Mengapa Negara Gagal? Dan Akankah Punah?
10Berita INSPIRATIF! Buku setebal 582 halaman, hasil tulisan Acemoglu dan Robinson, tentang "Mengapa Negara Gagal" menarik untuk dijadikan sebagai bahan kajian.
Kedua penulis tersebut, mampu melakukan penelurusan arkeologi secara komprehensif, sebagaimana upaya Foucault dalam mencari akar pembelajaran terkait pengetahuan atas kehidupan masyarakat kuno.
Pendekatan observasional dari Acemoglu dan Robinson, terlihat mendalam pada berbagai archieve -dokumen yang tersebar, serta berhasil dikumpulkan di banyak tempat.
Pertanyaan mendasarnya, mengapa terjadi perbedaan antar negara-negara di dunia? Hal itu kemudian dilanjutkan dengan kajian mengapa sebuah negara berhadapan dengan kegagalan? Hingga pada akhirnya kita akan bisa berujung pada tanya apakah negara bisa mengalami kepunahan? Situasi terakhir ini, tentang kepunahan, tampak menjadi perbincangan politik lokal.
Maka mulailah kita pada penjelajahan melalui aspek historisitas, bagaimana negara-negara awal bermula, fase kesejarahan yang dipicu oleh faktor penggerak internal masyarakat. Alat bantu analisis yang dipergunakan dalam kajian ini tipikal dengan pendekatan perspektif kritis, yakni perubahan masyarakat, terjadi melalui gerak model produksi dipicu kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
Kepentingan ekonomi menjadi faktor pendorong terbesar, pun termasuk dalam kepentingan ekspansi menuju dunia baru oleh bangsa-bangsa Eropa.
Kehadiran Inggris di Amerika Utara dan Spanyol di Amerika Selatan, melalui imperialisme dan kolonialisme menghadirkan wajah baru benturan peradaban penduduk lokal penghuni negeri tersebut. Spanyol menghadirkan cara-cara fisik dalam dominasi Amerika Selatan, penguatan kelompok represif untuk berhadapan.
Sedangkan Inggris menghadirkan model pendekatan pembentukan koloni percontohan yang secara perlahan dipandu dengan pembangunan kemandiriaan koloni, lantas berakulturasi dengan penduduk lokal, disertai dengan pengelolaan manajerial atas lahan teritorial Amerika Utara, menghadirkan kemampuan jangka panjang, dibandingkan Amerika selatan dalam cengkraman Spanyol yang sukses dalam akumulasi harta kekayaan bagi negara induknya dalam waktu cepat, bersifat jangka pendek.
Kelompok kelas penguasa, baik secara alamiah yang terdapat dalam struktur sosial masyaraat asli Amerika Utara dan Selatan, maupun kelas penguasa baru paska kehadiran imperialisme Spanyol dan Inggris, sepanjang sejarahnya merupakan kolaborasi dari para pemegang kekuasaan beserta pengusaha.
Legitimasi sebagai bentuk dari transformasi kedaulatan publik, adalah bentuk pelengkap penyerta kekuasaan yang dilingkupi berbagai mitos untuk menjaga langgengnya kekuasaan tersebut.
Disparitas antar Negara
Indikasi dari negara gagal, terletak pada ketidakmampuannya untuk dapat menghadirkan ruang kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga negara. Hal tersebut, dalam tesis yang ditawarkan Acemoglu dan Robinson tidak seperti yang sering didengungkan oleh para peneliti sebelumnya, yakni terkait dengan aspek geografi, budaya dan terkait kebodohan.
Mitos-mitos yang selama ini dipersangkakan tersebut, tidak mampu menjelaskan secara sederhana perbedaan antara Korea Utara dan Korea Selatan.
Perbedaan yang terjadi diantara kedua negara semenanjung Korea tersebut, tidak mencerminkan kaidah geografis dan budaya yang berbeda satu dengan yang lain. Bahkan terbilang tipikal, tetapi mengapa kemudian terjadi perbedaan?
Kerangka pemerintahan, termasuk konteks ideologi didalamnya, yang lebih dinyatakan sebagai faktor pengaruh. Logika ini sesuai dengan proyeksi Fukuyama tentang 'the end of history' mengenai perang ideologi yang memastikan kematian komunisme dan kemampuan bertahan kapitalisme, dalam bentuk mutakhir demokrasi liberalisme.Demikian juga yang terjadi di Jerman Timur dan Uni Soviet, kedua negara tersebut dianggap gagal pada akhirnya dan berujung kepada pembubaran.
Istilah negara bubar, tentu memiliki konsekuensi yang berbeda dengan negara punah. Meski kemajuan Uni Soviet pada awal pendiriannya sempat mengundang perhatian besar, atas kemajuan pembangunan secara signifikan yang ditampilkannya.
Kegagalan sebuah negara, disebabkan karena kegagalan dalam mengubah bentuk negara ekstraktif menjadi inklusif, dengan kemampuan adopsi pengetahuan dan teknologi.
Dalam banyak kajian negara-negara yang dikategorikan sebagai “negara maju” yang diwakili Eropa serta Amerika, dan 'negara terbelakang' sebagaimana kebanyakan Asia dan Afrika, ternyata faktor budaya dan kekayaan alam tidaklah menentukan kemampuan negara untuk mencapai kemajuan. Bahkan secara ironis, negara-negara berkategori 'miskin' sesungguhnya memiliki potensi kekayaan alam yang besar.
Seperti kawasan Afrika yang kaya akan kandungan mineral serta batuan mulia, tetapi dalam kondisi kontradiktif 'tertinggal', maka ketidakmampuan negara-negara di sub-sahara tersebut untuk membangun partisipasi serta emansipasi publik, memang dikonstruksikan untuk mempertahankan kekuasaan kelompok penguasa.
Mekanisme kekuasaan yang koruptif, dengan memusatkan kepentingan disegelintir tangan pemegang kekuasaan inilah yang disebut sebagai mesin ekstraktif.
Berbeda dengan mesin negara inklusif yang memberikan ruang kompetisi, adanya pengakuan pencapaian prestasi individu, termasuk partisipasi dan keterlibatan publik dalam pebentukan dan perumusan kebijakan. Meski tersentralisasi tetapi arah tujuan difokuskan pada kepentingan yang berdampak meluas. Perimbangan peran dan kekuasaan antar aktor yang terlibat dalam kolektif kenegaraan, termasuk publik menjadi simetris dan setara.
Apakah Bisa Punah?
Kita kembali kepada bagaimana bubarnya Uni Soviet, sebagai titik pandang untuk membahas tentang bubarnya sebuah negara, guna mendapatkan acuan dasar. Uni Soviet sempat menjadi kubu penanding kapitalisme barat dengan uji coba negara komunisme yang mensentralisasi kehidupan publik dibawah otorisasi politbiro, komisi tertinggi dan menjadi penentu mutlak. Absolutisme, memiliki dimensi yang ekstrim serta berbeda, dari jenis sentralisasi yang dapat dikategotikan inklusif.
Pada level absolutisme, kekuasaan berubah menjadi hegemonik, serupa para pemimpin karismatik yang nampak tidak pernah berbuat salah serta tidak memerlukan koreksi, khususnya dari pihak oposisi sebagai bagian pembanding.
Absolutisme dalam komunisme Uni Soviet, mengubah watak negara dari yang semula diharapkan menjamin kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran publik, menjadi kontrol secara totaliter dalam merepresi warga yang diagungkannya.
Saat awal kemunculan komunisme Uni Soviet, dunia sempat dibuat terperangah dengan kemampuan mesin ekstraktif negara dalam bingkai absolutisme dengan menghadirkan kemajuan pembangunan fisik dan teknologi, yang sempat ditakuti pihak sekutu Barat. Tetapi tidak lama, kemajuan yang ditopang basis infrastruktur bersifat semu itu akhirnya tumbang.
Kemampuan negara semisal Uni Soviet untuk melaju pesat pada awal kehadirannya, memberikan gambaran mekanisme represi kepada ilmuan dan pusat industri pengetahuan sedemikian kencang.
Namun pada akhirnya, kemajuan tersebut kemudian bersifat stagnan karena ketidakmampuan untuk melakukan inovasi baru. Hal itu terhalang oleh kepentingan kekuasaan yang sangat mungkin dapat terusik keberadaannya, dari kehadiran teknologi baru. Seperti saat ini pola sensor dan blokir kerap digunakan pada perkembangan dunia internet dan jagad maya.
Apakah Uni Soviet mengalami kegagalan? Tentu saja. Kegagalan yang teramat vital hingga berujung pada pembubaran komitmen bagian-bagian dalam struktur Uni Soviet. Lantas apakah punah? Agaknya tidak demikian, karena wajah Uni Soviet tersebar k edalam berbagai bentuk negara baru paska keruntuhannya. Termasuk pewaris besarnya yakni Rusia. Jadi apa penyebab utama perbedaan antar negara dan kegagalan sebuah bangsa? Satu jawaban yang pasti adalah karena ketidakmampuan melakukan pengelolaan dari bentuk inklusif, dari wajah buruk bentuk ekstraktif.
Substansi dasarnya adalah sifat ketamakan yang terkandung dalam kekuasaan, yang kemudian membutakan para pemangku kuasa, sekaligus mmencerabut kepentingan publik dari kehidupan bersama dalam balut institusi sosial politik bernama negara tersebut.
Penulis: Yudhi Hertanto
Sumber :