putusan tersebut merupakan keputusan Mahkamah Konstitusi yang bernomor 135/PUU-XIII/2015 di mana warga yang mengidap gangguan jiwa boleh menggunakan hak pilihnya dengan syarat khusus. Oleh karena itu, menurutnya masyarakat tidak boleh menertawakan hasil putusan tersebut (www.suara.com). Karena bagaimanapun putusan tersebut telah melalui berbagai pertimbangan yang akhirnya kaum disabilitas mental boleh menggunakan hak suaranya dengan melampirkan surat keterangan dari dokter bersangkutan.
Hasil keputusan Mahkamah Konstitusi jelas telah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Kaum disabilitas mental di Indonesia memang jumlahnya cukup banyak. Sehingga suara mereka pun akhirnya digunakan demi meraih kekuasaan di sistem demokrasi. Putusan yang sejatinya bisa dibilang tak masuk akal.
Bahkan para petugas komisi pemilihan umum akhirnya harus bekerja keras mendata para kaum disabilitas mental untuk mengikuti pemilu tahun depan. Tak mudah mendatangi dan mengajak berbicara kaum disabilitas mental disebabkan akal mereka yang tak sempurna. Setelah didata kaum disabilitas mental kemudian akan dicek kondisi kejiwaannya oleh dokter ahli sehingga akhirnya mereka dianggap layak untuk menggunakan hak suaranya di pemilu mendatang.
Sistem demokrasi seakan tak kehabisan cara demi meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya. Demi mencapai sebuah kekuasaan, sistem demokrasi akhirnya menghalalkan segala cara. Bahkan cara yang tak masuk akal pun, dianggap sah – sah saja. Belum lagi mendekati pemilu mendatang banyak cara dilakukan oleh masing – masing kubu demi meraih simpati rakyat.
Di kalangan masyarakat bawah banyak cara yang digunakan, seperti politik uang, pembagian sembako, dan bentuk-bentuk bantuan lain dengan imbalan memilih pasangan yang telah memberikan hadiah tersebut. Hal ini pun sudah dianggap lumrah di masyarakat, maka mereka pun cenderung tidak memilih calon pejabat yang tidak melakukan hal tersebut.
Namun berbeda di kalangan para terpelajar dan orang terdidik, hak suara mereka tidak mudah terbeli dengan sekardus sembako, biasanya ada ongkos yang lebih mahal untuk membeli suara mereka.
Berbagai kebusukan menjelang pemilu seolah dianggap sesuatu yang umum dimasyarakat karena inilah berdemokrasi di Indonesia. Lain halnya dengan sistem politik Islam. Politik Islam sangat menjunjung tinggi kejujuran rakyatnya. Kejujuran yang tumbuh di masyarakat merupakan buah dari keimanan dari setiap individunya.
Karena di dalam politik Islam, Negara akan menjaga ketakwaan individu hingga level para pemimpinnya. Keimanan dan ketakwaan individu juga merupakan buah dari penerapan sistem Islam di tengah masyarakat yang akhirnya menjadikan masing – masing individu merasa takut dengan sang penciptanya. Tak mudah bagi setiap individu untuk melakukan tindakan yang dilarang oleh agamanya. Karena jika pelanggaran terjadi di tengah masyarakat maka sanksi yang diberikan negara pun akan memberikan efek jera bagi individu.
Islam mengatur bagaimana cara memilih seorang pemimpin dan syarat apa saja yang diperlukan untuk menjadi seorang pemilih. Sebagai seorang pemimpin ia harus memiliki beberapa syarat diantaranya:
Pertama ia harus seorang muslim karena tidak sah jika ia adalah seorang kafir.
Kedua, ia adalah seorang laki – laki, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “tidak akan sukses suatu kaum jika mereka menjadikan seorang wanita sebagai pemimpin”.
Ketiga, adalah baligh (dewasa).
Keempat, adalah ia harus adil karena setiap apa yang dilakukan oleh pemimpin ia akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah terhadap apa yang dipimpinnya.
Kelima, ia seorang mujtahid karena jika seorang pemimpin yang tidak berilmu maka tidak sah kepemimpinannya dan akan dipertanyakan bagaimana ia akan memimpin umatnya.
Lalu berkaitan dengan pemilih, di dalam Islam pun terdapat berbagai syarat, di antaranya ia harus sudah baligh atau dewasa. Lalu dia juga harus berakal, yaitu memiliki akal yang sempurna sehingga dapat membedakan mana yang baik dan tidak.
Maka tidak sah di dalam Islam jika seseorang yang hilang akal baik mabuk ataupun gila menggunakan hak pilihnya. Karena yang dipilihnya adalah seorang pemimpin, dimana dia juga akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipilihnya dihadapan Allah SWT kelak.
Waallahua’lamu bisshowab
Sumber : Kiblat.