Bagaimana Kalau Dibalik Saja, Kita yang Mengayomi Polisi
Oleh: Asyari Usman*
10Berita - Di salah satu grup WA, pagi tadi terbaca postingan “Ada yang bersedia menyumbang bunga?” Di kalimat sebelumnya tertulis bahwa pasukan emak-emak siap mempersembahkan bunga ke Pak Polisi di Bunadaran HI dan Patung Kuda (di Jakarta) pada hari Minggu ini.
Tentu keinginan emak-emak tsb sangat mulia. Mereka ingin menunjukkan simpati kepada Polisi. Ingin ‘menjaga’ hubungan baik dengan alat negara itu. Mungkin juga keinginan ini sebagai usaha untuk meyakinkan kepolisian bahwa mereka tetap dihormati meskipun banyak penilaian yang miring terhadap mereka.
Penilaian miring terhadap Polisi sebetulnya bukan masalah baru. Sudah sejak lama. Puluhan tahun. Itu disebabkan oleh pelayanan polisi yang buruk. Juga, mohon maaf, disebabkan perilaku oknum-oknum polisi yang sangat jelek.
Sebagai contoh, dahulu sering orang menyindir seperti ini: “Kalau ke polisi, yang dilaporkan kena, yang melaporkan kena”. Maksudnya, dimintai duit. Masa itu, begitulah yang banyak terjadi bila masyarakat berperkara di kantor polisi.
Ada lagi contoh yang sangat lucu sekaligus memprihatinkan. Tapi, kita semua akhirnya menikmati itu. Dan kita senang pula menggunakannya. Apa gerangan?
Yaitu, istilah “86”. Jargon ini lebih-kurang mengandung arti “dimengerti”, “sama-sama mengerti”, bahkan ditafsirkan “berdamai”. Berdamai dengan polisi kalau ada kasus atau bukti pelanggaran.
Nah, istilah “86” itu akhirnya disenangi banyak orang. Misalnya, kalau ada yang berjanji untuk bertemu di satu tempat, orang suka mengatakan “Ok, 86”, dst. Artinya, sandi “86” yang tadinya berada di wilayah positif dan sekaligus negatif, ternyata diadopsi dengan senang hati oleh sebagian orang awam.
Itu sekadar contoh tentang kebobrokan Polisi dari waktu ke waktu. Tetapi, kita perlu mengatakan bahwa tidak semua anggota kepolisian berkelakuan buruk. Diantara ratusan ribu polisi, banyak juga yang baik dan lurus. Yang tidak mau disogok atau meminta sogok. Cuma memang persoalan mentalitas buruk polisi itu terjadi merata. Di mana-mana ada.
Apakah tidak ada upaya perbaikan? Sangat gencar. Banyak petinggi kepolisian yang mencoba melakukan rehabilitasi di tubuh instansi penegak hukum yang sangat krusial ini. Dari kapolri ke kapolri selalu ada gagasan dan keinginan untuk melakukan pembenahan. Hanya saja, ada yang berhasil, ada yang setengah berhasil, dan ada yang gagal.
Intinya, sejak reformasi politik berlangsung pada 1988, pada saat itu pula pimpinan kepolisian terbangun dari tidurnya. Dilancarkanlah upaya untuk membalikkan anggapan miring masyarakat terhadap instansi ‘front line” (garis depan) ini. Para jenderal dan kolonel (di zaman pra-reformasi) memperkenalkan doktrin-dokrin baru yang sifatnya ‘remedial’. Yaitu, mengobati penyakit akut yang menggayuti kepolisian.
Potong cerita, usaha perbaikan itu menjadi makin membudaya di kepolisian. Sekarang ini, cerita banyak supir, boleh dikatakan semakin kecil kemungkinan Pak Polisi mau diajak “86” kalau mereka OTT kesalahan pengendara. Kalau polisi mengatakan “tilang”, benar-benar ditilang. Tidak bisa dikompromikan. Ini merupakan bukti ada upaya serius untuk perbaikan. Memang iya, kemungkinan “86” tetap ada. Terutama di tempat-tempat yang ‘kondusif’. Tapi tidak banyak. Wallahu a’lam.
Begitu juga ‘perangkap’ yang selama ini selalu ada di persimpangan jalan-jalan besar, di kota-kota besar. Sudah tidak ada lagi. Setidaknya yang saya lihat sendiri di Medan. Yaitu, ‘perangkap’ lampur merah. Maksudnya, pengendara menerobos masih hijau tapi ketika sampai di lokasi prangkap warnanya sudah merah. Pengendara ditahan dengan dakwaan menerobos lampu merah. Terjadilah bertengkaran, namun polisi selalu menang. Selalu menang karena SIM mereka tahan. Tapi, waktu itu masih bisa “86”.
Sejak beberapa tahun ini, ‘perangkap’ lampu merah sudah hilang. Saya yakin ini terjadi karena doktrin perbaikan yang dilancarkan oleh pimpinan kepolisian.
Para petinggi Polri kemudian membuat simbol-simbol rehabilitasi nama baik itu. Di lapangan, ditampilkanlah personel kepolisian yang menawarkan senyum lebar dan keramahan. Siap melayani dan membantu. Khusuanya kepada para pengendara. Salah satu yang fenomenal adalah posko Lebaran di sepanjang jalan utama.
Protap di kantor-kantor polisi pun berubah total. Di setiap kantor polisi, kalau tak salah, dipajang slogan (di atas spanduk atau ditulis permanen di dinding kantor) yang lebih kurang berbunyi, “Kami siap melayani dan melindungi masyarakat”. Dari satu kantor ke kantor lain terkadang berbeda-beda redaksi slogan ini. Tapi, intinya, Polri siap 24 jam melayani dan melindungi rakyat.
Perubahan itu sangat terasa. Reformasi yang dilancarkan berdampak besar. Polisi menjadi sangat ramah menerima pengaduan masyarakat. Alhamdulillah.
Tapi, dalam beberapa tahun belakangan ini, Pak Polisi membuat ulah baru. Di ‘front line’ mereka sudah sangat OK secara keseluruhan. Namun, pimpinan mereka pula yang membuat masalah. Kapolri Jenderal Tito Karnavian kelihatannya tak bisa menjaga jarak dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pak Tito terbawa hanyut ke dalam kepentingan politik Pak Jokowi. Aparat kepolisian terbawa-bawa menjadi pendukung kepentingan pribadi Jokowi. Dalam setahun belakangan ini, lebih gencar lagi. Dan dalam enam bulan terakhir, banyak yang mengatakan dan mengeluhkan bahwa Polisi berpihak kepada Jokowi dalam kontestasi pilpres yang sedang berlangsung.
Ada yang mengatakan banyak oknum polisi yang ikut memfasilitasi misi politik Jokowi. Sampaikan akhirnya Kapolri sendiri menjadi sansitif. Dan merespon. Kapolri menerbitkan telegram (TR) yang berisi perintah netral dan larangan berpihak semasa berlangsung proses pilpres saat ini.
TR dari Kapolri itu sangat dahsyat kalau terlaksana di lapangan. Polisi betul berada di tengah. Luar biasa. Cuma, langsung muncul penilaian yang ‘dismissive’ (meyindir) dari publik. Banyak yang mengatakan TR Kapolri itu hanya sebatas basa-basi saja. Para pengamat mengatakan, aparat akan ‘bermain’ di tingkas Polres dan Polsek.
Mudah-mudahan dugaan kalangan pemerhati itu tidak menjadi kenyataan. Kita juga berharap tidak ada lagi keberpihakan kepada Jokowi.
Tapi, kalau akhirnya berlanjut juga pemihakan Polisi pada Jokowi, tentu tak banyak yang bisa kita lakukan. Anggap sajalah Pak Polisi tidak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa melepaskan diri dari kekaguman mereka pada Pak Jokowi.
Artinya, untuk saat ini kitalah yang justru harus memahami posisi Pak Polisi. Mungkin inilah saatnya kita yang harus merawat Pak Polisi. Dibalik saja. Kita yang mengayomi Polisi.
*) Penulis adalah wartawan senior
sumber: portal islam