OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 02 Januari 2019

BPI Nilai Pembelian Saham Mayoritas PT. Freeport untuk Strategi Politik Pencitraan Gagal di Mata Masyarakat

BPI Nilai Pembelian Saham Mayoritas PT. Freeport untuk Strategi Politik Pencitraan Gagal di Mata Masyarakat

Tambang PT Freeport.

10Berita  JAKARTA - Direktur Eksekutif Bimata Politica Indonesia (BPI) Panji Nugraha mengatakan, ramai diperbicangkan publik soal pembelian saham 51% dari PT. Freeport yang dianggap sebagai prestasi dari petahana, dan sebagai alasan untuk memilih petahana pada Pilpres 2019, dapat dikatakan gagal.
Pasalnya, hal tersebut justru menuai sentimen negatif publik karena dianggap jika memang negara ingin menunjukkan rasa nasionalisme, seharusnya dapat diambil alih seluruhnya pada massa kontrak karya habis di tahun 2021.
“Kesuksesan yang dianggap prestasi petahana justru menimbulkan pertanyaan publik dan tidak sedikit sentimen negatif para ekonom, dan aktivis. Karena pemerintah dianggap keliru jika dapat memainkan strategi meraih simpati atas penguasaan saham mayoritas PT. Freeport sebagai counter tuduhan antek asing pada masa kampanye saat ini,” tutur Panji dalam rilisnya.
Panji menambahkan, justru publik mengeluhkan kenapa pemerintah tidak bersabar hingga tahun 2021 dan kenapa harus mendekati Pilpres 2019 ? Wajar saja jika akhirnya publik bertanya-bertanya dikarenakan faktor politis dan kebijakan pemerintah dalam membeli saham PT. Freeport.
Hal tersebut dapat tercermin dari beberapa faktor. Pertama, PT. Inalum menerbitkan global bond dan klausul yang diterima dari penjualan tersebut justru sangat beresiko tinggi dengan resiko jangka pendek dan membuat BUMN PT. Inalum harus menanggung hutang yang besar dengan jangka waktu yang lama. Jika pemerintah bersabar tentu baik PT. Inalum maupun PT. Freeport dapat dikuasai tanpa harus membuat utang luar negeri baru.
Kedua, statement Menko Maritim yang saat ini diputar kembali oleh publik ketika di MKD DPR RI kasus 'papa minta saham', sebagai salah satu pertimbangan banyak orang mengkritik kebijakan tersebut, selain soal jika menunggu kontrak karya selesai PT. Freeport akan dikuasai sepenuhnya oleh Indonesia, dan jika terjadinya pembelian saham seolah hanya untuk menjaga hubungan baik dengan USA.
Dari potongan statemen jelas sebagian publik yang bertanya kedekatan momentum pembelian saham dengan waktu Pilpres 2019 terjawab dengan berbagai spekulasi. Karena dengan membeli sebagian besar saham mayoritas PT. Freeport artinya menyisakan saham lainnya selain saham 10% Pemda Papua.
Dengan demikian sisa saham masih dimiliki oleh pemilik PT. Freeport yang dahulu hal tersebut menjelaskan kepemilikan PT. Freeport saat ini tidak dikusasi penuh oleh Pemerintah dan masih menyisakan kepemilikan asing.
Ketiga, seolah jual beli saham PT. Freeport mengingatkan kembali luka lama saat mencuatnya kasus “Papa Minta Saham”, yang dibongkar oleh Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan ada yang mencatut nama Presiden Jokowi dalam percakapan tersebut, yang melibatkan eks Ketua DPR RI Setya Novanto, pengusaha dan para pejabat lainnya. Maka wajar kemudian publik mempertanyakan lagi dan meminta KPK menelusuri pembelian saham PT. Freeport tersebut jangan sampai ada unsur kerugian negara untuk menjawab kekhawatiran dan spekulasi publik.
Keempat, soal temuan pelanggaran lingkungan PT. Freeport sebesar Rp185 triliun oleh BPK, yang hingga saat ini publik bertanya soal penyelesaiannya dan seharusnya peristiwa tersebut pula menjadi pertimbangan sebelum membuat kebijakan membeli saham mayotitas PT. Freeport dengan skema Government to Business (G2B). Pemerintah mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi jika dapat melihat celah pelanggaran lingkungan sebagai salah satu pertimbangan negosiasi dengan PT. Freeport.
“Sebenarnya banyak permasalahan dari mulai soal smelter dan kasus kepegawaian yang perlu dijadikan landasan bertindak untuk mengambil alih PT. Freeport. Bukan hanya sebagai kebijakan semata yang dikritik melainkan publik juga kritis dan menganggap jika pembelian saham mayoritas PT. Freeport dijadikan sebagai isu politik untuk memperkuat alasan memilih Petahana di Pilpres 2019 justru blunder dan keliru serta gagal meraih simpati publik”, tutup Panji. (rilis)

Sumber : Haloriau