OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 21 Januari 2019

[Wawancara] Pernyataan Tidak Intervensi Hukum Timbulkan Efek Buruk Bagi Jokowi

[Wawancara] Pernyataan Tidak Intervensi Hukum Timbulkan Efek Buruk Bagi Jokowi

10Berita  – Debat Pilpres 2019 putaran pertama membahas masalah hukum, HAM, korupsi dan terorisme. Ada sejumlah catatan bagi presiden petahana Joko Widodo, yang kembali terlibat dalam debat Pilpres kali ini, terkait proses penegakan hukum.
Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Mudzakir mengungkapkan sejumlah catatan kinerja Jokowi terkait penegakan hukum di Indonesia. Berikut wawancaranya dengan Kiblat.net, Kamis (17/01/2018).
Bagaimana penegakan hukum di masa pemerintahan Joko Widodo?
Ini ada sedikit masalah, jika penegakan hukum di era Jokowi ini. Menurut saya, ada bagian-bagian tertentu yang malah memperlemah proses penegakan hukum, kasus yang tidak diselesaikan. Adalah penyiraman Novel Baswedan, terhadap Novel ini menurut saya sebagai pengamat hukum pidana adalah persoalan serius. Karena ini akan ada efek-efek terhadap penegakan hukum yang lain, karena fokusnya terhadap tindak pidana korupsi.
Jadi kalau perkara Novel ini tidak diselesaikan di era Jokowi ini, padahal itu sudah dua tahun yang lalu, terus kemudian terakhir ini diterbitkan tim gabungan, ini menunjukkan bukti lemahnya penegakan hukum terkait dengan penegakan hukum TPPK (tindak pidana pencegahan kriminal).
Novel dan KPK adalah simbol perlawanan terhadap tindak pidana korupsi, saya ulangi lagi. Karena dari awal disadari, pembentukan ini didasari karena ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum, penyidik polisi, jaksa, menangani TPPK plus juga hakim.
Kemudian dibentuk lembaga tandingan yang melakukan counter terhadap penegakan TPPK, maka lahirlah KPK yang dia punya penyidik sendiri, penuntut sendiri. Bahkan dia juga punya akses sebagai hakim ad hoc, tampil untuk mencari solusi terhadap ketidak percayaan terhadap hakim.
Ketika penyidik KPK digebuki seperti ini dan dilakukan penganiayaan berat seperti itu, ternyata penyidik polisi tidak melakukan tindakan yang signifikan sehingga pelakunya bisa segera ditangkap dan bisa segera diadili seperti haknya tindak pidana yang korbannya polisi dan jaksa. Ini yang jadi pertanyaan besar.
Padahal jika tindakan itu terhadap Novel disebabkan karena menghalang-halangi penyidikan atau hal lainnya, itu harus prioritas untuk segera dilakukan, karena efeknya akan berpengaruh kepada penegakan hukum di Indonesia. Nah, ini ternyata tidak ada progres yang bisa meyakinkan itu, dan kembali lagi presiden nampaknya kurang begitu segera mengambil keputusan untuk mempercepat proses penanganan perkara penganiayaan Novel.
Akhirnya muncullah akhirnya ini ada terjadi pengeboman terhadap rumah komisioner KPK. Pengeboman ini tidak pernah nampak siapa yang mengebom. Dan jika ini terbukti, kemudian tidak segera diungkap di sidang pengadilan, dan Novel juga tidak, ini efeknya luar biasa dalam penegakan hukum. Sehingga praktik penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi dan jaksa itu cenderung pada perkara yang kecil. Dan KPK perkara yang besar dan resikonya mengalami hal yang besar seperti ini.
Jadi kalau KPK terpengaruh terhadap teror-teror seperti itu, itu efeknya akan luar biasa dan KPK ini menangani perkara yang besar dan melibatkan para pejabat. Bahkan yang terakhir ini melibatkan yang namanya proyek Meikarta. Dan Meikarta sudah nampak disitu seperti simbol pembangunan yang besar.
Nah ini yang jadi pertanyaan pokok saya adalah image tidak ditangani kasus Novel, mungkin ancaman-ancaman yang menurut satuan KPK itu 9 kali lebih untuk melakukan ancaman terhadap KPK, dan terakhir ada pengeboman itu tidak juga nampak ditangani secara serius oleh aparat penegak hukum kepolisian.
Ini yang menurut saya menjadi efek buruk terhadap citra Jokowi, sebagi bagian dari penyelenggara penegakan hukum, ini disebabkan karena tema besar reformasi ini pemberantasan TPK (tindak pidana korupsi), dan itu efeknya menjadi kurang bagus.
Soal anggapan adanya diskriminasi dalam hukum?
Jika terhadap penindakan pidana umum memang kesannya seperti itu. Terjadi apa yang namanya mengarah kepada penegakan hukum yang sifatnya diskriminatif, apalagi satu tahun terakhir. Tahun politik 2018 sampai 2019 awal-awal sudah menunjukkan ke arah sana. Ini terkait mentalitas aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi dan jaksa. Walaupun mungkin jika dibuktikan, apakah ada hubungannya atau tidak perintah Jokowi, bagi saya itu bukan ada perintah atau tidak ada perintah, istilah yang lain, bahasa simbol saja sudah mengerti.
Bahasa simbol maksudnya?
Bahasa simbol itu begini, perlu melakukan ini itu, jika ada kode-kode, perlu begini begitu sudah ngerti jika terjadi situasi yang cenderung diskriminasi ini. Kalau statemen Pak Jokowi selalu mengatakan bahwa tidak ikut intervensi dan sebagainya. Ada makna intervensi yang positif dan negatif, mengambil kebijakan untuk mempercepat proses hukum, atau menciptakan penegakan hukum yang fair dan adil, terhadap aparat penegak hukum itu intervensi yang positif.
Maka dikatakan bukan intervensi, itu adalah bagian yang merupakan tanggung jawab presiden. Dalam hal ini Jokowi untuk menegakkan hukum tanggung jawab eksekutif. Jadi kalau ada indikasi diskriminatif, maka panggil itu Kapolri, panggil itu jaksa, supaya mengambil kebijakannya obyektif siapapun yang melanggar harus diproses, ini harusnya dilakukan.
Seperti Novel Baswedan, tidak ada satupun kebijakan presiden untuk mempercepat proses itu. Panggil itu Kapolri untuk mempercepat prosesnya, kalau perlu tantang saja itu kapolrinya, kamu bisa menyelesaikan masalah ini berapa hari atau bulan. Kalau anda tidak bisa saya copot kapolrinya, itu namanya kebijakan, bukan intervensi. Melakukan kebijakan untuk mempercepat proses penyelesaian tindak pidana yang dinilai mempengaruhi penegakan hukum.
Yang lain-lain juga sama. Tapi jika presiden selalu mengatakan presiden tidak intervensi, menurut saya akan menimbulkan efek buruk bagi pak Jokowi sendiri. Karena dia punya kekuasaan, kewenangan untuk mengambil kebijakan terhadap pimpinan-pimpinan penegak hukum, dan itu tidak dilakukan.
Jadi yang tadi dikatakan, akan ada indikasi diskriminatif. Indikasi diskriminatif terjadi karena kalau sekarang itu ada oposisi dan partai berkuasa, kalau itu dari pihak oposisi selalu digebuknya agak serius, tetapi sebaliknya kalau dari pihak partai penguasa dicari pasal-pasal yang meringankan, biasanya.
Ambil contoh kasus pembakaran bendera bertuliskan laa ilaaha illallah, ternyata itu tidak nggak diadili sampai hari ini. Tapi justru yang diadili adalah perbuatan ini adalah sebagai bagian dari gangguan ketertiban umum, maupun rapat umum.
Kalau gangguan rapat umum itu artinya membakar bendera itu mengganggu rapat umum, artinya pembakaran bendera itu seolah-olah itu dibolehkan. Padahal yang dituntut oleh pemilik bendera yang mengibarkan itu adalah membakar bendera adalah tindak pidana, itu yang disebut sebagai penghinaan terhadap tulisan asyhadu alla ilaaha illallah. Jadi maknanya biar berbeda, ini contoh yang saya katakan ada indikasi yang kurang fair dalam penegakkan hukum.
Adanya wewenang dari presiden untuk intervensi dan tidak dilakukan, apa dampaknya jika tetap seperti itu?
Jadi kalau lihat selama ini, pernyataan ini selalu diulang-ulang tidak mau intervensi dan sebagainya. Di dalam hukum intervensi dalam penegakan hukum mempengaruhi proses penegakan hukum, yang seharusnya adil menjadi tidak adil, yang seharusnya dihukum menjadi tidak dihukum dan seterusnya. Itu namanya intervensi yang negatif. Itu yang harus dihindari dan itu kalau terjadi, presiden sudah melakukan pelanggaran dasar undang-undang 45, yakni pasal 24 ayat 1 UUD 45. Jadi itu nggak boleh.
Kalau itu maksudnya seperti itu, jelas itu memang nggak boleh. Bukan hanya presiden, semua orang tidak boleh mempengaruhi proses penegakan hukum, karena penegakan hukum itu adalah melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam wilayah eksekutif yang tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan manapun dan dipengaruhi kekuasaan manapun. Jadi, itu nggak boleh.
Tapi kalau sebagai bagian dari tanggung jawab, mereka mengambil kebijakan. Tadi intervensi dimaknai sebagai sebuah kebijakan untuk penegakan hukum yang efektif dan effisien, penegakan hukum yang fair dan sebagainya, itu wajib dilakukan.
Saya ulangi lagi, wajib dilakukan demi tegaknya hukum dan keadilan. Dan kalau itu tidak dilakukan sama dengan melakukan tindakan pembiaran yang risikonya juga mempengaruhi image dari presiden itu sendiri.
Apakah bisa disimpulkan penegakan hukum di era Jokowi tidak adil?
Jadi, kalau saya boleh jelaskan, Pak Jokowi tidak melakukan kebijakan dalam penegakkan hukum yang efektif dan effisien dan penyelenggaraan peradilan yang adil dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, begitu.
Yang menjadi tanggung jawabnya eksekutif itu kan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Ini mestinya harus fair gitu ya. Saya ambil contoh misalnya, kasus yang melibatkan Hary Tanoe yang dulu terpublikasi terkait dengan mobile 8, itu kan dulu dia sudah terindikasi terkait dengan masalah pajak, restitusi. Itu terindikasi terjadi tindak pidana korupsi sekitar 8 milyaran, tapi tiba-tiba menghilang begitu saja.
Pertanyaannya menghilang itu kemana? Nah ini yang saya katakan seharusnya kalau jadi presiden kan mestinya, tolong diselesaikan sampai di pengadilan. Supaya nanti terbukti dan tidak berhenti di urusan pengadilan, jangan dibiarkan begitu saja. Kalau dibiarkan, nggak melakukan tindakan pengambilan kebijakan, kenapa harus diberhentikan tolong laporkan pada saya, misalnya begitu kan itu memberi support terhadap penegakan hukum yang adil.
Jadi kalau tadi dijelaskan, Pak Jokowi kurang memberikan kebijakan dalam penegakan hukum yang efektif dan efisien, karena tidak melakukan tindakan hukum atau kebijakan hukum itu, yang menyebabkan terjadinya proses peradilan yang tidak adil dan diskriminatif terhadap para pelaku terduga melakukan tindak pidana.
Atau bisa dikatakan secara tidak langsung Jokowi tidak mendukung penegakan hukum yang adil?
Bukan tidak mendukung, tapi secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap kondisi yang praktek peradilan yang tidak fair lagi. Jadi jangan katakan mendukung, kalau mendukung lain lagi karena dia punya kewenangan untuk tidak digunakan.
Catatan lainnya?
Itu terkait tindak pidana umum. Terkait dengan masalah penegakan hukum yang lain, terutama terhadap aparat penegak hukum dan seterusnya itu, sebaiknya dibuka kembali file Pak Jokowi janjinya apa terhadap pembaharuan, terhadap penegakan hukum itu atau penegakan hukum itu sendiri. Dulu janjinya apa?
Kalau dulu janjinya untuk mereformasi hukum memperbaiki hukum dan seterusnya, tinggal bikin ceklis aja Pak Jokowi , ini apa sesungguhnya. Tapi kesan tadi yang saya maksud adalah terjadi tidak dihubungkan dengan masalah janji, kalau terakhir yang tambahan diceklis aja janjinya mau apa waktu itu dibidang hukum dan sekarang sudah dilaksanakan sampai dimana.
Dulu kalau tidak salah saya pernah mendiskusikan itu, janji-janji itu antara lain akan melakukan ini, akan melakukan ini, perubahan undang-undang dan sebagainya. Sampai dimana perubahan itu hingga sekarang ini, jadi saya kira itu hubungannya dengan janji.
Kalau Prof. Mudzakkir melihat janji-janji tersebut sudah terpenuhi berapa persen?
Kalau persen saya agak sulit kalau bidang penegakan hukum menurut saya. Tadi sudah saya uraikan nampaknya, kalau persentase saya nggak bisa melakukan itu. Yang dirasakan oleh masyarakat sekarang itu nampaknya lebih jauh dari apa yang dijanjikan dulu.
Dirasakan, karena rasa itu menjadi penting dalam hal tindak pidana korupsi nampaknya juga kurang fair juga. Banyak penegakan hukum yang lebih banyak miring-miring kecilnya itu. Kalau partai politik itu ya oknum, maksud saya yang kecil-kecil, yang besar kan kurang terjangkau disitu.
Dan, bagian yang paling penting lagi adalah tidak juga dikendalikan yang namanya korupsi itu yang mana dan kemudian yang administrasi yang mana. Sehingga kemudian banyak pegawai yang dikorupsikan padahal itu melanggar hukum administrasi. Jadi terminologi korupsi sekarang itu adalah ditargetkan menjadi yang berbeda-beda.

Sumber : Kiblat