10Berita  Perhelatan akbar reuni 212 di lapangan Monas Minggu 2 Desember 2018 telah membuat sejarah Pers Indonesia menuju sakaratul maut. Pers Indonesia digambarkan oleh pengamat media, Hersubeno Arif sebagai bunuh diri massal (Cakrawala, 4/11/2018).

Aksi 212 dari Bundaran HI hingga Monas (IDN Times).
Mengapa? Karena peristiwa sebesar itu diabaikan saja, seakan mereka berpendapat bahwa memberitakan persitiwa itu takut dituduh pendukung kontra Ahok. Yang menyedihkan adalah mungkin takut dituduh sebagai kelompok radikal dan intoleransi, hingga anti NKRI. Maasyaa Allah.
Luar biasa sikapnya jika demikian halnya. Padahal siapapun tahu kalau perhelatan ini adalah untuk mengukuhkan NKRI, tentu dengan cara mereka yang adil dan tidak mengkriminalkan ulama.
Hanya Republika dan Rakyat Merdeka yang menempatkan peristiwa Reuni 212 sebagai head line. Lainnya nyungsep, tiarap atau bahkan sengaja melakukan black out.

Sindiran netizen terhadap TVRI dan tv grup Pro Jokowi (ist).
Televisi juga demikian, hanya TV One yang melakukan siaran langsung. Lainnya digambarkan “no signal” sebagai sindiran mata mereka buta terhadap peristiwa yang sesungguhnya memiliki nilai berita besar tapi diabaikan. Televisi yang menutup informasi aksi 212 sesungguhnya telah mengkhianati publik, melanggar hal publik akan informasi, karena frekuensi yang mereka pakai sesungguhnya adalah milik publik.
Mungkin mereka memberitakan, tapi hanya sekadar berita biasa. Bahkan ada koran Warta Kota yang memilih berita negatif dengan membuat judul “Ketua RW Meninggal usai Aksi 212” daripada kemeriahan dan pesan yang disampaikan ke publik dari peristiwa 212 ini.
Sementara Harian Kompas hanya menempatkan berita lima kolom di halaman 15 sebagai halaman buangan. Sedangkan Harian Media Indonesia milik Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh juga bersih dari foto dan berita Reuni 212. Mereka memilih berita utama dengan judul “ PP 49/2018 Solusi bagi Tenaga Honorer.”
Apa yang terjadi pada media kita, telah mempertontonkan hilangnya akal sehat. Teori jurnalistik dijungkirbalikkan. Siapapun tahu bahwa perhelatan Reuni Akbar dengan hadirnya jutaan manusia yang memenuhi taman Monas, jalan Thamrin, Bundaran HI, jalan Kwitang, Gondang dia, Kebon Sirih dan enam jalan masuk Monas semua tumpah ruah manusia dari berbagai penjuru kota. Semuanya tampak seperti lautan putih.
Memang ada yang sinis dengan jumlah orang yang disebutkan lebih besar dari aksi serupa tahun 2016 yang diklaim mencapai 7 juta orang. Katakanlah kali ini hanya satu juta orang atau hanya 20 ribu orang seperti yang diperkirakan Neta S Pane dari IPW. Tetap saja tak bisa dibantah bahwa kejadian ini memenuhi unsur nilai berita. Mulai dari luasnya pengaruh (magnitude), kedekatan (proximity), aktual (kebaruan), dampak (impact), masalah kemanusiaan (human interest) dan keluarbiasaan (unusualness).

Aksi 212 di Monas (ist).
Pertanyaannya kemana para wartawan? Mungkin wartawan tetap ada dan meliputnya atau malah menjadi peserta aksi, namun kebijakan redaksi media meanstrim di Indonesia telah terkooptasi oleh penguasa.
Mereka melakukan framing dan black outterhadap peristiwa ini, karena mereka adalah para pemilik modal yang sedang mengambil keuntungan dari penguasa. Hanya beberapa saja media yang masih konsisten pada jalurnya sebagai media yang independen. Lainnya menjadi kacung penguasa.
Seorang Netizen Teuku Iqbal mengatakan, “Media mainstream sdh banyak tersandera dan perlahan mati dlm pilihan konyol sang pemilik modal dan idealisme sebagai pakaian kebanggaan insan pers bisa berakhir mati dalam kedunguan. Kasihan.”
Netizen Sugeng Satya Dharma menyebut “Sekarang Kompas dan Media Indonesia sudah jatuh derajatnya menjadi sekedar Brosur Istana. Kasihan........”
Ada juga yang menyebut koran kita menjadi sampah. Boleh jadi demikian, apalagi ada koran besar hari itu menjadikan topik utama di halaman muka dengan foto dan artikel tentang sampah. Sebuah plihan isu yang sesungguhnya bisa ditunda tapi dipilih untuk menghindari isu Reuni 212.
Apapun alasannya, permainan para pemilik modal dan pengelola media yang berselingkuh dengan penguasa ini jelas tidak boleh dibiarkan. Hersubeno Arief’s corner menyebut mereka tidak menyadari sedang bermain-main dengan sebuah permainan yang berbahaya. Dalam jangka pendek kredibilitas media menjadi rusak. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan. Mereka akan ditinggalkan.
Intinya, kondisi pers kita sedang dalam bahaya menuju kematian. Para pemilik modal musti disadarkan bahwa mereka menggunakan ruang publik, sehingga tetap harus membela kepentingan publik, bukan penguasa atas rakyat.
Tentu saja para pemilik modal dan medianya tidak ingin disebut sebagai pengkhianat bangsa hanya karena gelap mata dan kedunguan terhadap peristiwa yang sesungguhnya dibutuhkan publik. Anehnya Dewan Pers, IJTI dan KPI pun tak terdengar suaranya. Wallahu a’lam (Opini pribadi fur/4/2018).
Sumber : UC News