OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 11 Februari 2019

UU ITE, Senjata Mematikan Rezim Represif

UU ITE, Senjata Mematikan Rezim Represif

Oleh: Ifa Mufida (Pemerhati Masalah Sosial) 

Setelah berhasil memproduksi senjata yang mematikan, rezim ini pun tak segan-segan menggunakan senjatanya untuk meneguhkan kekuasaannya. Senjata itu kita kenal dengan UU ITE. Kini, kebebasan berpendapat di Indonesia berada dalam pusaran kondisi kritis bahkan sedang menjemput kepada kematian. Setiap pendapat dan bahkan hanya sekedar pernyataan yang berbeda dengan pemerintah menjadi layak untuk dikatakan sebagai kejahatan. Bahkan pejabat yang mengkritik kebijakan pemerintah yang pro asing dan merugikan rakyat langsung dibungkam.
Banyak tokoh yang sudah menjadi korban senjata jahat rezim ini. Tak tanggung-tanggung, atas alasan ujaran kebencian atau dengan alasan yang lain dianggap melanggar UU ITE, akhirnya seseorang dijebloskan ke dalam penjara. Yang jelas, dengan senjata ini rezim bisa memenjarakan siapa saja yang tidak sesuai dengan kepentingannya. Kita lihat saja kasus penangkapan dan proses penahanan Ahmad Dhani.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah memutuskan bahwa Ahmad Dhani terbukti melakukan tindak pidana yang diatur ancaman hukuman pidana pada pasal 45A ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE juncto pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ahmad Dhani Prasetyo dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara. Dan saat itu juga, dilakukan penahanan di rutan Cipinang. Sontak, keputusan hakim tersebut menuai kritik dari berbagai tokoh lainnya. Katakanlah Fahri Hamzah, Fadli Zon, Amin Rais, dan lainnya. Mereka sepakat, bahwa ada kejanggalan dalam putusan hakim PN Jaksel tersebut. Dan, pihak pengacara mengajukan banding.
Sudah jadi rahasia umum, bahwa hukum saat ini nampak secara gamblang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Bukan ditegakkan atas nama keadilan. Buktinya, laporan atas kasus Viktor Laiskodat, Abu Janda, dan lainnya tenggelam tidak diproses. Karena, mereka berdiri di sisi kubu penguasa. Sedangkan, jika laporan terhadap kubu oposisi dan umat Islam (khususnya) akan diproses secepat kilat. Semisal Gus Nur, Habib Bahar, Jonru, Buni Yani, Ahmad Dhani, dan lainnya.
Demikianlah sekelumit fakta bahwa pasal karet pada UU ITE akan terus dijadikan alat untuk menghabisi siapapun yang tajam mengkritik kebijakan pemerintah. Sehingga, kegiatan lapor-melaporkan antar masyarakat terus berlanjut. Apalagi, bagaimana jika hukum berat sebelah? Tajam pada lawan politik dan tumpul pada kawan.  Wajar kalau banyak pakar menyebut rezim ini  sebagai rezim yang represif. Rezim yang dipimpin oleh orang-orang yang haus kekuasaan. Mereka membuang praduga tak bersalah dan kemanusiaan. Takut kekuasaan yang digenggam akan lenyap. Padahal, mereka lupa bahwa Allah bisa mencabut kekuasaan dari siapa saja dan kapan saja.
Sampai kapan kita mau dan mampu bertahan dalam tekanan rezim ini. Rezim yang dholim dan membenci Islam, terlebih kepada kebangkitan Islam. Demokrasi telah nyata memberikan banyak ketimpangan di dalam kehidupan, mungkin sudah saatnya ditinggalkan. Sudah saatnya masyarakat terkhusus Indonesia mencari solusi segala permasalahan dari  jalan yang diberikan oleh Allah SWT. Karena hanya Allah SWT saja, sejatinya yang faham dan tahu kebutuhan manusia yang serba lemah dan terbatas.
Islam memiliki pengaturan yang sempurna dari hal yang kecil hingga tataran negara. Di dalam pengaturan Negara, koreksi dan evaluasi terhadap pemimpin Islam justru menjadi hal yang sangat dianjurkan bahkan wajib bagi kaum muslim. Tertoreh di dalam sejarah emas kekhilafahan Islam, para pemimpin yang sangat memperhatikan pendapat dan nasihat dari umat yang dipimpinnya.
Sebagaimana kisah Umar bin Khattab. Alkisah suatu ketika, ia pun ditegur oleh seorang wanita setelah berpidato di depan khalayak ramai.  “Wahai Amirul Mukminin, apakah kitab Allah yang lebih berhak diikuti ataukah ucapanmu?”
Lantas Umar menjawab, “Tentu Al-Qur’anlah yang lebih berhak diikuti. Apa yang Anda maksudkan?” lanjut Umar.
Engkau baru saja melarang memberi mahar melebihi mahar Rasulullah, padahal Allah berfirman, “Dan kalian telah memberikan pada salah satu wanita harta yang banyak sebagai mas kawin….” Wanita tersebut mengutip Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 20, saat Umar membatasi mahar tidak melebihi 12 uqiyyah(30 dirham), sesuai dengan sunnah Nabi.
Umar berkata, “Setiap orang lebih paham agama daripada Umar!”
Umar mengulang-ulang ucapannya tiga kali. Lalu naik ke mimbar untuk mencabut pernyataannya. Larangan Umar tersebut sebenarnya tidak haram, hanya makruh. Dan, dalil yang disampaikan wanita tersebut, berkaitan dengan istri yang meminta cerai, sementara ia telah diberi mahar yang banyak. Maka, laki-laki tersebut tidak boleh mengambil kembali mahar yang menjadi hak istrinya. Tapi, begitulah Umar, ia memang benar-benar menjalankan pemerintahannya sesuai dengan Al-Quran dan sunnah.
Bahkan, setiap teguran baginya adalah kebaikan. Justru, ia merasa sedih jika tidak ada yang menegurnya. Sahabat Hudzaifah bin al Yaman, mendapati Umar bersedih dan muram. Ia bertanya, “Apa yang sedang kau pikirkan, wahai Amirul Mukminin?
Aku sedang dihinggapi ketakutan, jika sekiranya aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang mengingatkan dan melarangnya, karena rasa segan dan hormatnya padaku!” Demikianlah jawaban Umar, bukan karena lelah mengurusi rakyat yang membuatnya sedih. Justru kesedihannya datang jika orang-orang takut mengkritiknya karena posisinya sebagai khalifah (Kepala Negara).
Kondisi yang berbanding terbalik dengan penguasa hari ini. Mereka justru merasa risih jika ada kritikan yang datang. Bahkan, para pejabat tak segan menyingkirkan siapa saja yang berbeda pendapat dengan kebijakan pemerintah. Apalagi rakyat, tidak diberikan ruang publik menyampaikan kritik jika hal tersebut berbeda dengan keinginan penguasa.
Inilah fakta kondisi negeri di bawah pemimpin  diktator, di dalam hadist familiar disebut Mulkan Jabariyan.  Allah pasti akan mengangkat Mulkan Jabariyan jika berkehendak. Namun sebagai muslim, kita tetap memiliki kewajiban untuk mengevaluasi penguasa. Agar penguasa tidak berlaku zalim dengan kebijakan dan kekuasaan yang diamanahkan padanya. Wallahu a’lam bishawab

Sumber :  Kiblat.