OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 02 Maret 2019

PB NU: Tidak Ada Lagi Istilah Kafir di Indonesia

PB NU: Tidak Ada Lagi Istilah Kafir di Indonesia




10Berita  - Ketua PB Nahdlatul Ulama, KH Said Aqil Siraj menyerahkan rekomendasi hasil Munas Alim Ulama NU 2019 kepada pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla.

JK didapuk untuk menutup acara tersebut. Prosesi penutupan dimeriahkan penabuhan bedug di depan Ketua Umum PBNU KH Said Agil Sirajd, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum, dan para petinggi PB NU.

Adapun hasil keputusan yang direkomendasikan itu berkaitan dengan masalah kewarganegaraan, kebangsaan, hingga masalah lingkungan hidup.

“Alhamdulillah Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019 telah menghasilkan rekomendasi penting yang akan diserahkan kepada Pak Wakil Presiden Jusuf Kalla,” tutur Said Aqil Siraj dalam sambutannya seperti dikutip Pojosatu.id dari laman resmi NU.

Disebutkan Said Aqil, sedikitnya ada lima poin paling mendasar yang menjadi bahan rekomendasi tersebut, yakni dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa (muwathonah, citizenship) tidak dikenal istilah kafir. Setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi.

“Istilah kafir hanya berlaku ketika Nabi Muhammad saw berada di Mekkah untuk menyebut orang-orang yang menyembah berhala waktu itu yang tidak memiliki agama yang benar,” sebutnya.

“Namun setelah Nabi Muhammad Hijrah, tidak ada istilah kafir untuk orang non muslim yang berada di Madinah. Ia menyebut ada tiga suku waktu itu yang belum masuk Islam yakni yakni Qoinuqo, Quroidoh dan Nadir, yang oleh Nabi tidak disebut dengan kafir,” paparnya.

Selain persoalan sebutan kafir untuk nonmuslim, melalui kegiatan tersebut, NU menyatakan sikap, berdasarkan konstitusi Indonesia bukan darul fatwa, bukan negara agama. Maka tidak boleh ada lembaga yang mengeluarkan fatwa selain Mahkamah Agung.

“NU sendiri tidak mengeluarkan fatwa, hanya hasil musyawaroh Alim Ulama NU,” tuturnya.

“Karena itu, NU menegaskan tidak satupun lembaga yang berhak mengatasnamakan dirinya sebagai mufti atau pemegang otoritas agama,” tandasnya.

Namun di sisi yang lain tidak boleh ada warga negara indonesia yang tidak beragama, maka dari itu ada kementerian agama.


sumber: pojoksatu